1 Part 1. Korban Baru

Keributan di pagi buta.

Seorang gadis ditemukan pingsan, dengan kondisi tangan dan kaki terikat, di parit dekat jajaran pohon pisang. Kondisinya cukup mengenaskan, dengan luka robek dibagian mulut selebar 5 cm. Tidak ada tanda-tanda pemerkosaan. Dan ini kasus ke lima yang masuk berita di tv dan surat kabar!

Diandra cukup terkejut. Korban kali ini tetangganya, gadis manis yang terkenal ramah dan penurut. Setidaknya itu yang ia ketahui, di wilayah komplek ini.

Sang ibu meraung-raung, menimpali bunyi sirene ambulans yang memecah keheningan subuh. Dari obrolan tetangga yang terdengar sampai teras rumah, ternyata si gadis berniat menginap di rumah temannya kemarin sore. Namun tadi pagi di temukan oleh hansip, dengan kondisi tak sadarkan diri.

Keponakan Diandra terbangun. Dengan membawa selimut, ia meringkuk di kursi teras.

"Tante, itu Mbak Wina kan? Yang sekolah di SMA 6? Kemarin viral di pesbuk loh. Dia berantem sama teman sekelasnya," celoteh gadis berambut acak-acakan itu.

Diandra terhenyak. Apa-apaan bocah SD ini, mainan medsos tanpa pengawasannya?

"Kamu kenapa keluar? Dingin. Masuk sana," perintah wanita berpiyama merah maroon itu. "Eh, kamu mainan pesbuk lagi? Mana sini HPmu."

"Ih, Tante. Bukan Adel. Tapi temen Adel yang ngasih tau. Katanya foto Mbak Wina udah tersebar, dan jadi obrolan banyak orang di medsos."

Diandra segera masuk ke kamar, mengambil HP dan mencari tahu apa yang Adel katakan. Ia mencari hastag tentang SMA 6, dan langsung ketemu berita perkelahian siswi di sekolahan tersebut. Benar saja, ada foto Wina disana. Siswi itu diduga menganiaya seorang teman sekelasnya karena membela murid lain yang diejek oleh geng Wina.

Astaga. Gadis yang terkenal ramah di lingkungannya itu, ternyata memiliki geng dan berlaku tidak baik di lingkungan sekolah. Diandra menghembuskan nafas kasar. Ia mencari nama akun siswi korban, dan menelusuri alamatnya. Ternyata searah dengan tempat kerjanya. Karena penasaran, ia berniat mampir ke rumahnya setelah pulang kerja.

**

Adel membonceng dalam diam. Biasanya anak yatim piatu itu akan berceloteh sepanjang jalan. Diandra melirik lewat spion, dari posisi duduknya tidak terlihat mengantuk.

"Kamu kenapa, Del?" tanyanya khawatir. Diandra tidak mau Adel teringat kembali dengan kematian orang tuanya akibat kecelakaan tragis di perlintasan rel kereta api, dua tahun lalu.

"Nanti sampai rumah saja Adel cerita," jawabnya singkat.

Tiba di rumah, gadis kecil itu langsung menutup pintu dan membisikkan sesuatu.

"Tante tau nggak. Kata temanku yang ayahnya polisi, pelaku penganiayaan Mbak Wina, diduga sama dengan lima korban sebelumnya."

Deg! Anak itu memang beda dari kecil. Mungkin karena bacaannya komik detektif conan. Ia selalu tertarik dengan hal-hal berbau kriminal.

"Sudah-sudah. Mandi sana, terus makan," sergah Diandra. Adel menurut tapi bibirnya cemberut.

Di meja makan.

Hanya denting sendok beradu piring yang terdengar. Adel masih enggan bercanda seperti biasa. Dahinya berkerut-kerut. Geregetan juga melihat bocah 9 tahun itu bermuka serius.

"Del..!" panggil Diandra. Anak itu menatap garpu lalu terdiam cukup lama.

"Tante, kira-kira motif pelaku apa ya? Masak dendam sih? Setahu Adel, korbannya kan nggak ada hubungan sama sekali," ucapnya.

Diandra menepuk dahi berkali-kali dan tersadar sesuatu. Ya, ia lupa akan berkunjung ke rumah teman Wina yang kemarin terkena bully.

"Del, mau ikut tante?"

"Kemana?" selidiknya tanpa menoleh.

"Ke rumah teman Mbak Wina."

Tiba-tiba matanya berbinar. Segera dihabiskan potongan ayam kecap yang daritadi hanya ditusuk-tusuk dengan garpu.

"Ayo Tante," serunya.

**

Rumah bercat hijau itu terlihat sepi. Tapi ia yakin ada penghuninya, karena jendela samping rumah terlihat terbuka. Sekilas terkesan kamar seorang pelajar, dilihat dari rak buku yang nampak dari luar.

"Assalamu'alaikum ...." sapa Adel lantang. Diandra mencengkeram lengan bocah itu yang sudah hendak melompati pagar.

"Adel yang sopan, dong," bisik Diandra kesal. Adel hanya meringis sambil meminta maaf.

"Wa'alaikumsalam," jawab seseorang sayup-sayup dari samping rumah. Adel melongokkan kepala dan terlihatlah seorang gadis berhijab keluar dari pintu samping.

"Eh maaf, kalian siapa?" tanya gadis itu bingung.

"Saya Diandra dan ini keponakan saya Adel. Benar kamu yang bernama Sandra?" Diandra membekap mulut Adel yang sudah bersiap melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh.

"Ah, iya saya Sandra. Tapi ... saya tidak kenal kalian," ujarnya ragu.

"Saya tetangganya Wina," jelas Diandra. Raut wajah Sandra berubah setelah mendengar nama Wina. Ia terlihat ketakutan.

"Ah, maaf saya masuk dulu. Saya tidak mau berhubungan lagi dengannya," tegasnya. Diandra salah tingkah.

"Tunggu! Apa Mbak Sandra nggak tau soal Mbak Wina? Ia sekarang di rumah sakit," teriak Adel. Sandra mematung.

"Apa? Kenapa?" tanyanya gemetar.

"Wina ditemukan pingsan dan terluka. Sekarang ia dirawat di rumah sakit. Jadi kami hanya ingin tau beberapa hal," lanjut Diandra setelah berpikir sejenak.

"Apa Mbak Wina punya musuh di sekolah?" Adel menatap serius. Sandra terkejut melihat ekspresi bocah berkaca mata itu.

"Eh ... nggak tau. Mungkin banyak, karena ia pun punya geng," gumam Sandra.

"Bagaimana keseharian Mbak Wina di sekolah?" Adel mulai mengeluarkan buku kecilnya. Diandra hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat aksi anak itu.

"Dia sebenarnya baik, hanya tidak suka ditentang dan anak pendiam. Tapi ... mungkin ada sikapnya yang melukai orang lain. Karena ...." Sandra terdiam. Wajahnya memucat. Adel mendekat dan menatap matanya lekat-lekat.

"Ada petunjuk? Ehmm, maksud Adel, karena apa?"

"Tunggu sebentar. Silakan duduk di situ," tunjuk Sandra pada bangku di bawah pohon belimbing. Gadis itu bergegas masuk lewat pintu yang sama dengan kemunculannya. Diandra meraih tangan Adel dan mengajaknya duduk.

"Kamu ngapain sih, Del?" decak Diandra. Adel hanya meringis sambil mendekap buku hitam di tangannya.

Tak berapa lama Sandra datang tanpa membawa apa-apa. Padahal Adel berharap ada segelas es sirup karena ia sangat haus.

"Maaf menunggu lama. Jadi, malam setelah perkelahianku dengan Wina ada yang mengetuk jendela kamar. Di situ ...." tunjuknya ke arah satu-satunya jendela yang terbuka. Diandra langsung menatap jendela kayu itu, Adel pun melupakan rasa hausnya.

"Aku ketakutan dan akan berlari keluar tapi tiba-tiba ada yang berbisik berkali-kali." Sandra terdiam, dahinya berkerut mengingat sesuatu.

"Sepertinya begini, 'Aku akan membantumu ... aku akan membalaskan dendammu', berkali-kali sampai lututku tak bisa menopang tubuh. Aku terduduk di bawah ranjang hingga suara itu menghilang," tutur Sandra gemetar. Diandra memandang Adel yang terlihat serius tanpa merasa takut.

"Suara itu, laki-laki atau perempuan?" tanya Diandra.

"Entah. Aku tidak bisa berpikir saat itu. Sungguh, aku tidak ada dendam dengan siapa pun," isak Sandra. Diandra menepuk pundak gadis itu.

"Apa ada jejak setelahnya?" Adel menatap jendela kamar Sandra yang kini terlihat lebih jelas dari bawah pohon belimbing.

"Itu ...." Sandra mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Secarik kertas hitam dengan tulisan tangan aneh bertinta hitam pekat. Tulisan itu hampir tidak terlihat karena memiliki warna yang sama dengan kertasnya.

Adel meraih kertas itu. Diamatinya tulisan berhuruf aneh, seperti tulisa pada zaman dulu.

"Tante tau?" Disodorkannya kertas itu ke Diandra.

"Eh, pernah lihat huruf seperti ini. Tapi lupa dimana ya?"

"Kak, boleh Adel pinjam kertas ini?" Adel menatap Sandra penuh harap.

"Ambillah. Aku tidak tahu tulisan apa itu," ujar Sandra. Adel berbinar dan meraih kertas yang sedang diamati Diandra. Memasukkannya ke dalam buku hitam miliknya.

"Adel, ih. Nggak sopan," ketus Diandra.

"Nanti aja Tante, bacanya di rumah," bisik anak itu tengil. Diandra menjentik dahinya yang tanpa poni.

"Kak Sandra, kalau gitu kami pulang dulu. Terima kasih informasinya," pamit Adel dan menarik tangan Diandra. Sandra mengangguk lalu mengantarkan mereka sampai pagar.

Sebelum pulang, Adel melirik jendela kamar Sandra. Jaraknya cukup tinggi dari tanah, karena pondasi rumah Sandra di atas tanah. Teras depannya saja berundak, kemungkinan orang dewasa yang mengetuk jendela kamarnya. Tinggi sekitar 165 cm lebih. Adel terdiam sepanjang perjalanan pulang. Diandra pun enggan mengajaknya bicara.

Tiba di rumah, anak itu langsung masuk kamar dan menutup pintu. Diandra melakukan hal yang sama. Tubuhnya sangat lelah, ia ingin memejamkan mata sebelum mandi sore.

Baru beberapa jam ia terlelap, pintu kamarnya diketuk berulang-ulang. Siapa lagi kalau bukan Adel pelakunya.

"Tante ... tante ...! Akun medsos Kak Sandra apa?" teriak anak itu tanpa dosa. Diandra melempar bantal ke arah pintu dengan kesal.

"Masuk aja sih, nggak dikunci. Cari sendiri di HP tante. Kemarin udah coba menambahkan akunnya ke friendlist," dengus Diandra. Adel masuk lalu celingak celinguk mencari benda pipih milik Diandra.

Anak itu bekerja tanpa suara, ia sadar sudah mengganggu tidur tantenya. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, didekatinya Diandra yang kembali menutup diri dengan selimut. AC di kamarnya selalu dingin, Adel berterima kasih sambil merapatkan selimut yang tersingkap.

Di kamarnya, Adel menatap layar HP Diandra. Sandra sudah mengkonfirmasi pertemanan. Semua statusnya kini bisa dilihat. Adel mulai mencari sesuatu yang ia sendiri tidak yakin. Ada satu postingan yang menurutnya menarik. Tanggal yang tertera sebelum kejadian perkelahian itu.

'Andai bunuh diri itu tidak dosa. Sudah kemarin lalu kulakukan. Toh, aku hanya marmut kecil tak berdaya yang selalu dijadikan bahan kesalahan mereka.'

Adel mencatat tanggal dan tulisan itu. Setelah dirasa cukup, ia pun mengembalikan HP Diandra.

Kembali ke kamar ia mengambil sebuah map berisi potongan berita tentang korban penganiayaan akhir-akhir ini dengan kasus sama. Mulut robek. Tapi ada satu yang berbeda, di kasus ketiga luka korban tidak hanya di mulut, tapi juga tangan yang patah. Dan anehnya, semua korban perempuan, tanpa tanda-tanda kekerasan seksual. Apa mungkin pelakunya juga wanita?

Adel mengetukkan pensil beberapa kali. Ia mengingat semua postingan Sandra yang tadi berhasil ia telusuri. Tidak ada hal menarik kecuali postingan yang telah ia salin. Foto yang diunggah pun biasa saja. Foto selfi 'candid' yang diedit dengan caption anak muda masa kini. Tidak ada foto teman maupun keluarga. Keluarga? Adel menepuk dahinya dengan ujung pensil. Ia tidak melihat satu pun keluarganya kemarin, saat ke rumahnya.

Sandra. Adel menuliskan nama itu ke daftar 'Orang Dalam Pengawasan' dicatatannya. Ia pun beranjak mandi untuk menyegarkan pikirannya.

Saat makan malam, anak itu mengutarakan rencana selanjutnya.

"Tante, gimana kalau kita jenguk Mbak Wina?"

Diandra terdiam. Diketuknya sendok beberapa kali.

"Boleh. Tapi janji, jangan melakukan apapun. Hal aneh-aneh itu," sungut Diandra. Adel mengangguk tapi Diandra melihat ekspresinya tidak meyakinkan.

Benar saja. Esoknya saat mereka di rumah sakit, Adel mengajukan beberapa pertanyaan yang membuat wajah Wina heran-heran dan kesal. Tapi sayang, gadis itu belum bisa diajak komunikasi karena luka jahitan dibibirnya belum sembuh total.

***

avataravatar
Next chapter