webnovel

Tamu Tak Diundang

Rasa makanan Rumah Sakit Amerta sungguh kacau. Makanan yang kemarin di bawa Dokter Kirana dari dapur tidak ada rasanya. Buburnya tidak diberi garam, supnya tidak ada potongan ayam dan tumis sawinya seperti tidak diberi bawang. Yang sanggup dimakan Bastian hanya buah apel dan sepotong papaya.

Karena makan tidak benar, pagi ini perutnya lapar sekali. Ia tadi sudah menyuruh Adi membelikan makanan dari restaurant vegan dekat rumah sakit. Ia tidak sabar menunggu kedatangan Adi yang sudah menghilang satu jam terakhir.

Sesekali Bastian mengecek jam di dinding sambil mengoreksi dokumen kontrak kerjasama perusahaan. Rencananya setelah keluar dari rumah sakit, Bastian akan melakukan kerjasama dengan beberapa peneliti Indonesia untuk membuat mobil listrik.

Sebagai pengusaha yang sudah berkecimpung di dunia automotif tren pasar mobil dunia sudah mulai bergeser ke mobil listrik. Selain ramah lingkungan, perawatannya juga murah. Bastian memprediksi kalau bisnisnya ini akan maju pesat dalam waktu 5 tahun ke depan. Ia berambisi membawa Dewandra Automotive Corp menjadi produsen mobil listrik pertama di Indonesia bahkan di benua Asia.

Saat asyik membaca dokumen, pintu ruang pemulihannya terbuka. "Ini sudah satu jam, Di. Lama banget pesen…"

Bastian menoleh ke sosok yang membuka pintu. Orang itu bukan Adi, asisten pribadinya. Orang itu adalah manusia yang tidak ingin Bastian temui di dunia dan di akhirat sekalipun. Paman Hendri.

"Halo, Bas. Bagaimana keadaanmu?" tanya Paman Hendri sambil masuk ke dalam ruangan.

Bastian menghela napas pelan. Di depannya berdiri pria berusia 55 tahun dengan rambut yang mulai memutih, alis tebal, mata runcing dan senyum licik.

"Apa yang Paman lakukan di sini?" tanya Bastian tanpa basa-basi sambil melipatkan kedua tangannya di dada.

Paman Hendri tertawa kecil. Ia duduk di kursi di sebelah ranjang Bastian.

"Sifatmu sama sekali gak berubah. Kamu tetap gak suka kehadiran Pamanmu sekalipun niat Paman baik," jawab Paman Hendri.

Cih! Baik dari mana coba. Wajah Paman Hendri lebih mirip serigala daripada orang baik, batin Bastian kesal.

Setiap orang yang melihat aura tidak suka Bastian pada Paman Hendri tentu akan bertanya-tanya. Mengapa keponakan bisa begitu tidak menyukai pamannya sendiri?

Jawabannya ada di masa lalu Bastian. Dirinya sedang malas mengingat-ingat masa lalu yang pahit sekarang. Satu hal yang biasa dilakukan Bastian kalau bertemu pamannya. Pasang aura mengancam, mode siap siaga dan pasang mata "segeralah menyingkir."

"Sebagai seorang pebisnis, tentu Paman gak punya banyak waktu untuk sekedar bercakap-cakap sama keponakan kan?" sahut Bastian sambil melipatkan tangan di dada. "Aku dengar Paman harus ke Amerika untuk mengurus bisnis. Jadi ada perlu apa Paman sampai repot-repot kesini menjengukku? Bukannya selama ini Paman tidak pernah melakukan hal semacam ini?"

Paman Hendri bersandar pada kursi. "Kamu salah sangka, Bas. Paman sangat mengkhawatirkan kamu. Begitu tahu kamu kecelakaan Paman langsung kesini. Untung kamu selamat. Paman lega sekali"

Mau tidak mau Bastian berhenti menuduh Paman Hendri. Ia malas berdebat.

"Oh ya, Paman dengar itu kecelakaan tunggal? Apa kamu enggak ingat apapun saat kecelakaan itu?" tanya Paman Hendri penasaran.

Bastian berpikir sejenak. "Iya emang kecelakaan tunggal. Mobilku cuman tergelincir ke jurang."

Mendengar pengakuan Bastian, ekspresi Paman Hendri mendadak lega.

"Apa kamu gak ingin menyelidiki kecelakaan itu? Paman punya sahabat baik kepolisisan lho. Paman tinggal minta bantuan mereka untuk menyelidiki kecelakaanmu. Beres masalahnya," usul Paman Hendri.

Buru-buru Bastian menolak. "Enggak usah repot-repot, Paman. Aku udah yakin kalau kecelakaanku murni kecelakaan biasa. Bukan rencana pembunuhan atau semacamnya. Jadi kita gak perlu repot-repot menyelidikinya."

Paman Hendri manggut-manggut.

Pintu ruang pemulihan terbuka. Adi masuk dengan wajah kumal dan napas tersenggal-senggal. Sepertinya ia habis berlari-lari.

"Tuan, maaf saya lama pesan makanannya," kata Adi takut. Adi menoleh ke kursi di sebelah ranjang Bastian.

Adi membungkukkan badan memberi hormat. "Selamat pagi, Tuan Hendri."

Paman Hendri hanya balas tersenyum kecil. "Baiklah. Paman rasa udah waktunya untuk pulang. Istirahat ya, Bastian. Adi, jaga Bastian dengan baik."

Adi mengantar Paman Hendri sampai di depan pintu ruang pemulihan.

"Tuan, apa saya gak salah lihat barusan?" matanya melotot terkejut sambil menepuk-nepuk pipinya. "Tuan Hendri baru aja menjenguk. Apa ini mimpi?"

Bastian mendengus kesal. "Ini bukan mimpi."

Dalam benaknya Adi tidak menyangka orang yang selama ini selalu menentang Bastian dan bahkan menyakitinya tiba-tiba datang menjenguk.

"Saya yakin Tuan Hendri pasti punya niat gak baik," kata Adi menyipitkan mata curiga.

"Emang. Dan karena itu aku jadi tahu siapa pelakunya sekarang," Bastian sedang memikirkan rencana untuk melawan pamannya itu.

....

Kirana sedang membuat sarapan. Biasanya kalau Vero tidak di apartemen, ia akan memasak makanan kesukaannya. Ayam goreng. Bagi sahabatnya, ayam goreng adalah makanan penuh dosa.

Sekalipun Kirana mengenal Vero selama 8 tahun, baru 2 kali ia melihat sahabatnya ini makan ayam goreng. Bagi Vero yang seorang model professional menjaga bentuk tubuh dan pola makan adalah kewajiban utama.

Dalam dunia model makanan yang di goreng, berlemak, jeroan dan manis itu terlarang. Banyak model harus mengikuti diet ketat setiap hari dan olahraga minimal dua jam sehari. Masalahnya Kirana bukan model. Ia merasa memiliki hak untuk mengonsumsi makanan goreng tanpa beban.

Lagipula makanan rumah sakit sudah terasa seperti makanan diet tiap harinya. Setiap dokter dapat jatah makan. Makanan rumah sakit untuk dokter sama buruknya makanan untuk pasien. Kirana ingat pihak dapur pernah memberinya makan ayam rebus, capcay yang hambar dan nasi.

Ponselnya berbunyi. Kirana mematikan kompor dan mengangkat telpon.

"Halo," sapa Kirana.

"Halo, Kir," suara Vero di ujung sana.

"Ada apa, Ver?"

"Aku udah dapat kabar dari sepupuku. Dia bisa ketemu kamu untuk kencan hari Sabtu dua minggu lagi. Di restoran steak Madam Rose Jakarta Utara. Jam 7 malam," kata Vero. "Jadi jangan lupa ambil cuti Sabtu 2 minggu lagi ya. Awas kalau lupa."

Kirana hanya bisa bilang "ya" setiap Vero menjelaskan panjang lebar. Dia sudah kehabisan kata-kata untuk menanggapi sahabatnya.

Entah berapa kali Vero menjodohkan Kirana dengan pria. Setiap tahun ada saja pria baru yang dikenalkan Vero. Mulai dari pria berprofesi sebagai chef, model, actor dan sekarang pengusaha!

Sejujurnya ia tidak tertarik dengan semua percomblangan ini. Percomblangan keempat ini akan gagal. Kirana sudah bisa memastikan.

Biasanya pria-pria yang dicomblangkan ke dirinya hanya akan menjalin kontak satu minggu pertama saja. Sisanya pria-pria itu akan kabur. Dan Kirana sudah tahu cara agar pria-pria menjauhinya dengan sukarela. Kali ini ia akan melakukan hal yang sama agar sepupu Vero yang berprofesi sebagai pengusaha ini menjauhinya.

Next chapter