1 Prolog

Sinar lampu sein yang menyilaukan dari arah depan, bunyi klakson yang memekakkan telinga, serta teriakan histeris dari para pejalan kaki. Itulah gambaran terakhir yang mampu kuingat, sesaat sebelum aku kehilangan pandangan. Segalanya terasa buram dan begitu sakit di sekujur tubuh. 

Pada saat itu, hari di mana bulan sabit menghiasi langit malam, sebuah kecelakaan terjadi di salah satu ruas jalan kota Olsville. Insiden tersebut melibatkan sebuah truk bahan bakar, dikendarai oleh pengemudi yang mengantuk. Mobil besar dengan tangki berisi bensin itu melaju kencang sebelum akhirnya terbalik dan menubruk deretan kendaraan lain yang berjejer rapi di atas dinginnya permukaan aspal.

Peristiwa berlangsung dengan cepat dan menelan puluhan korban yang tidak bersalah. Beberapa pengemudi, entah bisa dikatakan sial atau beruntung, langsung meninggal di tempat—tewas terpanggang atau remuk karena terhimpit—sementara sisanya berhasil selamat meski sebagian dari mereka harus kehilangan salah satu anggota tubuh serta menderita luka bakar.

Kolam darah segera menggenang, rintihan saling bersahutan. Kecelakaan pada malam itu sungguh tragis, bahkan pantas disebut sebagai kecelakaan lalu lintas terparah dalam sejarah kota. Lima puluh dua jiwa adalah angka yang tinggi, cukup untuk membawa walikota Olsville untuk muncul di layar kaca televisi nasional demi menyampaikan rasa belasungkawa. Setelah itu, dana yang berasal dari kas negara pun digelontorkan, masuk ke dalam kantung setiap keluarga korban sebagai sumbangan berlandaskan rasa kemanusiaan.

Pihak lain juga tidak tinggal diam. Media segera berlomba-lomba terjun, mencelupkan diri mereka sendiri ke dalam kekacauan. Para wartawan lantas menyoroti peristiwa naas tersebut, secara tidak langsung mengambil keuntungan bagaikan burung hering yang giat mematuk daging dari tumpukan bangkai. Mereka meliput lalu menyebarkan kabar yang memilukan sekaligus kisah heroik anggota regu kepolisian yang berjibaku mengevakuasi korban selamat.

Hah? Aku?

Bukan, aku bukan salah satunya. Aku adalah seseorang yang kini terbaring kaku. Aku adalah individu malang yang menggenapkan angka lima puluh dua.

Ya, aku sudah mati. Seharusnya begitu.

avataravatar
Next chapter