2 Catatan 1 : Aku

Denting piano mengalun lembut memenuhi studio musik dengan peredam suara berwarna merah di temboknya. Tuts-tuts hitam putih itu mengalun merdu. Dari bunyi tersebut, terdengar sebuah kesedihan, harapan, dan cinta sesuai dengan tema lagu tersebut. Jemari-jemari lentik itu menari dengan lincah di atas tuts-tuts hitam putih itu. Seolah seluruh tubuh dan otaknya sudah memiliki program otomatis untuk bermain piano tanpa melihat notasi dan tuts, karena Sheren memainkan piano itu dengan mata terpejam. Ekspresi wajahnya sangat terbaca jelas bahwa dia menikmati kegiatannya bermain piano.

Tepuk tangan terdengar sesaat setelah permainan Sheren selesai. Gadis cantik itu kemudian membuka kelopak matanya yang sedari tadi tertutup. Mutiara sehitam malam itu kemudian menatap tanpa ekspresi pada wanita berambut bob sebahu yang tengah berdiri di samping grand pianonya. Gadis cantik itu kemudian bertanya, "Bagaimana?"

Si wanita berambut bob itu menatap Sheren dengan senyum separuh. "Selalu bagus, tentu saja. Permainanmu memang sudah bertaraf internasional." Wanita berambut bob itu mengedip, "Justru jika permainanmu buruk, itu adalah hal yang patut dipertanyakan. Ada dua hal yang harus dipertanyakan. Pertama, kamu sedang tidak fokus. Kedua, kualitasmu menurun dan itu sama artinya dengan kegagalan. Kamu menjadi salah satu produk gagal."

Kegagalan? Sheren menyeringai. Dia sudah sering mendengar ancaman itu. Produk gagal, nama baik keluarga yang tercoreng, dan lain sebagainya. Terlalu banyak hingga Sheren tidak ingat. "Produk gagal? Ancaman klasik," gumam Sheren datar.

Adisty menatap Sheren dengan senyum mengembang. Dia tiba-tiba teringat sesuatu. "She, aku baru ingat sesuatu!"

Sheren menaikkan alis kanannya, netranya menatap Adisty dengan sangsi. Senyuman Adisty itu mengandung sejuta makna. Dan Sheren berharap, senyuman itu tidak diiringi dengan malapetaka. Semoga.

Adisty menumpukan lengan kanannya pada pinggiran grand piano Sheren, seulas senyum masih terpatri di wajah cantiknya. "Aku tadi baru saja mendengar bahwa Light Entertainment akan menyelenggarakan audisi untuk merekrut artis baru mereka."

"Lantas? Apa hubungannya denganku?"

Dengusan kesal dihembuskan oleh Adisty. Wanita itu kesal dengan jawaban datar Sheren. "Kamu pergi ke sana, lalu melamar menjadi tukang catnya Bu Winona!"

"Aku enggak bisa menggambar dengan baik, Kak. Bahkan, gambarku sangat standar ala anak-anak. Dua gunung, matahari yang masih terbit separuh di antara dua gunung, dua garis miring menuju pegunungan yang berarti jalan, rumah di sisi kanan, dan persawahan di sisi kiri."

"YA! Apa kamu menganggap serius omonganku barusan?!"

Sheren mengangguk seraya berkata, "Iya, aku selalu menganggap perkataan Kakak adalah hal serius."

Adisty menghembuskan napas lelah. Wanita itu menatap Sheren gemas. "YA! Itu tadi hanya bercanda! Maksudku adalah, kamu pergi ke agensi tersebut dan mengikuti audisi di sana. Paham?"

Sheren menatap tuts-tuts pianonya dengan tatapan kosong. Dia tidak ingin mengikuti audisi tersebut, namun dia tahu bahwa dia tidak bisa menolak. Hidupnya sudah ditakdirkan untuk menjadi boneka, atau dia akan dilabeli dengan label ' produk gagal.' "Entahlah Kak. Aku akan pikirkan ini dulu."

"Benar-benar dipikirkan loh ya? Bukan hanya sekedar omong kosong!"

"Kakak kan tahu bahwa aku tidak pernah berminat untuk menjadi selebriti."

Adisty menatap Sheren dengan tatapan kebingungan. "Sebentar, kamu tidak pernah berniat menjadi selebriti? Lantas, kenapa kamu berlatih piano?"

"Karena aku menyukainya. Aku berlatih piano karena aku suka. Hanya itu," jawab Sheren datar.

"Oh begitu. Jadi, kamu punya cita-cita lain? Apa itu? Penulis? Dokter? Pengusaha? Koki?"Antusiasme terdengar dari nada bicara Adisty. Wanita itu merasa antusias karena dia penasaran dengan cita-cita Sheren. Dia berpikir, bahwa cita-cita Sheren adalah cita-cita yang keren! Sheren pasti memiliki cita-cita yang keren!

Sheren menatap langit-langit studio, kemudian menatap Adisty dengan tatapan datar. "Aku hanya ingin menjadi orang biasa, yang memiliki kehidupan biasa saja. Lalu, menghabiskan masa tua dengan bersantai."

Adisty menatap Sheren dengan tatapan kecewa. Ekspektasinya luntur seketika! "She! Berhentilah menghancurkan ekspektasi orang-orang! Hiduplah sesuai ekspektasi orang-orang. Pergunakan bakat dan fasilitasmu dengan baik."

Diam, hanya itu yang bisa dia lakukan. Karena semarah apapun dia dengan perkataan Adisty barusan, namun itulah kenyataannya. Akhirnya, yang bisa dia lakukan hanyalah tersenyum datar. "Manusia diciptakan menjadi makhluk yang bebas merdeka. Dan aku memiliki hak yang sama dengan orang-orang di luar sana untuk memilih akan seperti apa hidupku nanti. Aku hidup bukan untuk memenuhi ekspektasi orang-orang." Setelah berucap hal itu, Sheren kemudian berlalu dari studio.

Adisty menatap kepergian Sheren dengan pandangan nanar. Anak didiknya itu, entah mengapa selalu tampak seperti seorang gadis yang kesepian dan frustasi kendati hidupnya dipenuhi dengan kebahagiaan.

***

Hujan turun dengan deras saat Sheren baru saja menjejakkan kakinya di teras gedung studio musik. Hembusan napas kesal terdengar dari bibir Sheren. Namun sejurus kemudian, Sheren menepuki bibirnya sendiri dengan menyesal. Penyesalan karena dia telah marah dengan nikmat yang Tuhan turunkan ke muka bumi ini. Lalu, Sheren merogoh kantung tas ranselnya untuk mengambil ponselnya. Belum sempat dia menyalakan ponsel yang telah berada di genggamannya, sebuah mobil berwarna merah tiba-tiba saja berhenti di depannya.

Mobil itu tampak sangat familiar di mata Sheren. Belum sempat dia menggali informasi si pemilik mobil itu dari dalam otaknya, kaca jendela penumpang depan turun dan menampilkan sesosok wajah tampan tengah tersenyum padanya.

"Apaan sih?!"

Sekelebat pandangan nanar muncul di kedua manik hitam Shaka. Namun, pandangan itu hilang secepat kilat. "Pulang bareng yuk!" Shaka menatap adiknya penuh harap, dalam hati dia sangat berharap bahwa sang adik akan mengiyakan permintaannya.

Sheren kemudian berjalan menuju mobil itu. Air hujan sedikit mengenai tubuhnya. Lalu dengan gesit, gadis itu masuk ke dalam mobil. Dia duduk di kursi penumpang samping kursi pengemudi. Seulas senyum lebar terukir di bibir merah muda Shaka. Pemuda itu kemudian melajukan mobil yang dia kendarai menembus hujan.

"Kenapa kamu ke sini? Bagaimana dengan lesmu? Mama dan Ayah pasti marah saat tahu putra tersayang mereka membolos!" ucap Sheren dengan penekanan khusus pada kata ' putra tersayang.' Dia sengaja berbicara seperti itu karena dia tahu bahwa Shaka adalah putra kesayangan keluarga besar mereka.

Shaka melirik Sheren sekilas, kemudian kembali fokus pada jalanan di depannya. "Enggak, lesnya udah selesai. Mama dan Ayah enggak akan marah."

Lirikan sangsi diberikan Sheren pada saudaranya itu. "Masak? Jangan bercanda!"

Shaka terkekeh mendengar pertanyaan penuh kesangsian dari sang adik. "Iya, beneran! Jangan khawatir!"

"Kamu sengaja ya mau menjemputku?"

Shaka mengangguk. "Iya benar."

Sheren hanya mengangguk. Gadis itu kini menatap jalanan yang dipenuhi oleh air hujan. Sejujurnya, dia dan Shaka tidaklah sedekat itu. Sedari kecil, mereka sudah memiliki kesibukan masing-masing. Shaka dengan bimbingan belajarnya, dan Sheren dengan kursus pianonya. Dan kini, dia merasa canggung untuk membuka pembicaraan dengan saudara kembarnya itu.

***

Surabaya, 12 Januari 2020

Aku hidup bukan untuk memenuhi ekspektasi orang-orang. Namun, aku tidak bisa. Hidupku diciptakan sebagai pemuas ekspektasi orang-orang.

avataravatar
Next chapter