webnovel

Dipaksa Mati

Dua orang yang keras tidak akan pernah menghasilkan apa-apa. Keinginannya untuk satu sama lain tidak akan pernah menjadi nyata karena pada dasarnya tujuan yang berbeda.

Sama halnya dengan Aksa dan Ibunya. Aksa dengan tekadnya untuk meniti karirnya lebih jauh lagi, yang bisa membawa nama band mereka sampai kancah internasional.

Berbeda dengan Ibunya. Sekeras apapun anaknya itu menolak, dia masih punya seribu satu cara untuk membuat Aksa bisa ikut jalan yang sudah dia siapkan.

Kenapa tidak bisa berjalan beriringan saja? Karena memang tidak bisa. Jalannya sangat-sangat berbeda. Layaknya persimpangan yang arahnya berbeda. Aksa ke timur, Ibunya ke barat.

Mas Tirta? Dia dengan jalannya sendiri. Dia juga tidak peduli dengan apapun yang akan dikatakan Ibunya nanti. Dengan kata lain, hidupnya benar-benar berjalan seperti aliran sungai. Semuanya tergantung apa yang seharusnya terjadi. Tidak ada paksaan atau penolakan.

Itulah kenapa Ibunya lebih keras ke Aksa untuk mengikuti jalan yang dia inginkan. Mas Tirta sangat berbeda dengan adiknya. Jika Mas Tirta ikut saja apa kata Ibunya, berbeda dengan Aksa.

Dan lagi, Aksa tidak mendengarkan apa permintaan dari Ibunya itu. Berkas-berkas mengenai kampus dan perkuliahan yang diinginkan Ibunya untuk ditempuh Aksa, dibuang begitu saja tanpa dilihat sedikitpun. Lebih tepatnya, dia tidak tertarik dengan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan musik.

"Lama amat, sih, lo," gerutu Ekamatra tepat Aksa masuk ke mobil yang hendak membawa mereka ke kantor.

"Lagi buang sampah," balas Aksa asal.

"Buang sampah apa buang sial," celetuk Senandika tidak bermaksud apa-apa. Tapi, Aksa merasa celetukan Senandika itu lebih tepat untuk mendeskripsikan hal yang dia lakukan tadi.

"Benar, Ka. Gue lagi buang sial," balas Aksa sambil terkekeh membenarkan perkataan Senandika.

***

Sekarang, ruang rapat yang tidak begitu luas itu dipenuhi oleh seluruh anggota The Heal, Bang Arnan, produser untuk album mereka, dan beberapa komposer yang akan turut andil dalam pembuatan album terbaru mereka.

Rapat sudah berlangsung hampir 2 jam dan itu baru jalan setengahnya. Karena ini album yang dinobatkan sebagai album spesial untuk menyambut hari jadi The Heal yang ke-7, jadi mereka benar-benar membuatnya berbeda dari yang sebelum-sebelumnya.

Tugas yang diberikan Lengkara kepada Aksa dan Ekamatra sebagai hukuman dari pertengkaran mereka pun diikutkan dalam rapat kali ini. Bukan berarti semua lagu ciptaan mereka akan dimasukkan dalam album.

Tapi, mungkin ada yang disimpan dulu, atau dimodifikasi, digabung, dan sebagainya. Asalkan, semua itu sesuai dengan tema yang akan mereka usung untuk album kali ini.

"Bang, break bentar dong, patat gue keram, nih," bisik Batara kepada sang Manager.

Karena terlalu asik dengan pembahasan lagu-lagu yang hendak mereka usung, semua peserta rapat seakan lupa bahwa mereka tidak beranjak dari tempat mereka sejak dua jam yang lalu.

"Udah mau makan siang juga ternyata," ucap Bang Arnan setelah melirik jam yang melingkar di lengannya.

"Oke, kita break bentar, ya. Setelah makan siang kita lanjut. Boleh?" Pertanyaan terakhir itu lebih tepat ditujukan untuk sang produser dan komposer yang hadir.

Mereka pun mengangguk tanpa ragu. Istirahat satu atau dua jam mungkin cukup untuk menyegarkan kepala mereka. Sebelum, melanjutkan pembahasan yang entah sampai kapan akan berlangsung.

"UWAAH… Bang, kalo gue nggak negur lo mungkin kita akan kejebak berjam-jam di sini, tau," gerutu Batara setelah komposer dan produser keluar dari ruang rapat.

Karena mereka adalah orang-orang profesional dan memiliki jam terbang yang jauh di atas The Heal, jadi mereka menganggap para produser dan komposer itu sebagai orang terhormat yang tidak boleh sembarangan diajak bercanda.

Makanya, mereka bisa bebas kembali bersikap selayaknya mereka setelah orang-orang penting itu memisahkan diri. Ruang rapat yang beberapa menit lalu masih dalam suasana serius, seketika berubah jauh lebih santai.

"Keasikan bahas projek jadinya lupa sama sekeliling," timpal Lengkara sambil terkekeh.

Mereka semua antusias dengan comeback kali ini. Itulah kenapa mereka tidak sadar dengan waktu yang sudah mereka habiskan dengan begitu seriusnya bersama orang-orang itu.

"Kantin, yuk," ajak Aksa yang langsung diikuti oleh semua personil, kecuali Bang Arnan karena dia harus mampir ke ruangan produser lebih dulu sebab ada yang harus dia berikan lebih dulu.

Setelah berbicang-bincang singkat dengan sang produser, Bang Arnan langsung keluar dari ruangan tersebut dan hendak menyusul anak-anak The Heal. Tapi, langkahnya terhenti saat ada orang yang begitu dia kenal menghadang langkahnya.

Bang Arnan tidak bisa menyembunyikan keterjutannya terhadap kehadiran Ibu Aksa di depannya saat ini. Wanita anggun yang ditemani sekretarisnya itu meminta Bang Arnan untuk bicara empat mata.

Bang Arnan pun tanpa ragu mengiyakan permintaan tersebut. Dia membawa Ibu Aksa ke ruang rapat yang tadi mereka gunakan.

"Tumben sekali Ibu mau berkunjung ke sini," ucap Bang Arnan memulai pembicaraan.

Ibu Aksa masih mempertahankan kewibawannya di hadapan orang yang menurutnya sudah membuat anaknya itu tidak pernah mendengarkan apa katanya lagi.

"Sebenarnya saya tidak sudi untuk menginjakkan kaki saya di tempat ini," sinis Ibu Aksa yang sudah menyilangkan tangannya di depan dada.

Bang Arnan hanya bisa menelan salivanya. Dia seakan sudah kebal dengan kata-kata pedas nan nyelekit yang sering terlontar dari orang tua salah satu anak asuhnya itu. Tapi, Bang Arnan tidak sekalipun membalas ucapan pedas itu.

"Kontrak Aksa berapa tahun lagi bersama kalian?" tanya Ibu Aksa setelah Bang Arnan mendiamkannya beberapa saat.

Alis Bang Arnan tidak bisa untuk tidak saling bertaut. Dia bingung dengan Ibu Aksa yang tiba-tiba menanyakan soal kontrak anaknya disaat dia tidak pernah tertarik dengan kegiatan anaknya bersama The Heal.

"Ada perlu apa, ya, Ibu tanya soal itu?" tanya Bang Arnan hati-hati. Dia tidak ingin menyinggung Ibu Aksa.

"Saya pengen putuskan kontrak dia dengan kalian. Saya akan bawa dia ke luar negeri untuk kuliah dan meniti karir di tempat yang lebih layak dari ini."

Dalam hati Bang Arnan sebenarnya sudah bergejolak untuk membalas ucapan yang tidak seharusnya dilontarkan perempuan berpenampilan wibawa seperti Ibu Aksa ini. Penampilannya saja yang bisa dipuji, tapi ucapan sangat tidak sesuai dengan penampilannya.

"Maaf, Bu. Untuk urusan kontrak itu urusan orang yang menandatangani. Saya atau Ibu tidak ada hak untuk mengambil keputusan untuk itu. Kalau Ibu punya rencana demikian, silakan untuk diskusikan dengan Aksa terlebih dahulu baru setelah itu kita bicarakan kontraknya," tutur Bang Arnan setenang mungkin.

Jawaban Bang Arnan tersebut langsung membuat emosi Ibu Aksa naik beberapa tingkat. Gebrakan meja pun tidak bisa dihindarkan lagi. Dia semakin yakin kalau anaknya tidak bisa keluar dari perusahaan ini karena orang seperti Arnan yang menahannya.

"Kalian seharusnya tidak menjerumuskan anak saya ke jalan yang tidak berguna seperti ini. Kalian sudah buat Aksa buang-buang waktunya untuk bisa berada di tempat yang layak daripada ini," geram Ibu Aksa.

Bang Arnan mengulas senyum tipis. Seakan ada yang lucu dengan ucapan Ibu Aksa ini.

"Saya tidak pernah membawa Aksa masuk ke dunia ini. Dia sendiri yang menemukan dunia ini dan dia bahagia di dalamnya. Saya rasa, Ibu yang selama ini terlalu memaksa anak Ibu untuk keluar dari dunia yang membuatnya bahagia selama ini," balas Bang Arnan tidak mau kalah.

Obrolan sengit dua orang di ruang rapat itu ternyata sudah didengar oleh Senandika yang sejak tadi berdiri di balik pintu yang terbuka sedikit.

Dia yang hendak memanggil Bang Arnan untuk makan siang bareng, terpaksa menghentikan langkahnya karena mengetahui keberadaan Ibu Aksa.

Tapi, apa yang baru saja dia dengar sangat membuatnya terkejut. Ternyata, sekeras itu Ibu Aksa untuk membuat anaknya keluar dari The Heal. Padahal, siapapun tahu kalau The Heal adalah separuh hidup dari Aksa.

Tanpa pikir panjang, Senandika langsung kembali ke kantin untuk memberitahukan keberadaan Ibunya ke Aksa. Menurut Senandika, ada baiknya Aksa menemui Ibunya sekarang sebelum Ibunya berhasil menghasut Bang Arnan.

Tentu saja Aksa dan yang lainnya terkejut dengan pemberitahuan Senandika itu. Aksa tidak bisa lagi menyembunyikan emosinya karena menurutnya kali ini Ibunya sudah sangat keterlaluan.

"Ibu ngapain di sini?" Aksa menghadang langkah Ibunya saat baru keluar dari ruang rapat bersama Bang Arnan.

"Bagus ada kamu. Kita bisa bicarakan perihal kontrak sekarang, kan?" Ibu Aksa melayangkan pertanyaan itu kepada Arnan.

"Apa maksud Ibu?"

"Kita bicara di dalam, Aksa," pinta Bang Arnan lalu ketiganya kembali masuk ke ruang rapat. Karena tidak ingin menarik perhatian dari orang lain, jadi Bang Arnan harus mengamankan Aksa terlebih dulu.