1 chapter 1: first meet

Sesosok pria bertubuh tegap, tengah berdiri di depan sebuah ruangan ICU. Raut wajahnya tampak cemas. Tatapan matanya sayu.

Dari luar ruangan, Pria yang bernama lengkap Sean Marvin Jacob itu dapat melihat sesosok bocah laki-laki berusia 10 tahun yang terbaring lemah di ranjang Rumah sakit. Ada sebuah kaca transparan yang memungkinkan pria itu dapat melihat putranya walau posisinya sedang berada di luar ruangan sekalipun.

Ken. Putra semata wayang Sean itu mengidap penyakit langka yang menyerang sistem saraf otak bocah laki-laki itu. Sean sudah mengupayakan segala cara untuk menyembuhkannya. Tapi, hingga sekarang usahanya tidak membuahkan hasil sama sekali.

"Maaf, tuan. Boleh saya meminta waktu anda sebentar saja?"

Seorang pria paruh baya menghampiri Sean. Pria itu mengenakan jas bewarna putih. Di lehernya, tergantung stetoskop yang selalu di bawanya ketika ia bekerja. Ada kacamata tebal yang bertengger di hidung pria itu. Pria paruh baya itu adalah dokter yang merawat Ken.

Sean menganggukkan kepalanya. "Ada apa?" tanyanya.

Dokter yang bernama Richard itu berdehem. "Jadi begini, tuan Jacob. Saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya. Sejujurnya, kami sudah mengerahkan segala upaya untuk menyembuhkan putra anda. Kami sudah mengerahkan tenaga medis dan alat-alat terbaik kami. Tapi, tetap saja putra anda tidak menunjukkan adanya perkembangan. Kondisinya bahkan semakin memburuk kian hari. Hanya alat-alat medis itu yang membantunya bertahan hingga saat ini."

Mendengar penjelasan dari Dr. Richard, membuat Sean merasa jengkel. Duda tampan itu menarik kerah baju Dr. Richard yang membuat empunya terkejut. Sean menatapnya tajam.

"Bukankah itu tugasmu, dokter? Tugasmu adalah menyembuhkan orang lain, bukan? Kau sendiri yang mengatakan kalau kau adalah dokter yang bersertifikat. Lantas mengapa kau tidak bisa menyembuhkan putraku?" Sean berbicara dengan nada tinggi dan volume suara yang cukup keras.

"M-maaf... Maafkan saya, tuan. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin." ucap pria paruh baya itu jujur. Raut wajahnya terlihat begitu ketakutan.

"Pak sudah, Pak. Tolong tenangkan diri anda." Daniel, Sekretaris Sean mencoba menenangkan bosnya itu. Ia mencoba memisahkan Sean dengan Dr. Richard.

"Dengar! Kau harus menyembuhkan putraku. Kalau tidak, kau pasti tahu apa yang akan aku lakukan denganmu dan rumah sakit ini."

Sean berbicara dengan penuh penekanan sebelum akhirnya pria itu pergi dari sana dengan penuh emosi. Meninggalkan Dr. Richard yang masih gemetar ketakutan.

Dokter malang itu berjalan mendekati kaca pembatas ruangn ICU. Pria paruh baya itu menatap penuh harap pada bocah lelaki yang terbaring lemah di dalam sana.

"Nak. Hanya kau satu-satunya harapanku dan rumah sakit ini. Kumohon bangunlah! Lawan penyakit mu! Dan selamatkanlah kami."

***

Sean menatap kosong pada sebuah gelas berisi wine yang ada di tangannya. Ia menggerak-gerakkan gelas kaca itu hingga cairan di dalamnya ikut terguncang.

Di atas meja, ada 2 botol wine yang telah kosong. Pria itu sendiri yang telah menghabiskan isinya. Dan sekarang, Sean tengah mencoba botol ketiga.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, ada sosok Daniel yang setia menjaga Sean. Pria itu mengerti di saat-saat seperti ini, Sean hanya ingin sendiri. Karena itulah, Daniel menjaganya dari jarak yang tidak terlalu jauh sekaligus agar pria itu tidak merasa terganggu.

Sean telah menyewa sebuah bar untuk dirinya sendiri. Pria itu benar-benar frustasi dan menjadikan bar sebagai pelariannya. Ia ingin memiliki waktu sendiri untuk sejenak.

Tiba-tiba, Sean teringat pada Ken. Seketika dadanya kembali merasa sesak. Sean tahu penyakit Ken memang begitu susah untuk disembuhkan. Pria itu telah membawa putranya ke pengobatan di luar negeri namun semuanya sama saja. Semua ahli mengatakan tidak ada lagi harapan untuk putra kesayangannya itu.

Rasanya sakit sekali. Sean merasa, di saat putranya tengah berjuang antara hidup dan mati tetapi ia tidak bisa membantunya. Duda anak 1 itu menangis membayangkan betapa tidak bergunanya ia sebagai seorang ayah.

"Maafkan daddy, Ken. Daddy tidak bisa membantunya. Daddy memang tidak berguna." ucap Sean di sela isakannya.

"Paraneoplastic neurologic syndroms atau biasa disingkat PNS."

Sean terdiam saat mendengar suara lembut milik seorang wanita menyapa telinganya. Pria itu menoleh lalu mendapati seorang wanita bergaun hitam tengah berdiri di sampingnya. Kepala wanita itu sedikit tertutupi oleh Kain berenda bewarna hitam. Bibirnya yang ranum bewarna merah pekat.

Wanita misterius itu tersenyum kepada Sean. Matanya menatap Sean penuh arti sementara pria itu menatapnya bingung.

"Siapa kau?" tanya Sean.

Wanita itu masih tersenyum. Ia tidak mengatakan apapun. Tubuhnya masih tidak bergeming.

"Daniel!!!" teriak Sean. Wajahnya memandang wanita itu tak suka. Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum santai.

Daniel datang terburu-buru. Matanya sedikit membelalak saat melihat seorang wanita ada di samping Sean. "Ya, Pak?"

Sean menatap Daniel tajam. "Bukankah sudah kukatakan? Aku tidak suka jika ada orang lain di sini selain aku. Apalagi seorang jalang." tanya Sean. Pria itu menekankan kata terakhir di kalimatnya.

"T...t-tapi, Pak. Saya sudah memastikan tidak ada seorangpun yang masuk ke dalam sini."

"Lalu ... Apa ini ...?"

"Dia tidak salah, tuan Jacob. Dia memang tidak tahu kapan aku masuk karena hanya aku yang tahu kapan aku masuk." ucap wanita misterius itu mengalihkan perhatian Sean dan Daniel.

"Ah begitu? Sekarang apa kau bisa pergi? Aku tidak membutuhkanmu di sini." balas Sean sambil menatap wanita itu sinis.

Wanita itu tersenyum. "Aku ingin membantumu, Sean Marvin Jacob."

"Maaf aku tidak tertarik. Kau bisa menawarkan jasamu kepada orang lain. Maafkan aku, Nona. Sudah saatnya kau pergi dari sini."

Sean memberi kode kepada Daniel agar membawa wanita itu pergi. Daniel menganggukkan kepalanya lalu mendekati wanita itu. Pria itu mencoba memegang lengannya. Namun, langsung ditepis begitu saja oleh wanita misterius itu.

"PNS adalah penyakit langka yang menyerang sistem saraf otak, sumsum tulang belakang dan juga saraf otot. Pada beberapa kasus, penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan parah pada saraf melebihi kerusakan yang disebabkan oleh tumor...,"

Wanita itu menatap Sean serius. "Kenan Marvin Jacob. Putra semata wayangmu yang berusia 10 tahun. Dia tengah berjuang melawan penyakit ini bukan begitu tuan Jacob?"

Sean terkejut. Pria itu bangkit dari duduknya lalu menatap wanita itu tajam. "Itu bukan urusanmu!" tekannya.

"Mungkin. Tapi kau tahu tuan? Aku punya obat yang bisa menyembuhkan putramu." ucap wanita itu.

Sean tertawa sinis. "Apa ini tipuan model baru? Seperti yang kukatakan sebelumnya, Nona. Aku tidak tertarik."

Wanita itu tersenyum. Ia menganggukkan kepalanya. Tangannya terulur untuk memberikan sebuah kartu pada Sean. Kartu namanya.

"Mungkin saat ini tidak, Sean. Tapi kau pasti akan membutuhkanku. Ini adalah alamatku. Kau bisa menemuiku di sana nantinya."

Sean membuang mukanya. Ia tidak terlihat perduli dengan kartu yang diberikan wanita itu. Sebaliknya, pria itu malah kembali duduk dan menyesap winenya.

Wanita itu lagi-lagi tersenyum. Ia tidak merasa tersinggung. Diletakkannya kartu nama tadi di atas meja Sean. Lalu melangkah pergi.

"Kau akan membutuhkannya nanti. Kita pasti akan bertemu lagi, tuan. Panggil aku Adora."

avataravatar
Next chapter