17 Part 17. Nyaris

Adel berdiri, meluruskan pinggang. Vika menendang-nendang paving di bawahnya. Mereka mulai bosan.

"Kayaknya nggak dateng," gumam Adel.

"Iya. Aku laper ...." Vika memegang perutnya yang keroncongan. Cilok sejam yang lalu hanya mengganjal rasa lapar dalam beberapa menit.

"Mau bakso itu?" tunjuk Adel.

"Nggak. Kemarin 'kan udah. Walau memang enak, pengen cobain yang lain. Ada rekomendasi?"

Adel berjalan mondar-mandir, kakinya kesemutan. Ia teringat pondok makan tempat Diandra mengajaknya saat habis gajian. Ada menu ayam bakar favoritnya.

"Ayo ke sana," ajak Adel menyambar sepedanya.

"Ke mana?"

"Pondok Makan Yu Nem. Ayam bakarnya enak," celoteh Adel. Perasaan Vika tidak enak. Ia yakin anak itu minta traktir. Untunglah ia masih punya cukup uang.

Tiba di sana, mereka memilih tempat duduk lesehan. Menunya cukup murah, delapan belas ribu untuk ayam bakar kecap dan nasi. Vika langsung memesan dua porsi, dan juga es teh manis.

"Sering ke sini?" tanya Vika sambil meluruskan kaki.

"Iya," sahut Adel menikmati hembusan kipas beraroma ayam bakar yang menggugah selera.

Seketika matanya membulat saat menatap seberang jalan. Di penjual mi ayam yang menghadap ke pondok makan itu, duduk seorang gadis berjaket hitam menyesap es teh. Adel membetulkan kacamatanya, ia tidak salah lihat. Itu Sandra!

Bocah itu pun bangkit dan berlari ke pinggir jalan. Ia menunggu lampu merah, 10 detik lagi sebelum berani menyeberang. Vika terkejut melihat Adel yang tiba-tiba berlari.

"Hei, Bocah! Ngapain?"

Vika memakai sepatunya dan berlari menyusul Adel. Terlambat, Bocah itu sudah menyeberang jalan saat lampu benar-benar berwarna merah. Namun ada satu pengendera motor yang nekat menerobos rambu berhenti tersebut. Adel hanya fokus ke gadis di seberang, hingga pekikan Vika membuatnya terhenti.

Braakk!

Motor menghantam sebuah gerobak pedagang pinggir jalan. Tubuh Adel yang sempat terserempet, terpental ke depan, tepat di tengan perempatan. Beruntung jalanan agak sepi, mobil yang nyaris menginjak gas langsung berhenti mendadak.

Vika terduduk lemas, melihat bocah itu terkapar. Suasana mendadak ramai. Adel di bawa ke rumah sakit oleh seorang pengendara mobil.

**

Adel sudah sadar, untunglah hanya patah tulang ringan dan lecet di beberapa bagian. Tangan dan kaki penuh perban, pipi sebelah kanannya terlihat membiru.

"Kamu ... beneran nggak apa-apa, Bocah?" Vika masih merasa lemas. Rasa lapar yang tadi mendera kini lenyap, berganti khawatir dan rasa bersalah.

"Cuma patah tulang, kok kata dokter. Nggak sampai amnesia. Hehe."

Vika menepuk dahi berkali-kali. Ia takut dan bingung harus menjelaskan apa dengan Diandra nanti.

"Mbak, tolong jangan bilang tante kalau kita sedang mengintai Mbak Sandra. Bilang aja kalau kita habis jalan-jalan terus makan," pinta Adel serius.

"Hahh! Apa tantemu bakal percaya? Gimana menjelaskan tentang kamu yang tertabrak? Kamu menyeberang sendiri terus aku cuma liatin? Duh, anak kecil memang merepotkan," sungu Vika mengacak rambutnya.

"Itu ... nanti biar urusan Adel," sahut bocah itu lirih. "Ah, sepeda Zahra gimana?"

"Nggak tau. Sepedaku juga masih di sana. Udah, nggak usah dipikirin. Kamu istirahat aja, sebentar lagi tantemu datang. Aku mau pulang, ibuku dari tadi nyariin," ujar Vika menggeser layar ponselnya.

Adel mengangguk. Ia kembali berpesan soal sepeda Zahra agar dititipkan di pondok makan itu atau dibawakan pulang.

Tiga puluh menit setelah Vika pergi, Diandra datang. Wajahnya tampak kalut, air mata siap berhamburan andai Adel tidak nyengir dan bilang tidak apa-apa.

"Itulah, kenapa sampai saat ini tante nggak belikan kamu sepeda," gerutu Diandra mengacak rambutnya.

Adel menunduk. Ia merasa bersalah, membuat Diandra sekhawatir ini. Berkali-kali Diandra bilang, Adellah keluarga satu-satunya. Jadi ia tidak akan pernah membiarkan bocah itu kenapa-kenapa.

"Mana Vika?" Diandra mencari ke penjuru ruangan.

"Sudah pulang. Dicariin ibunya."

"Hahh! Lagian kamu ngapain sih main sama anak gede begitu? Mana nggak bisa jagain kamu lagi," sungut Diandra.

"Kami nggak sengaja ketemu, kok." Adel menarik selimut. Sekilas ia memandang kakinya yang perih. Tangan kanan berat karena digips.

Diandra duduk di kursi. Wajahnya terlihat sangat lelah. Ia sedang tidak ingin membahas kronologi kecelakaan siang tadi. Ia hanya ingin memastikan Adel tidak terluka parah yang bahkan meninggalkan trauma.

"Setelah kamu sembuh, tante mau cari kios. Tabungan kita sepertinya sudah cukup untuk membuka usaha," ucap gadis itu lirih.

Adel mengangguk. Diandra selalu menyebut 'uang kita' untuk tabungannya. Seolah ada uang Adel di sana. Dan itu membuat si bocah makin tertunduk, tidak ada orang tua di sisinya bukan berarti ia kehilangan kasih sayang. Diandra bukan sekadar pengganti orang tuanya, tapi juga bagian dari hidup Adel.

"Tante tidur aja kalau capek. Sini, di atas masih muat." Adel bergeser. Ranjang kecil itu memang masih menyisakan ruang, tapi tidak akan muat untuk Diandra.

"Nggak usah. Tante mau cuci muka dulu, kamu istirahat aja." Diandra beranjak ke kamar mandi.

Adel merebahkan diri dan menutup mata. Berharap hari segera berganti dan ia cepat sembuh. Karena masih banyak hal yang ingin ia ketahui, termasuk Sandra yang tadi sempat menoleh ke arahnya sebelum motor itu membuat kesadarannya hilang. Tatapan gadis itu menyiratkan prihatin, namun juga mengancam.

Malamnya, Vika datang lagi membawa selimut dan tikar serta makanan buatan ibunya. Ia meminta maaf kepada Diandra atas kejadian hari ini.

"Ya sudah, lupakan saja. Lain kali, hati-hati kalau menyebrang. Adel kalau merasa belum berani, minta tolong orang lain," oceh Diandra sambil menyesap teh manis hangat.

Adel hanya diam, tak membantah. Matanya sesekali mengerling ke arah Vika yang balas meliriknya. Gadis itu mengangguk dan mengisyaratkan sesuatu.

Vika ikut menginap di rumah sakit, meski Diandra melarang. Ternyata gadis itu sudah membawa seragam ganti dan buku. Zahra dan keluarganya pun datang, mereka menawarkan bantuan mengantar Adel pulang.

"Eh, kamu nggak sekolah lagi, Ra?" Adel mengernyit heran.

"Iya. Aku sengaja izin lagi buat jenguk kamu," sahut Zahra enteng. "Lagian kamu ngapain sih, sampai jadi begini?"

Adel menggeleng. Ia memilih diam, dan hanya Vika yang tahu kejadian sebenarnya.

"Oh ya, maaf soal sepeda kamu ...."

"Duh, Adel! Kamu malah mikirin sepedaku yang nggak kenapa-kenapa. Lihat tuh, tangan kamu patah. Kaki lecet, untung di muka cuma sedikit," omel Zahra.

"Ini tadi ada titipan dari Vika sebelum berangkat sekolah," sela Diandra yang sedang berkemas.

"Eh ... kacamata baru? Emang dia tau ukuran minus-ku?" gumam Adel sambil membuka wadah kacamata hitam tersebut.

"Kemarin dia bawa pulang kacamatamu yang retak. Tante juga baru sadar tadi."

"Ssttt ... ternyata baik juga tuh Mbak Vika," bisik Zahra. Ia ingat saat gadis itu memintanya membelikan es dawet kemarin lalu.

Adel tersenyum. Kacamata itu pas sekali, dan nyaman. Suatu saat, ia berjanji akan membalas kebaikan Vika.

***

avataravatar
Next chapter