1 Retakan

Dulu sekali, seorang gadis berambut merah mengucapkan sebaris kalimat padaku. Aku sudah lupa kapan tepatnya gadis itu datang. Yang jelas, waktu itu aku masih duduk di bangku SD, entah kelas berapa. Aku meringkuk di halaman belakang, menangis karena baru dimarahi bapak.

“Kamu kenapa?” tanya gadis itu, berjongkok di hadapanku.

Aku tak menjawab karena tersedot pesona kulit putih dan mata hijaunya, terkagum dengan titik-titik kemerahan yang tampak seperti perhiasan alami bidadari di tulang pipi dan sebagian hidungnya.

Dan ketika gadis itu tersenyum, sendi-sendiku seolah mati. Aku makin tak bisa bergerak ketika ia mengusap pipiku yang penuh dengan air mata. Wajahku mulai terasa panas saat kulit lembut jarinya bergerak menuju tanganku.

“Masa depanmu itu untuk dunia.”

Itulah kalimat yang kumaksud.

Hanya sebatas itu yang kuingat. Karena setelahnya, kedua tanganku yang digenggam olehnya seperti dirajami ribuan jarum. Aku pingsan dan bangun di tempat tidur beberapa jam kemudian.

Dan ternyata tak hanya diriku saja yang mengalami kejadian seperti itu. Banyak sekali anak lain yang bertemu gadis berambut merah itu dan dibuat pingsan. Selama satu tahunan lebih, korban-korban bertebaran di seluruh negeri. Meski tak ada nyawa melayang, fenomena itu jadi sangat terkenal.

Orang-orang menyebutnya sebagai kasus Wanita Berambut Merah.

Namun, seiring berjalannya waktu, ketika tak ada lagi korban yang jatuh, cerita-cerita mengenai gadis itu melenyap. Dan sekarang cerita itu hanya dianggap sebagai kabar burung, dongeng yang sulit dibuktikan kebenarannya.

Tapi tidak bagiku. Setelah beberapa tahun, gadis itu menemuiku lagi, membuatku mengerti arti kata-katanya dulu.

***

Bertahun-tahun kemudian...

Saking kagetnya, Hardi tak sengaja membuat jahitan di jeans salah satu pelanggan itu jadi sedikit miring. “Apa? Kerjaan dari Yoga? Yoga yang di luar kota itu? I… itu berarti kerjanya di luar kota? Nanti…”

“Tenang, nanti kamu ngekos sama Yoga, kok. Tempat kerjanya juga nggak jauh,” potong ibu Hardi, seorang wanita paruh baya berambut keriting pendek dan bertubuh kecil.

Hardi menggaruk-garuk rambut pendeknya. Kulit sawo matangnya mulai mencucurkan keringat dingin. Pikiran-pikiran berlebihan itu kembali menjalari otaknya. Bagaimana kalau ia tersasar saat pertama kali kerja karena tak familier dengan kota itu? Apa ia akan kena damprat gara-gara terlambat? Orang seperti apa yang akan dihadapinya di sana? Tekanan seperti apa yang akan menantinya? Bagaimana kalau…

“Kamu tinggal bikin lama…” Ibu Hardi menghentikan kegiatannya memasang restleting di sebuah jaket. “Ibu nggak akan memaksa kamu, tapi kalau kamu mau, kamu tinggal bikin lamaran terus walk in interview. Kalau bisa besok, tapi minggu depan juga nggak apa-apa pas Yoga balik lagi ke sini. Ini admin, Har. Kerjanya nggak keluar-keluar.”

Beberapa menit tak kunjung mendapat jawaban, sang ibunda mendesah pelan. “Kota tempat Yoga kerja kan juga tempatnya pacar kamu Tyas itu kuliah, kan? Kamu nggak kangen sama dia?”

Hardi yang tengah melipat jeans hasil permakannya langsung mengangkat muka, benar-benar tak menyangka mendengar kata-kata itu. “Kan aku udah bilang berkali-kali Bu, Tyas itu udah nggak pernah ngasih kabar lagi. Palingan dia juga udah lulus… Ah, nanti aku pikirin dulu deh, Bu.”

Hardi beranjak dari meja mesin jahitnya, berjalan meninggalkan kios permak jeans kecil itu. Bukannya menjadi penyemangat, kata-kata terakhir sang ibunda itu justru semakin meremas hatinya.

“Seperti yang Ibu bilang berkali-kali, sayang kalau kamu cuma kerja di sini, Har. Ijazahmu jadi nggak terpakai. Duitnya juga nggak seberapa.”

Hardi mempercepat langkahnya, melewati sang ayah yang ada di ruang tengah, lalu masuk ke kamar. Beberapa detik mengatur napas, ia mengintip keluar lewat lubang kecil yang ada di pintu. Ayahnya, seorang pria botak berperut buncit itu lagi-lagi merokok sambil menonton televisi. Samasekali tak produktif.

Hardi tahu sejak usaha jual beli mobil ayahnya itu bangkrut, dirinya harus segera mendapat pekerjaan. Setelah lima tahun kuliah di jurusan ekonomi, ia memang memegang ijazah. Sayangnya, nilai di ijazah itu hanyalah hasil dari kebaikan para dosen. Sangat sedikit ilmu yang membekas di otaknya. Jelas sekali kalau ia tak berminat di jurusan itu. Tapi mau bagaimana lagi? Ayahnyalah yang mendesaknya habis-habisan.

Tapi gara-gara itu, ia jadi tak percaya dari bila melamar pekerjaan sesuai ijazahnya.

Sekarang, hanya ada satu yang ingin dilakukannya: menulis. Imajinasinya akan menekan pikiran-pikiran negatif itu, membawanya ke dunia lain, dunianya sendiri. Hanya bermodal laptop murahnya, ia bisa menulis sesuka hati.

Ia berpindah ke meja belajar, menghidupkan laptop, lantas membuka file terakhir buatannya, sebuah naskah novel tentang sosok pahlawan super bernama Taring, manusia ideal yang diidamkannya, berbanding terbalik dengan kehidupannya yang menyedihkan ini.

Pelarian? Tak masalah bagi Hardi. Yang penting dirinya senang.

Baru saja menuliskan satu kalimat tentang pertarungan seru antara si Taring dan sang musuh bebuyutan, Hardi dikagetkan oleh bunyi pintu kamarnya yang menjeblak terbuka.

“Mas, pinjem laptop!” Suara cempreng Raras itu seolah menggerus gendang telinga Hardi.

“Buat apa, sih!” balas Hardi, buru-buru menutup laman tulisannya. Benar-benar waktu yang tidak ideal. Di saat seperti ini, adiknya malah mengganggu.

“Tugas.”

“Kenapa nggak dikerjain di rental aja, sih,” gerutu Hardi, menghadap si adik yang fisiknya begitu mirip sang ibunda itu: kecil dan berambut keriting, tapi sifatnya berbeda jauh.

Raras yang masih duduk di kelas dua SMA itu melenguh, “Aah, di rental panas, kelompokku orangnya kan ada lima! Sini cepetan laptopnya! Paling cuma dipake mainan, kan?

“Mintanya bisa baik-baik nggak, sih!” balas Hardi kencang. “Sebentar, aku save dulu!”

“Kelamaan!”

Sang adik sudah akan merebut laptop itu, tapi Hardi buru-buru menjauhkannya. Ia tak ingin orang lain melihat naskahnya yang belum jadi. Raras mulutnya sangat bocor. Entah bagaimana perasaan sang ayah kalau tahu dirinya menulis fiksi seperti itu.

“Ada apa, sih!? Berisik, tahu!” Ayah mereka masuk dan membentak dengan suara menggelegar. Hardi dan Raras langsung mematung dibuatnya.

Raras memandang ke arah lain dan menelan ludah, lalu berkata lirih, “Ini Pak, aku mau pinjem laptop buat tugas, tapi nggak boleh.”

Hardi mendelik kepada sang adik. “Bukannya nggak boleh, aku cuma mau nge-save…”

“Sudah! Hardi cepat serahkan laptop itu! Kamu harusnya siap-siap buat melamar kerja besok, bukannya mainan laptop!” Setelah mengomel seperti itu, beliau ngeloyor pergi.

Dada Hardi seperti ditohok sesuatu yang tajam. Seperti biasa, sang ayah selalu berkata seolah dirinya sudah menyetujui satu hal, sama sekali tak meminta pendapatnya. Meski sudah mendengarnya berkali-kali, Hardi masih belum terbiasa.

Sambil memasang senyum kemenangan, Raras menengadahkan kedua telapak tangannya, bersiap menerima laptop itu.

“Sebentar,” bisik Hardi, mendelik kembali. “Aku mau nge-save dulu, sekarang kamu keluar. Kamu nggak mau kan baterai laptop ini aku umpetin lagi?

Raras menggeram dan menghentakkan kaki, tapi akhirnya tetap keluar.

***

“Har! Bangun, Har! Sebentar lagi Yoga mau datang!”

Panggilan itu seakan menghantam kepala Hardi. Ia berusaha membuka kelopak matanya yang masih terasa berat. Namun, ia langsung menutupnya lagi saat terkena serangan cahaya terang dari jendela yang baru dibuka. Ia cuma bisa melihat sekilas bayangan samar sang ayah yang lewat.

Tiba-tiba sang ibunda masuk dengan tergopoh-gopoh.

“Ada apa, Bu?” tanya Hardi kaget, segera duduk di pinggiran dipan. Mendapati lapisan cairan bening di mata sang ibunda, kantuknya seolah hilang begitu saja.

Beliau duduk di samping Hardi dan mengusap kedua ujung matanya dengan tangan. “Bapakmu bersikeras kamu berangkat dengan Yoga hari ini, Har.”

Bagian belakang leher Hardi langsung menjadi kaku saking tegangnya. “Ta… tapi aku belum siap-siap, Bu! Aku belum bikin surat lamaran! Belum nyiapin diri buat wawancara!”

“Kata Yoga kamu bisa bikin surat lamarannya di sana. Terus Bapakmu…“ Sang ibunda menunduk dan menaruh kedua tangannya ke pundak Hardi. “Biar ibu ngomong ke Bapakmu lagi.”

Hardi secara refleks menahan tangan sang ibunda saat tahu beliau mulai meneteskan air mata. Hanya satu yang bisa membuat beliau menangis, yakni pertengkaran hebat dengan sang ayah.

“A… Aku mau berangkat kok, Bu,” ucap Hardi kaku, tak kuat melihat air mata itu jatuh lagi.

“Kamu yakin?” tanya sang ibunda dengan suara mulai serak.

“Mau nggak mau aku harus segera dapat kerjaan, Bu.”

Sang ibunda pun mengusap lembut kepala Hardi. Belum sempat beliau berucap, teriakan sang ayah terdengar lagi, “Mau sampai kapan kamu tiduran! Nanti kalau Yoga datang kamu belum siap nggak enak, kan!?”

“Ayo, kamu mandi dulu. Nanti Ibu siapkan sarapan. Kamu juga bawa baju-baju buat menginap di tempat Yoga, ya.” Sang ibunda mengusap rambut anaknya itu sekali lagi dan beranjak pergi.

Hardi buru-buru menyiapkan baju-baju yang akan dibawanya menggunakan sebuah tas besar. Setelah itu, ia bergegas mandi dan menuju meja makan. Di sana, sepiring nasi dengan lauk sup ayam dan tempe goreng tepung telah menantinya. Biasanya, Hardi akan segera menandaskan nasi dengan dua lauk favoritnya itu. Tapi tidak kali ini, ia harus berjuang keras hanya untuk menelan sesuap nasi.

Sudah menyiapkan diri untuk tes masuk kerja saja bisa membuat Hardi tertekan. Apalagi sekarang, saat dirinya tak mempunyai modal apa pun. Punggungnya seperti akan remuk menanggung beban maha berat. Di kepalanya mulai terbayang pandangan sinis sang pewawancara saat mendengar jawabannya yang pasti mengenaskan.

Belum lagi ia harus pergi ke kota yang sangat tidak familier dan belum tentu bersahabat. Ia jadi ingat, dulu dirinya pernah diminta sang ayah mengantarkan dokumen penting ke luar kota. Waktu itu Hardi masih remaja dan tak pernah diajak ayahnya pergi ke kota lain dengan mengendarai motor. Tentu saja ia tersasar. Lebih parahnya lagi, ia dipalak di jalan sepi. Setelah berputar-putar sampai hitungan jam, akhirnya ia dijemput pulang dan dimarahi habis-habisan.

Baru saja menghabiskan isi piringnya setengah, Hardi terdiam dengan mata melotot. Perutnya kaku dan kerongkongannya seperti diremas. Ia segera melesat ke kamar mandi. Di sana, ia memuntahkan apa yang baru dimakannya habis-habisan.

Akhirnya, ia memilih untuk menghadapi semua ini. Di umurnya yang kedua puluh empat, ia harus benar-benar menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab.

***

Begitu Yoga mendorong motor sportnya melewati pintu pagar yang begitu tinggi, Hardi cuma bisa melongo.

“Kok kantor kamu kayak rumah, Yog?” tanyanya lirih, memperhatikan bangunan bergaya eropa yang super besar layaknya istana putih di hadapannya itu.

“Lah, kamu tadi nggak ndengerin ya, Bro?” Yoga, sepupu Hardi yang berperawakan sedang dan berambut jabrik itu mengernyitkan dahi. “Karena ini bukan jalur resmi, kamu langsung ketemu sama yang punya perusahaanku. Jadi bosnya bos. Ini rumahnya.”

“Heh? Kapan kamu bilang begitu? Emangnya…”

Srekkk…

Belum juga selesai berucap, Hardi berjengit saat mendengar bunyi pagar besi yang tertutup dengan sendirinya.

“Tadi udah kaget waktu gerbang itu kebuka otomatis, masa sekarang kaget lagi?” tanya Yoga, menahan tawa dan mengamati cap keringat di sekujur kemeja yang dipakai si sepupu. “Tenang aja, Bro. Wawancaranya buat formalitas aja. Kita entar kayak bertamu, kok… Kamu kenapa?”

Bukannya menanggapi, Hardi justru membeku dengan mata yang seperti akan keluar dari tempatnya. Selama dua jam tadi, ia seperti baru saja mengarungi perjalanan menuju eksekusi mati. Keringat dinginnya jadi terkuras. Belum lagi perutnya yang kosong itu kini semakin kaku.

Dan sekarang semua itu ditambah dengan satu masalah lagi, ia melupakan sesuatu yang sangat penting.

“Har?”

“Aku belum bikin surat lamaran! Aduh! Gimana ini!?” teriak Hardi, mulai memegangi keningnya panik. Ia harus segera mencari rental komputer, lalu mengetik dengan cepat. Tapi bagaimana kalau sang pewawancara nanti tersinggung karena harus menunggu, apa yang akan ditanyakannya?

Hardi pun berbalik. “Kita harus cepet…”

“Tenang!” cegah Yoga seraya menangkap lengan Hardi. “Surat lamarannya menyusul boleh, kok. Sekarang kamu ambil napas dalam-dalam …”

“Tapi aku juga belum siap-siap apa-apa, Yog!” sela Hardi, mulai mengacak-acak rambutnya. “Lagipula ini di luar kota…”

“Cukup!” Nada bicara Yoga langsung naik. “Ibu kamu itu kelihatan seneng banget waktu denger kamu bakal dapet kerjaan yang pasti diterima. Kesempatan kayak gini nggak bakal datang dua kali, Har! Jadi, jangan kayak banci…”

Yoga mengusap wajahnya dan Hardi langsung bisa melihat kilatan cairan di dahi sang sepupu. Ya, meski tak sebanyak Hardi, ternyata Yoga pun berkeringat dingin. Bahkan kini Hardi bisa melihat kalau bukan amarah yang tergambar di wajah Yoga, melainkan kegugupan.

“Sori, Bro. Pokoknya kamu ikut aku aja,” lanjut Yoga, memakirkan motornya di dekat taman bunga, kemudian berjalan menuju pintu rumah mewah itu.

Hardi memejamkan matanya dan menghela napas, berusaha membayangkan ibunya yang terus tersenyum saat dirinya tadi berangkat. Dan akhirnya, ia mengikuti Yoga kembali.

Baru tiba di latar marmer rumah itu, mereka dibukakan pintu oleh seorang pria berkulit sangat putih, kontras dengan pakaiannya yang hitam-hitam.

“Ikut saya,” perintah orang itu datar, lalu berbalik pergi tanpa meminta persetujuan.

Hardi mengamati punggung orang yang tingginya menjulang seperti pemain basket itu, lalu menjejeri Yoga yang sudah jalan duluan. Hardi merasakan ada yang janggal dengan logat orang itu, terdengar seperti keluar dari mulut bule yang baru belajar bahasa Indonesia.

“Yang lain mana Pak Aldo?” tanya Yoga saat mereka mulai masuk

Tak kunjung mendapat jawaban bahkan setelah melewati ruang tamu penuh guci-guci keramik, Yoga membuka mulut lagi, “Waktu saya datang beberapa hari lalu, kayaknya di sini ada tukang kebun, satpam…”

Tiba-tiba pria jangkung itu berhenti dan menoleh ke belakang. Ia menancapkan pandangan kosongnya yang dingin kepada Hardi dan Yoga secara bergantian.

“Oke, Oke.” Yoga langsung membuat gerakan seperti sedang merestleting mulutnya.

Hardi merasa ususnya seperti dipilin kecil-kecil. Ia memang penasaran dengan identitas pria jangkung itu, tapi yang bisa ia kerjakan sekarang hanya satu: terus melangkah. Hardi tak tahu apa yang akan dilakukan si pria jangkung kalau hilang kesabaran gara-gara ditanyai terus-menerus.

Setelah berjalan beberapa menit, Pria bernama Aldo itu berhenti di depan sebuah pintu berwarna hijau tua mengilat.

“Kamu.” Seraya membuka pintu itu, Aldo menunjuk Hardi, yang langsung berjengit kembali. “Masuk.”

Bukannya masuk, Hardi justru mematung di tempat, terlalu sibuk mengingat-ingat hasil risetnya di internet tentang pertanyaan dan jawaban wawancara kerja.

“Cepat.” Aldo mencengkeram lengan Hardi dan mendorongnya masuk.

“Woi!” Yoga memprotes, tapi pintu ruangan keburu ditutup dan dikunci Aldo dari luar.

Dengan sendi-sendi yang seakan mengeras, Hardi kini berdiri di sebuah ruangan yang langsung memantik syaraf-syaraf kecurigaannya. Ya, mana ada ruangan normal yang di dinding, lantai, dan langit-langitnya ditempeli papan-papan mengilat berwarna putih seperti ini?

“Hardi Adianto Prakoso.”

Hardi mengarahkan pandangannya ke suara wanita di depannya itu. Dan lagi-lagi, keterkejutan menyerangnya. Beberapa meter di hadapannya, duduk seorang gadis di balik meja kayu, menatapnya sambil tersenyum.

Bukan suara tadi yang membuat Hardi terkejut. Bukan juga kenyataan bahwa gadis itu tahu namanya. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan di kepala Hardi, sesuatu yang familier. Seolah sesuatu itu akan muncul, tetapi langsung hilang saat baru kelihatan pucuknya.

“Seperti yang aku bilang dulu, masa depanmu itu untuk dunia.”

Seperti film lama yang diputar, memori kejadian empat belas tahun yang lalu itu datang lagi ke otak Hardi. Orang-orang menyebutnya sebagai kasus wanita berambut merah, Hardi adalah salah satu korbannya.

Kalimat terakhir gadis itu sama persis seperti apa yang didengarnya dulu.

Tak hanya itu, bahkan kulit putih, rambut merah ikal yang panjang, postur tubuh, mata hijau, sampai titik-titik kemerahan di wajah gadis itu pun masih sama dengan empat belas tahun lalu. Seakan-akan waktu rela berhenti untuknya

Menyadari sang gadis menatapnya tajam, Hardi pun menunduk. Otaknya seperti akan meledak gara-gara kejutan luar biasa ini.

“Takut menatap mata lawan jenis terlalu lama, kecuali ibu, saudaranya, dan kerabat dekat.” Gadis itu berdiri sambil membuka map, lantas berjalan mendekati Hardi.

Hardi hanya berani melihat gaun batik selutut yang dikenakan gadis itu. Ia masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

“Apa sih yang kamu takutkan dari mereka?” Tiba-tiba saja si gadis melongok wajah Hardi dari bawah. Hardi langsung tersentak sampai punggungnya menabrak dinding di belakangnya.

“Tapi kamu juga sempat pacaran. Gara-gara didesak seorang teman yang meyakinkan kalau kamu pasti akan diterima, akhirnya kamu nekat nembak cewek incaranmu itu. Awalnya juga kamu nggak berani ngeliat mata pacarmu, tapi lama-lama akhirnya bisa juga,” tutur sang gadis panjang lebar, lalu berdehem pelan. “Jadi, mungkin memang butuh waktu sampai kita bisa ngobrol normal.”

“Apa?” Saking bingungnya, hanya itu yang terlontar dari mulut Hardi. Dengan perlahan, ia mengamati gadis itu dari atas ke bawah. Si gadis cuma terdiam sambil berkedip-kedip. Lama-kelamaan wajah Hardi memanas dan akhirnya ia cuma bisa membuang muka.

“Cuma itu pertanyaannya? Cuma apa? Apa kamu nggak punya pertanyaan lain… Misalnya, kok bisa aku tahu cerita kamu dan pacarmu ini?”

“Mu… Mungkin…” Sedikit demi sedikit, otak Hardi mulai bekerja kembali. Dan ia pun mulai sadar, ketidak-beresan yang dialaminya ini mungkin bukanlah sesuatu yang baik. Perlahan, ia berbalik dan meraih gagang pintu. “Sa… Saya mau pamit dulu.”

Dengan gerakan lincah, si gadis mendekati Hardi lagi. “Sori, barangkali sakit sedikit.”

Belum sempat Hardi membuka pintu, gadis itu menggengam kedua tangannya. Sensasi seperti dirajam ribuan jarum langsung menyerang tangan dan lengannya. Dan beberapa detik kemudian, sensasi itu menjalar ke seluruh tubuh. Hardi jatuh terduduk dengan mulut menganga. Tangannya meraba-raba, pandangannya mulai mengabur.

Perlahan, muncul garis-garis tak beraturan di kedua tangan dan lengannya. Garis-garis itu saling menyambung, membentuk pola retakan yang memancarkan cahaya hijau temaram.

“Jangan melawan Hardi.” Bukannya menolong, si gadis berambut merah malah berjalan memutar untuk menghindari Hardi.

“Apa yang kamu lakukan?” Hardi berusaha berdiri, tapi tubuhnya langsung oleng, seakan tak mau menuruti perintah otaknya. Ia pun bersandar di dinding dan berusaha mendekati si gadis.

Si gadis kembali menghindar. “Dinding di sini dilapisi bahan khusus yang nggak akan bisa dialiri kekuatan barumu itu.”

“Kekuatan?” Hardi berpegangan pada meja, benar-benar hilang keseimbangan.

Mendadak, retakan-retakan hijau seperti yang ada di tangan Hardi menyebar cepat ke meja itu, seiring dengan warna permukaannya yang menghitam legam.

“Kurang lebih sepuluh detik setelah melepaskan peganganmu, meja itu akan meledak.” Si gadis berpindah ke sisi pintu dan mendekatkan mulutnya ke benda berbentuk speaker yang menempel di dinding. “Aldo buka pintunya!”

Pintu itu terbuka dan si gadis segera keluar. Hardi berusaha mengejarnya, tapi ia tersandung kakinya sendiri dan jatuh tersungkur.

Duarrr!!!

Potongan meja beterbangan, hampir bersamaan dengan tubuh Hardi yang terlempar dan membentur dinding.

avataravatar
Next chapter