webnovel

Catatan Cerita

Sheren Queena memiliki mimpi yang manis. Gadis cantik itu menyukai musik, dan mimpinya adalah orang-orang bisa mendengarkan musiknya. Sesederhana itu. Namun rupanya, jalan yang dia tempuh teramat sangat terjal.

ranyraissapalupi · Teen
Not enough ratings
297 Chs

Catatan 29: Kamu Mencintaiku?

Taman Bungkul terlihat ramai pada Hari Sabtu sore ini. Sheren berjalan santai di jalur yang dibuat khusus untuk lalu lalang orang-orang yang berjalan kaki di taman itu. Sesekali, dia tersenyum saat melihat beberapa anak kecil tengah berlarian dengan riang. Hatinya terasa hangat saat melihat anak-anak tengah bermain, beban seakan ikut terangkat dalam tawa ceria anak-anak.

'Andai aku bisa kembali ke masa kecilku yang bahagia dan menetap di masa itu selamanya. Aku tidak perlu dipusingkan dengan kompetisi piano, Adisty, dan berbagai macam hal menyebalkan lainnya.' Seketika, rasa kesal memuncak kembali saat dia teringat soal Adisty. Namun, ada rasa sedih di hatinya jika dia benar-benar keluar dari akademi musik. Karena otomatis, penghasilan Adisty akan berkurang drastis. Mama sering memberinya banyak bonus untuk kerja keras perempuan muda itu.

Tak jauh di belakang Sheren. Seorang pemuda dengan bucket hat hitam, jaket hitam yang tidak diresleting, kaos putih, serta celana jeans hitam dan sepatu kets putih tersenyum saat dia berhasil mengenali gadis cantik dengan cardigan tosca dan gaun tosca selutut. Dengan langkah riang, dia berjalan menghampiri gadis itu seraya berkata, "Sheren!"

Sheren berbalik badan, lalu dia menghela nafas berat saat melihat Shawn datang menghampirinya. Kemarin, dia tidak bertemu Shawn di sekolah. Pemuda itu tidak masuk sekolah. Dan kini, Shawn berdiri di hadapannya dengan senyum menawan.

"She? Kamu gak apa-apa?" tanya Shawn sambil melambaikan tangan di depan wajah Sheren. Dia melakukan itu karena khawatir jika Sheren kerasukan. Karena gadis itu tengah terdiam dan mematung.

"Hm? Aku gak apa-apa kok. Kapan kamu pulang dari Jerman?"

Shawn menyipitkan matanya sambil menatap Sheren. Dia tak percaya jika Sheren baik-baik saja. Sayangnya, Shawn tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Jadi, dia terpaksa percaya pada kalimat Sheren. "Tadi malam. Lalu, tadi pagi ada pemotretan di Palembang. Dan satu jam yang lalu, aku baru tiba di Surabaya."

Satu hal yang Sheren sadari, jadwal pekerjaan Shawn sangat padat. Dia mengingat beberapa kali pertemuannya dengan Shawn dan Shawn selalu menyinggung jadwal kerjanya. "Kamu kenapa di sini sendirian?"

"Enggak apa-apa. Aku sedang ingin mencari udara segar. Eh She, kamu suka batagor gak?"

Tanpa berpikir dua kali, Sheren mengangguk semangat. "Tentu saja! Siapa yang bisa menolak kelezatan makanan itu?"

"Ayo!"

"Ke mana?"

"Makan batagor. Aku yang traktir!"

Sheren tersenyum lebar, lalu mereka berdua berjalan beriringan. Sheren tahu bahwa omongan Shaka kemarin bisa saja benar, namun dia juga tahu bahwa dia tidak boleh berharap lebih. Siapa yang bisa menyelami isi hati manusia? Mungkin saja, Shawn hanya menganggapnya teman biasa.

***

Senja telah meninggalkan Kota Surabaya, berganti dengan sang malam yang menyelimuti kota ini. Lampu-lampu jalanan, lalu lalang kendaraan memadati jalanan. Sheren menatap lampu-lampu yang menyinari jalanan dengan senyum tipis. Dia menikmati keheningan yang damai ini, dan suara-suara deru kendaraan seolah berada jauh dari jangkauannya.

"Kamu kenapa tadi bisa di Taman Bungkul sendirian sih?" Pertanyaan Shawn memecah keheningan. Mobil yang dikendarainya kini berhenti akibat terjebak macet. Hal ini bisa dimaklumi karena hari ini adalah akhir pekan, sehingga banyak orang yang memilih melepaskan penat dari rutinitas pekerjaan mereka dan berjalan-jalan di beberapa tempat menarik di kota ini.

Sheren menatap Shawn. "Enggak sendirian kok, kan ada banyak orang di taman itu."

"Maksudku, di mana Shaka? Kok tumben dia tidak ada bersamamu saat kamu di luar rumah."

"Saudara kembarku tengah berada di tempat latihan beladiri. Jadi, aku berjalan-jalan sendiri. Lagipula, berjalan-jalan sendirian itu menyenangkan. Aku bisa menikmati betapa indahnya dunia ini dengan damai, aku juga bisa melepas stresku. Kamu tahu? Kebanyakan, stres yang kita rasakan mayoritas berasal dari orang lain."

Shawn tersenyum lembut, debaran di hatinya semakin menguatkan bahwa dirinya memang telah jatuh hati pada gadis cantik di sampingnya ini. "Kamu benar sih. Pekerjaanku buktinya. Pekerjaan itu sebenarnya enggak terlalu berat. Hanya saja, tekanan dari pihak rumah produksi yang menuntut agar kami selalu tampil prima walau sangat kurang tidur. Prasangka-prasangka warganet, dan ekspektasi para penggemarlah yang membuat pekerjaan itu menjadi berat."

"Kamu bahagia dengan pekerjaanmu?" Sheren menatap Shawn dengan raut wajah sedih. Gadis cantik itu tahu bagaimana rasanya menjadi seorang selebriti terkenal. Menjadi orang terkenal berarti harus siap kehilangan privasi. Karena, hal itu juga terjadi padanya dan keluarganya.

Shawn mengusap lembut rambut Sheren, kemudian dia bergegas menarik tangannya. "Maaf She, maaf banget." Dalam hati, dia mengumpati tangannya yang lancang mengusap rambut seorang gadis. Dia memang jatuh hati pada gadis itu, tapi tindakannya tadi juga bisa membuat Sheren merasa terganggu. Lagi pula, dia belum tahu perasaan Sheren yang sesungguhnya. Bisa saja gadis itu justru menyukai orang lain kan?

"Enggak apa-apa kok," senyum Sheren. Lalu, dia melanjutkan, "Kamu belum menjawab pertanyaanku."

Kemacetan sedikit terurai, Shawn kemudian menginjak pedal gas dengan pelan. "Bahagia di momen tertentu, namun juga sedih di momen tertentu. Aku bahagia saat filmku mendapat penghargaan, saat aku mendapat penghargaan, dan masih banyak lagi. Namun, aku sedih dan kecewa saat ada pertengkaran di lokasi syuting dan sebagainya. Terlalu banyak hal sedih dan bahagia di pekerjaanku." Lalu, mobil yang dikendarai Shawn berhasil melaju dengan lancar setelah terbebas dari kemacetan.

"Apa motivasimu menjadi aktor, Shawn? Padahal kamu tahu bahwa itu adalah hal yang berat."

Shawn menatap Sheren sekilas. "Kamu penasaran banget ya? Padahal, aku pernah menjawab pertanyaan serupa dari para wartawan di media."

"Aku mau mendengar langsung dari kamu, bukan dari media. Aku mau langsung mendengar jawabanmu yang jujur."

"Aku sudah jujur,She."

"Tapi bukan jawaban dari hati."

Shawn tersenyum kecil. "Alasan yang paling benar adalah bahwa berakting merupakan salah satu escape routeku dari masalah-masalah yang kulalui. Aku juga punya banyak masalah di hidupku, dan akting menjadi pelariannya. Sudah sampai. Ayo turun."

Shawn lalu mematikan mesin mobil. Hal itu membuat Sheren terkejut karena mereka sudah sampai di tempat tujuan tanpa dia sadari. Kemudian, Shawn turun lebih dulu. Lalu, membukakan pintu untuk Sheren yang masih sibuk dengan rok dan tas selempangnya. Mereka kemudian berjalan bersama menuju warung rawon.

Mereka kini sudah duduk di dalam warung itu. Shawn sengaja mengajak Sheren untuk duduk di bagian sudut ruangan. Hal ini tentu saja membuat Sheren mengernyit. "Shawn?"

Shawn yang sedang melepas jaketnya lalu menatap Sheren dengan alis terangkat, "Kamu sakit?"

"Tadi katanya mau cari batagor?"

Shawn menopang kedua lengannya di atas meja, jaketnya telah tersampir di sandaran kursinya. "Lagi pengin rawon."

"Oh begitu. Terus tadi gimana?"

"Apanya?"

"Yang escape route tadi."

Shawn tersenyum. "Jadi, saat aku berakting tentunya aku harus masuk ke karakter tersebut. Dan saat mendalami peran tersebut, aku bisa sejenak melupakan masalahku. Dan itu membuatku nyaman. Akting bagiku bukan hanya sekedar bermain peran."

"Tapi, bukannya itu bahaya ya?"

"Maksudnya?"

Percakapan itu terinterupsi oleh kedatangan seorang pramusaji yang membawakan pesanan Shawn dan Sheren. Pramusaji itu lalu meninggalkan meja Sheren dan Shawn. "Maksudku, jika kamu terlalu mendalami peran, kamu bisa masuk ke dalam peranmu dan tidak bisa keluar. Identitas dan jati dirimu akan hilang. Mungkin tidak terlalu berbahaya jika peranmu adalah seorang laki-laki yang super baik, tapi bagaimana jika yang kamu perankan adalah karakter psikopat jahat?"

"Dan itulah tugas kami sebagai aktor. Kami harus bisa keluar dari karakter yang kami perankan."

Lalu, mereka memakan rawon yang kini telah menghangat. Mereka kini membicarakan hal-hal yang ringan dan lucu. Shawn bisa merasakan bahwa dia tidak hanya sekedar menyukai gadis ini. Namun, dia juga telah benar-benar jatuh cinta padanya.

***

"SHAKAAAAA!!!"

Lupakan soal tata krama dan etika, kini Sheren berlari seperti orang kesurupan menaiki tangga menuju lantai dua rumahnya. Dia baru saja tiba di rumah dan segera masuk ke rumah setelah memastikan bahwa mobil Shawn sudah keluar dari area pekarangan rumahnya.

"Apa? Ada apa?" Shaka terkejut melihat adiknya berlari sambil berteriak. Hal ini membuatnya mengira bahwa adiknya dalam kondisi darurat. Shaka baru saja tiba di rumah setelah latihan, dia berniat menghabiskan semangkuk salad buah dulu sebelum mandi. Namun, nampaknya dia harus mengurungkan hal itu.

Sheren lalu menarik tangan kiri Shaka, sementara tangan kanan Shaka memegang mangkuk salad buahnya yang masih dia makan sebanyak dua sendok. Dengan langkah cepat, dia mengikuti langkah adiknya yang tergesa-gesa menuju kamar si bungsu.

Setelah mereka berdua berada di dalam kamarnya dan setelah Sheren memastikan bahwa pintu kamarnya sudah tertutup, Sheren lalu menatap saudara kembarnya dengan wajah datar. "Itu Shawn bercanda apa serius sih?!"

"Dia bilang apa?"

Sheren kini berkacak pinggang. "Dia tadi bilang aku mau gak jadi teman hidup dia setelah lulus SMA?"

"Terus? Kamu bilang apa?" Shaka sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menyemburkan gelak tawa. Shawn benar-benar nekat, dia semudah itu mengajak adiknya menikah. Shaka tahu Shawn menyukai adiknya sejak lama, namun dia tak menyangka bahwa Shawn akan senekat itu. "Terus kamu jawab gimana?"

"Aku jawab bahwa aku belum memikirkan soal cinta. Karena sekarang, prioritasku adalah fokus untuk masa depanku."

"Kamu gak mau pacaran sama Shawn?"

Sheren menggeleng. "Aku bilang kalau aku gak mau pacaran sama dia dengan beberapa alasan. Pertama, aku tahu kalau pacaran pasti membutuhkan biaya besar. Biaya itu pasti bisa bertambah seiring berjalannya waktu. Iya kalau Shawn jadi suamiku di masa depan, kalau gak? Rugi besar dong aku! Kedua, aku masih mau hidup bebas tanpa drama percintaan. Ketiga, aku harus memikirkan soal Adisty dan aku sudah punya rencana untuk itu."

Shaka tidak tahu harus berekspresi seperti apa saat mendengar alasan pertama adiknya ini. Bisa-bisanya dia berpikiran soal biaya. "Kenapa kamu malah berpikiran soal biaya sih?"

"Hei Shaka,kencan itu membutuhkan uang loh ya! Mulai dari kuota, bahan bakar kendaraan, belum lagi biaya jajan di luar. Dan pastinya besar banget! Kalau putus di tengah jalan gimana? Memangnya, biaya-biaya itu bisa diminta lagi? Ya gak dong!"

Shaka benar-benar kehilangan kata-kata dengan pemikiran adiknya ini. Lalu, dia menyadari sesuatu. "Apa yang kamu rencanakan terhadap Adisty?"

Sheren tersenyum miring. "Rahasia!"

***

Surabaya, 22 Februari 2020

Hari ini, perkataan Shaka kemarin terbukti benar. Shawn memang menyukaiku. Namun aku ragu. Aku takut jika aku hanya menjadi mainannya saja. Tidak ada yang bisa menjamin dia benar-benar mencintaiku kan?