1 1 Pergulatan dalam hidup

Desi Retnosari adalah anak perempuan terakhir dan satu-satunya yang menjadi kebanggaan kedua orangtuanya. Orang bilang aku adalah jantung hatinya Bapak dan Ibu. Aku masih ingat, kala itu usiaku beranjak dua puluh empat tahun. Aku belum lama pulang menjadi TKI di Malaysia.

Ketika itu, hampir satu tahun aku menganggur. Kesibukanku hanya main game, menghabiskan uang tabungan, dan mencari sisa-sisa masa laluku, untuk membuatku nyaman. Yang kurasakan tak pernah berubah. Hanya sepi, merasa sendiri dan tak termiliki oleh siapapun. Aku punya kebiasaan buruk...

Yaitu larut dalam dimensi khayalku sambil mendengarkan musik. Tak jarang tanpa sadar aku improvisasi sendiri. Entah kenapa aku nyaman, dan setelah suara dalam otakku ini. lelah, aku dapat lelap beristirahat.

Sahabatku Dayu, sudah seperti kakak perempuanku sendiri, sangat perhatian dan setia kawan. Gadis minang hitam manis... Tiba-tiba meneleponku "Krriingg..." Aku menjawab panggilanya. "Hahahaha... Onde mande, apa kabar uni, lamo tak jumpo". Tuturku. "Halo, gondrong, cak mano? jadi ang balik Malay, atau sudah dapat yo karejo di jawa?."

Terdiam sembari mencari tempat yang nyaman untuk gibah. "itulah... Aku nggak di kasih balik lagi, pening pala awak di repetin cari kerjaan. Kalau idak mau, disuruhnya aku kawin sama xoxo San Maung." Gurau nyengir sambil pasang gigi kuda. "Hahaahaa... Gondrong!! jom kita buat pesta merid samo-samo. Aku dengan shurat pergi Nepal, kau dengan san maung pergi Miyanmar, hahaaahhaa... Ssttss serius dulu!! gimana mas Budimu itu."

"Iya, katanya masih ada lowongan di pabrik konveksi di Solo. aku besok mau di ajak test ke sekolah tempat dia mengajar, mudah-mudahan aku bisa keterima. Sudah bosan begini-begini aja. Teman sekampungku juga pada keluar kota semua. Ada niatanku Dayu, misalnya aku sudah kerja di Solo, nanti kau kuajak tinggal denganku sembari kau cari kerjaan di Jawa jika kau memang niat merantau kesini." "Coba tanyalah, mas Budimu. Masih ada gak lowongan untukku. aku galau dirumah tinggal sendiri. Kebetulan ada saudaraku yang tinggal di Jakarta. Aku ingin suasana baru mencari pekerjaan di Jawa. Orang tuaku juga merasa nyaman karena ada sanak saudara yang tinggal disitu." "Aduhh.. Iya dehh, nanti aku coba bantu. Orangnya tuh rada susah-susah gampang. Memannya kamu ada niat cari kerja di pulau jawa?." "Iya serius aku.. Jauh nggak Purworejo-Jakarta? Aku pingin mampir kerumahmu". "Boleh, cuma tujuh jam perjalanan. Mau pakai kereta api atau bis, sama aja kok. Kamu turun di Jogyakarta. Terus hubungi Eki Amoy, minta tolong dia anterin ke stasiun Tugu. Aku menantimu disana." "Itu budak orang jogya?." "Heemm.. anak LCM Eki, Cristin, Dina itu semua anak jogja jew, jadi sumber air so dekat toh.."

Sontak semangatku bangkit. Tanpa berpikir panjang. Tanpa memikirkan atau menanyakan pendapat Bapak Ibuku. Tentang kedatangan teman seperjuanganku yang ingin berkunjung.

Saat usiaku empat tahun. Bapak mengajukan pensiun dini dari pekerjaanya. Lalu kami pindah dari Jakarta ke Purworejo. Kota kecil yang konon katanya Kota Pensiun. Sekian tahun lamanya aku hanya tinggal bertiga dengan Bapak dan Ibu. Kedua kakak lelakiku melanjutkan sekolahnya di Jakarta. Ada sedikit perbedaan jarak lahir yang cukup jauh antara aku dengan kedua kakakku ini. Sebetulnya ada satu lagi kakak laki-laki tertua kami. Namun terkena musibah gunung Lawu. Ia sedang mengikuti acara camping dari pesantrenya. Mas samsudin senang sekali mengikuti pramuka, mendengar cerita Bapak, mas Samsudin dan keempat temanya terjebak di atas ketika akan turun gunung. Padahal sudah diingatkan agar segera turun sebelum jam lima sore, karena kabut sudah mulai tebal. Mereka berlima hilang dan baru ditemukan keesokan harinya. mereka berlima sedang berusaha menghangatkan tubuh mereka dengan cara berpelukan di bawah tumbuhan yang ada disekitar mereka. Dalam keadaan meninggal. Mereka dikebumikan di lingkungan pesantren salah satu di kota Solo.

Dilema antara belum tentu yakin bakal di terima kerja di Solo. Atau nekat mencari pekerjaan di Ibukota. Aku menghela nafas panjang. Begetar bibirku berkata "Ya Tuhan. Dari sekian banyaknya Makhluk ciptaanMu. Mengapa Engkau pilih daku". Perselisihan antara aku kakak dan iparku berawal ketika aku masih duduk di bangku kuliah semester empat jurusan Bahasa Inggris. Sampai pada akhirnya aku terpaksa mogok kuliah dan aku putuskan lari dari masalah dan memilih bekerja sebagai TKI di negeri Jiran. Mengingat sahabatku akan berkunjung, dia bilang saudaranya ada yang tinggal di jakarta. Mana mungkin aku lepas anak gadis orang jauh-jauh dari padang ke jawa, sama-sama ingin mencari pekerjaan. Kurasa bakalan rumit.

Yang kutakutkan benar terjadi. Tak kunjung ada kepastian kabar loker pabrik itu. Mas Budi juga hanya bilang "Tunggu ya, siapa tau ada kloter kedua". Memang kebanyakan murid dari SMKnya lulus seleksi. Tapi aku tak pernah memaksakan usaha seseorang untuk membantuku. Alasanya jelas, dan aku yakin walau mereka coba menutupi, sudah ada perbincangan antara kedua orangtuaku kepada mas Budi. Mas Budi mengupayakan agar aku tak senekat dulu untuk kembali ke Malaysia. Mas Budi salah satu keluargaku yang dapat kudengarkan perkataanya.

Semenjak masalahku dengan kakak ku tertua. Hatiku terlanjur terluka dan terlalu lama tertutup. Tidak ada satupun ku takuti atau berani menyinggung masalah pribadiku dengan seseorang yang ku sebut dia kakak.

Perlakuan mereka didukung oleh Pakleku Adik tiri dari Bapakku. Seharusnya aku dirangkul. bukan malah makin dikerasi, aku butuh bantuan di masa-masa tersulitku. Bahkan aku di angap tunawisma, kurasa aku tau jawabanya. Bukanya Pakle juga benci sama Bapakku, ingin merenggut nama yang diperoleh Bapak yang di dapat dengan keikhlasanya taat beragama. Supaya Pakle dipandang di desa ini. Entah berilmu denan siapa dan menganut paham apa, di datangkan kerumahku ustad untuk meruqiyah aku. Jelas aku tak terima. Kenapa Bapak dan Ibu begitu berperasaan baik pada Pakle. Sungguh aku tidak kesurupan. Aku memberontak karena aku merasa bukan ini yang aku butuhkan. Aku tau orantuaku kolot pemikiranya kuno namun, mereka rajin beribadah dan aku percaya Tuhan melindungi dan menjauhkan mereka dari kebodohan-kebodohan semacam ini.

Aku merasa sudah tidak memiliki pegangan hidup. Lalu aku mengunci diriku di kamar, aku menghubungi teman dekatku. Aku kabur dari cendela, dibawalah aku ke pantai, namun denganya aku tak merasakan kenyamanan. aku hanya terdiam memikirkan apa langkah selanjutnya, diapun tidak peka sedikitpun aku jadi canggung menahan air mata dan hati yang sesak. Tak lama aku diantarnya pulang namun hanya sebatas gang masuk desa. Dan tak lama juga ia memutuskan hubungan denganku, dengan alasan jika aku memberatkanya dia akan memacari teman wanitaku, aku hanya tertawa dan menjawab "Hah.. aku sudah tau! kau main belakang dengan temanku. Hanya saja aku membiarkanmu. Silahkan saja aku takkan mencegahmu, cari apa yang kau mau yang kau tak dapat dariku. kwalitasmu buruk jangan kau kira aku benar-benar punya perasaan kepadamu, aku hanya butuh waktumu saja. Terima kasih atas waktumu, toh jika saja dulu kau takkan memberikan waktumu kepadaku. Mungkin kau dan temanku takkan bertemu. Jadi kau harus berterima kasih juga terhadapku."

Gairah hidupku memudar sudah, bahkan aku sering menyakiti diriku sendiri. Aku mulai menyendiri, merokok, menggoreskan luka dipaha dan pergelangan tanganku setiap kali aku sedih atau sedang kecewa. Diam-diam aku melakukan itu aku mulai brutal sering kabur lewat cendela kamar, pergi tengah malam pulang juga lewat cendela sebelum subuh Bapakku bangun menghidupkan lampu. Aku sebetulnya takut orang kampungku tau. Seorang anak gadis dari seorang kyai, bertindak bodoh, aku tak siap benar-benar terang-terangan melukai hati orang tua. Sungguh ampuni aku Tuhan.

avataravatar
Next chapter