9 Part 9. Pemilik Sidik Jari

Diandra memasuki halaman rumah mewah itu. Adel sudah menunggunya di teras, ditemani keluarga Zahra.

"Bu Sari, terima kasih banyak. Saya jadi sering merepotkan karena menitipkan Adel terus," ujar Diandra sopan. Tangannya menggandeng lengan Adel.

"Nggak apa-apa, Mbak. Kami sudah sering bilang, jangan sungkan-sungkan. Kapan pun Adel boleh ke sini, bahkan menginap pun tidak apa-apa," senyum Bu Sari.

Diandra tersenyum kecut. Kalau Adel menginap di rumah Zahra, ia tidak akan berani di rumah sendirian.

"Ya sudah, kami pulang dulu. Assalamu'alaikum ...."

Sepanjang jalan Adel enggan bercakap. Bahkan saat Diandra menawari jajan, ia tak berselera. Diandra yakin, pasti telah terjadi sesuatu.

Tiba di rumah, bocah itu langsung masuk kamar. Diandra memilih mandi dulu, kemudian menyusulnya.

"Ada apa?" Diandra menyalakan televisi yang tadi pagi ia pindah dari ruang depan ke kamar Adel. Sejak kejadian malam itu, mereka lebih banyak berdiam di kamar.

"Adel tadi minta tolong ayahnya Zahra untuk mengecek sidik jari di batu yang kemarin. Dan hasilnya sudah ada. Terus ... mengenai hantu itu, memang Sandria. Adik Mbak Sandra."

Diandra melirihkan volume tv. "Terus? Apa menurut polisi dia beneran bunuh diri?"

"Ibunya bersikeras bahwa Sandria memang bunuh diri dan tidak ingin memperpanjang masalah. Tapi polisi yakin, gadis itu di bunuh. Tante paham, kan kira-kira siapa pelakunya?" lirik Adel. Diandra bergidik ngeri. Teringat kembali buku catatan yang tempo lalu mereka baca.

"Jika kita lihat tulisan di buku harian itu, Mbak Sandra sepertinya depresi hingga tega melakukan hal tersebut. Menurut teman-temannya, di sekolahan ia kerap dikucilkan."

"Kamu tahu dari mana?" selidik Diandra heran.

"Tadi nggak sengaja ketemu anak-anak SMA 6 saat lihat pameran, mereka teman Mbak Wina dan Mbak Sandra."

Mereka pun terdiam cukup lama. Diandra meraih ponselnya dan membuka medsos. Ia terkejut saat postingan teratas adalah berita perundungan yang terjadi di sebuah SMK di kotanya.

"Del ... lihat!" serunya.

Mereka mematikan tv dan mencermati postingan milik seorang gadis berseragam putih abu-abu.

Seorang siswi di sebuah SMK Kesehatan menjadi korban perundungan dengan cara dipermalukan di depan umum. Katanya, si korban adalah gadis yang merebut pacar pelaku. Korban dipaksa buka kerudung dan disuruh berdiri di pinggir jalan dengan tulisan "Dijual" tergantung di leher. Video berdurasi lima menit itu telah dibagikan ratusan kali.

Diandra menatap Adel. Bocah itu mengangguk seolah mengerti apa yang ia pikirkan.

"Kita harus beri peringatan untuk pelaku perundungan tersebut, karena ...."

"Si perobek mulut akan mengincarnya!" sahut Diandra.

**

Pagi ini kebetulan hari minggu. Diandra izin cuti satu hari, disambut Adel dengan semangat. Mereka semalam sudah mencari informasi pelaku perundungan tersebut, dan menemukan alamatnya. Tidak jauh dari komplek mereka, berada di timur Desa Rejo, rumah Sandra.

Mereka pernah melewati jalan sekitar Desa Rejo, jadi tidak sulit untuk menemukan jalan raya utama saat pulang nanti.

"Menurut google map, sebentar lagi kita belok kiri," ucap Adel sambil melihat ponsel. Diandra memelankan laju motornya.

"Terus?"

"Kanan jalan ada masjid, terus ada gang di sebelah kiri, nah gang kedua kita masuk."

Sepuluh menit kemudian mereka sampai di sebuah rumah tanpa pagar berhalaman sangat luas. Pohon rambutan dan mangga mengisi lahan luas tersebut, melindungi bangunan rumah dari terik matahari.

Rumah tersebut masih semi permanen, dindingnya dari anyaman bambu bercat putih. Di sebelah kiri rumah ada kandang ayam berpagar. Diandra melihat seorang wanita setengah baya menjemur padi di halaman samping yang terbebas dari pepohonan.

"Assalamu'alaikum. Maaf, Bu, apa benar ini rumahnya Vika yang sekolah di SMK Kesehatan kelas XI?"

"Wa'alaikumsalam. Iya benar, itu anak saya. Siapa ya?" Wanita itu melepas capingnya.

"Perkenalkan, saya Diandra dan ini keponakan saya, Adel. Kami kenalannya Vika. Bisa ketemu Vika sebentar?"

Ibu itu mempersilakan mereka masuk, tapi Diandra memilih menunggu di bawah pohon rambutan. Ada bangku panjang di sana.

Tak lama, gadis yang mereka lihat di medsos semalam keluar dengan wajah cemberut. Rambutnya yang lurus sebahu ia kuncir acak.

"Kalian siapa?" ketusnya. Adel hendak menjawab tapi ditahan oleh Diandra.

"Sebelum tahu kami siapa, ada hal penting yang ingin kami sampaikan. Mengenai keselamatanmu," ujar Diandra.

"Apa sih, nggak usah berbelit-belit, deh. Buruan, aku sibuk." Benar-benar anak nggak punya sopan santun.

"Kamu pelaku perundungan itu, kan? Saya harap, mulai sekarang kamu harus hati-hati saat keluar rumah. Kalau bisa jangan sendirian."

Gadis itu melotot. Ia memandang Diandra dengan curiga.

"Kamu ngancam aku? Jangan-jangan kamu keluarga jalang itu, ya!"

Diandra menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar.

"Bukan. Tapi kami khawatir akan ada sesuatu buruk terjadi padamu. Jadi, berhati-hatilah ...."

Vika terlihat marah. Ia terus menuduh Diandra adalah keluarga yang membela korban.

"Baiklah, kami sudah kasih peringatan. Kalau ada apa-apa, tolong hubungi saja nomor ini," Diandra memberikan secarik kertas yang langsung diremas oleh Vika. Tanpa menunggu lama, ia pun memilih pulang.

Vika memandang Diandra dan Adel yang mulai menjauh dengan ragu. Ia mengambil kembali kertas yang tadi sempat diremas dan dilempar, memasukkannya ke dalam saku celana 3/4nya.

Tiba di rumah, Adel mendapat telepon dari Zahra.

"Halo, Del. Ayahku mau ngomong penting sama kamu. Bisa datang ke rumah nggak?"

Adel memandang Diandra yang sedang memutar kunci. "Kenapa?" tanyanya.

"Zahra nyuruh main, Ayahnya mau ngomong penting."

"Soal apa?"

Adel mengangkat bahu. Diandra pun berbalik arah dan mengajak anak itu segera ke sana.

Tiba di rumah Zahra, Pak Burhan sudah menunggu di teras bersama Zahra. Bu Sari sedang arisan di rumah sebelah.

"Ada apa Pak?" Adel mengerling ke arah Zahra, tapi anak itu menggeleng.

"Mari, masuk ke ruang kerja saya."

Diandra meminta izin untuk ikut masuk, Pak Burhan mempersilakan.

"Saya sudah mencocokkan sidik jari kemarin dengan beberapa data yang saya punya. Sesuai dugaan kamu, sidik jari itu milik Sandra. Kebetulan dulu saat kematian adiknya, kami meminta data itu untuk penyelidikan."

"Satu lagi, Pak. Tentang perobek mulut yang sampai saat ini belum tertangkap ...."

"Kenapa?"

"Apa Bapak tahu kira-kira siapa dan apa motifnya?"

Pak Burhan termenung. Ia mengambil beberapa lembar kertas dan menunjukkannya ke Adel dan Diandra.

"Sayangnya, belum ada data yang jelas, karena rata-rata korban mengalami trauma dan tidak bisa bicara. Yang pasti, pelaku menggunakan gunting yang sama setiap kali melakukan aksinya."

"Menurut kami, sosok itu selalu mengincar pelaku perundungan, Pak," ujar Diandra yang membuat Pak Burhan terperanjat.

"Pelaku perundungan?"

"Iya. Ini berdasarkan kasus yang sudah-sudah. Kebetulan, salah satu korban adalah tetangga kami, Wina. Sehari sebelum ia menjadi korban perobek mulut, Wina melakukan perundungan terhadap Sandra."

"Sandra?" Lagi-lagi Pak Burhan kaget. Polisi justru belum tahu hal ini.

"Ya. Dan Sandra pernah memberikan kami sebuah kertas berisi pesan menggunakan aksara jawa." Diandra melirik Adel. Anak itu merogoh tas dan mengeluarkan buku catatannya.

"Ini ...." Diulurkannya secarik kertas pemberian Sandra waktu itu.

Pak Burhan mengamati sejenak. Ia membaca tulisan hasil terjemahan Adel dibawah aksara jawa yang tertulis dalam tinta biru.

"Titi wanci? Boleh saya pinjam kertas ini?"

Adel mengangguk. "Silakan ...."

Setelah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, mereka pamit pulang.

Malamnya, Adel merasa tidak nyaman. Ada yang mengganjal pikirannya. Ia berusaha mengalihkan dengan membaca beberapa komik, sedang Diandra asik bermain ponsel.

Tiba-tiba HP Adel berbunyi.

"Del ... gawat. Kata Ayahku, ada korban lagi. Ini Ayahku lagi ke TKP ...." seru Zahra panik.

"Korban? Kamu tahu siapa korbannya?" tanya Adel gemetar.

"Namanya Vika. Persis seperti yang kamu khawatirkan tadi siang."

***

note:

Terima kasih yang sudah berkenan membaca karya saya sampai sejauh ini. Tak kenal maka tak sayang. Jangan lupa tinggalkan jejak, biar kita makin sayang. Sampai jumpa di episode berikutnya.

avataravatar
Next chapter