webnovel

CAROLINE

Hidup Caroline berubah 180 derajat setelah ulang tahun ke-18 nya. Mengetahui seluruh anggota keluarga angkatnya ternyata adalah werewolf masih belum cukup, Ia harus menerima kenyataan bahwa kakaknya, Alex, adalah pasangan matenya. Belum lagi kenyataan bahwa selama ini sebenarnya Ia bukan manusia biasa. Caroline adalah Leykan terakhir yang hidup, bangsa superior yang sangat ditakuti dan dibenci oleh para werewolf. Apakah Ia harus melarikan diri atau menghadapi takdir barunya?

ceciliaccm · Fantasy
Not enough ratings
252 Chs

Chapter 45

Padang bunga lavender itu masih terlihat sama seperti saat kami terakhir mengunjunginya. Batu besar yang berada tepat di tengahnya terlihat seperti pulau yang dikelilingi lautan lavender. Semerbak harum bunganya memenuhi udara dingin malam ini. Alex meminjamkan jaket jeansnya padaku walaupun aku sudah mengenakan jaket hoodie. Sambil menggandeng tanganku Ia membimbingku melewati jalanan kecil yang membelah padang bunga ini.

Kami berhenti tepat di sebelah batu besar lalu Alex membantuku naik ke atasnya agar aku bisa duduk.

"Apa kau ingin aku berubah sekarang?" tanyanya sambil mendongak ke arahku. Aku mengangguk dengan antusias padanya. Alex menarik salah satu sudut mulutnya ke atas, membentuk setengah senyuman yang membuat wajahnya terlihat lebih muda. Lalu tiba-tiba Alex melepaskan kaos hitamnya, lebam sisa sparringnya tadi padi bersama Vincent sudah memudar drastis dari badannya yang besar dan atletis. Pandanganku tertuju pada otot lengan dan perut sixpacknya yang ikut bergerak setiap Alex mengangkat tangannya. Saat tangannya membuka kancing celana jeansnya aku baru menyadari apa yang akan Ia lakukan.

"Uhhh... Alex, apa kau akan melepaskan semuanya disini?" suaraku terdengar sedikit serak saat berbicara lagi.

"Oh. Aku lupa." jawabnya sambil menyengir malu. Alex melemparkan kaosnya ke arah batu hingga mendarat tidak jauh dari tempatku duduk lalu berbalik dan berjalan ke arah pepohonan besar. Aku menunggunya dengan jantung sedikit berdebar, beberapa saat kemudian suara patahan yang keras terdengar memecah kesunyian malam. Setiap aku mendengar suara itu aku jadi bertanya-tanya apakah rasanya menyakitkan saat werewolf bertransisi ke dalam wujud serigalanya?

Pikiranku terputus saat seekor serigala coklat besar melangkah dari balik pepohonan. Tidak peduli berapa kalipun aku melihatnya, serigala Alex selalu bisa membuatku takjub. Dalam wujud serigalanya pun aku masih bisa merasakan aura dan energi kuat Alphanya yang mendominasi. Bulu lebatnya yang berwarna coklat bersemu hitam terlihat mengkilap saat terkena pantulan sinar bulan. Dengan perlahan kakinya yang besar berjalan melewati sela semak-semak lavender sementara kedua mata coklat keemasannya tertuju padaku tanpa berkedip. Akhirnya Ia berhenti beberapa langkah dari tempatku duduk, bahkan tingginya pun hampir sejajar dengan batu besar ini.

"Hai..." sapaku dengan gugup ke arah serigala itu. "Ah, apa Ia mengerti ucapan manusia?" tanyaku pada diriku sendiri.

Serigala itu kembali melangkah lebih dekat tapi dengan perlahan, seakan Ia tidak ingin membuatku terkejut seperti dulu lagi. Ia melompat ke atas batu besar lalu duduk tidak jauh dariku. Aku berdiri dari tempatku lalu mengulurkan tanganku padanya, dan seperti yang kuharapkan serigala itu menjulurkan hidungnya yang basah ke pergelangan tanganku lalu mengendusku dengan antusias. Setelah Ia puas giliranku untuk mengelus bulunya yang walaupun sedikit kasar tapi terasa hangat di telapak tanganku. "Alex, kau tidak bisa bicara, kan?" tanyaku untuk memastikan. Serigala coklat itu menelengkan kepala besarnya dengan pandangan bingung hingga membuatku tersenyum.

Tiba-tiba Ia menjilat sisi wajahku dengan lidahnya yang besar lalu mengendus sekitar leherku. "Ewww..." gerutuku sebelum menghapus air liur di pipiku. "Aku tahu kau adalah Alex, tapi tetap saja rasanya menjijikan."

Ia hanya meresponku dengan dengkingan halus lalu berdiri dengan ke empat kakinya sambil mendongak ke arah bulan di langit. Ia berdiri mematung dengan posisi itu selama beberapa detik lalu kedua telinganya bergerak seakan sedang berusaha mendengarkan sesuatu di kejauhan.

"Aauuuuu..." Serigala Alex membuka moncongnya lalu melolong dengan merdu ke arah langit. Aku melangkah mendekatinya lalu mengelus sisi badannya yang tergapai oleh tanganku sementara Ia terus melolong dengan antusias.

Beberapa saat kemudian dari kejauhan aku mendengar lolongan balasan, diikuti dengan lolongan lain yang saling bersahut-sahutan mengisi suara di hutan malam ini.

"Whoa..." gumamku dengan takjub ketika suara lolongan terdengar dari seluruh penjuru hutan yang membuat bulu halus di seluruh tubuhku meremang. Entah kenapa mendengarnya membuatku ingin ikut membalas lolongan serigala di luar sana, rasanya seperti ada sesuatu dalam diriku yang merindukan pemandangan dan suasana ini. Mendengar nyanyian merdu para serigala sementara angin malam yang berhembus membawa aroma harum padang bunga lavender di sekelilingku.

Serigala Alex berhenti melolong lalu menunduk menatapku yang sedang terkesima. Suara lolongan di kejauhan masih terdengar walaupun sudah mulai samar. Aku menatapnya dengan senyuman lebar lalu mengecup kepalanya saat Ia mendekatiku. "Seharusnya kau melakukan ini dari awal." kataku padanya dengan suara agak serak. "Alex... terimakasih sudah memilihku." tanpa kusadari kedua mataku sudah digenangi air mata.

Dengan sedikit malu kuhapus air mataku lalu tertawa sambil terisak. "Aku tidak tahu kenapa aku menangis." sambungku. Serigala Alex mengusapkan kepalanya di dadaku lalu tiba-tiba meloncat turun dari batu besar dan berlari menuju pepohonan yang gelap.

Aku menunggunya kembali tapi yang melangkah ke arahku bukan serigala itu lagi, melainkan Alex. Ia berjalan ke arahku dengan langkah panjang, Alex hanya mengenakan celana jeansnya karena kaosnya masih tergeletak di atas batu besar. Aku bisa melihat kedua mata keemasannya yang terlihat hampir menyala di tengah temaram malam... menatapku dengan sangat intens hingga aku terpaku di tempatku. Dengan mudah Ia melompati batu besar dan mendekatiku dengan cepat. "Kenapa kau berubah lagi—"

Sebelum aku sempat menyelesaikan pertanyaanku, kedua tangan Alex menangkup wajahku lalu Ia menarikku ke dalam pelukannya dan menciumku. Tidak ada yang lembut di dalam ciumannya malam ini, Alex menggigit bibir bawahku dengan pelan saat aku lambat membukanya. Lidahnya menelusuri dan menjelajahi bagian sensitif mulutku dan sesekali berdansa dengan lidahku. Aku tidak bisa mengelak atau menghindarinya karena otakku sudah berhenti berfungsi sejak Ia menciumku. Aku bisa merasakan nafas hangatnya yang berhembus di wajahku, panas tubuhnya saat kedua tanganku menyentuh dadanya, dan detak jantungnya yang berdentum keras di baliknya. Sama seperti jantungku saat ini. Salah satu tangannya bergerak menyusuri rambut panjangku, sedangkan satunya lagi turun mengelus rahangku.

Alex tidak berhenti saat aku mulai kehabisan nafas, Ia hanya memindahkan ciumannya menyusuri rahangku perlahan hingga turun ke pangkal leherku tempat tanda mark yang pernah Ia berikan. Nafasnya yang mulai memburu dan detak jantungnya yang keras membuat tubuhku juga meresponnya. Kudorong tubuhku hingga semakin dekat dengannya, lalu tanganku menyusup pada rambutnya sementara satunya lagi menyusuri tubuhnya yang bertelanjang dada. Berbagai sensasi asing menyelubungi tubuhku, rasanya saat ini aku mengenakan terlalu banyak pakaian yang mengganggu.

Alex menjilat lalu bergantian menggigit dengan lembut tanda marknya di leherku. Saat mendengar desahan yang keluar dari bibirku tiba-tiba tubuhnya menegang lalu Ia menarikku menjauh darinya. "Kita harus berhenti." katanya dengan suara bercampur geraman yang tidak terlalu jelas. Kedua mata keemasannya memandangku masih dengan intens.

Dengan kedua mata setengah terpejam aku membalas pandangannya, "Jangan berhenti." pintaku.

Alex menelan ludahnya saat memandang ekspresi di wajahku tapi dengan cepat Ia menggeleng padaku.

"Ke—Kenapa?" tanyaku dengan gugup, seluruh sensasi yang kurasakan sebelumnya menguap dengan begitu saja. Ia melepaskan tangannya dari kedua bahuku lalu berbalik untuk mengambil kaosnya, "Karena hanya tinggal sedikit lagi lalu aku tidak akan bisa mengontrol diriku. Aku tidak ingin memori pertamamu denganku terjadi di atas batu sialan ini, Cara." jelasnya masih dengan suara dalam yang sedikit menggeram.

"O—Oh." dengan wajah merah padam aku turun dari batu besar di bantu oleh Alex. Kami hanya terdiam sepanjang jalan kembali ke mobil, begitu juga dalam perjalanan ke rumah Pack.

Extra update bagian uwu! Mohon dukungan power stone dan review ya teman temin yang budiman, biar makin semangat update ;)

ceciliaccmcreators' thoughts