webnovel

BERTEMU DI RUMAH SAKIT.

Ke esokan harinya, Bulan datang ke Rumah sakit bersama Bintang. Sedangkan Stella di antar oleh Pak Imam. Keadaan Wibowo semakin menurun, hal itu di beritahukan oleh dokter yang menangani Wibowo.

"Apa yang harus saya lakukan, Dok?" tanya Bulan yang merasa cemas dengan keadaan ayahnya.

"Berdoa, kita harus berdoa. Karena pihak medis sudah melakukan yang terbaik untuk beliau." dokter itu melihat Bulan dengan pandangan yang iba.

"Bagaimana jika ke luar negeri?" tanya Bintang dengan tangan merangkul Bulan yang ada di sampingnya.

"Jika memang anda ingin memindahkan pasien ke luar negeri silahkan. Kami pihak rumah sakit tidak ada hak untuk melarangnya."

Namun tatapan Bulan menunjukkan ketidak setujuan dengan ide Bintang. Hal itu di tunjukkan dengan gelengan kepala yang pelan. Akhirnya mereka keluar dari ruangan dokter dan melihat Wibowo dadi balik jendela.

"Kamu sarapan dulu ya sayang," bisik Bintang dengan menyelipkan rambut Bulan di sela telinganya.

"Kamu saja, aku tidak lapar," jawab Bulan dengan tatapan yang masih tertuju di tempat tidur Wibowo.

"Ya udah, nggak usah makan semua." tiba-tiba sikap kekanak-kanakan Bintang muncul. bintang melipat kedua tangannya dan memanyunkan bibirnya. Hal itu berhasil membuat Bulan tertawa dan sesaat menghilangkan kecemasan di hatinya.

"Nah gitu dong senyum." Bintang mencubit pipi Bulan.

Bulan memeluk Bintang dengan erat. Bintang membalas pelukan Bulan dan mengelus-elus rambut Bulan yang tepat di dadanya.

'Kruuuukkkk'

Tiba-tiba suara muncul dari dalam perut Bintang, hal itu membuat Bulan melepaskan pelukannya dan sesaat mereka saling pandang. Kemudian mereka tertawa bersama.

"Haha.. Kamu lapar kan?" tanya Bulan dengan cekikikan. Bintang yang malu mengakui hanya tersenyum malu.

Bulan dan Bintang menuju kantin, sepanjang melewati lorong rumah sakit Bintang membuat Bulan tertawa lepas. Hal itu membuat Bintang senang karena istri yang awalnya ia tolak kini bisa bersamanya tanpa paksaan lagi.

'Dugg'

Kaki Bulan tersandung sebuah kursi roda yang di tumpangi pasien.

"Maaf, ma...." ucapan Bulan menggantung saat melihat pasien tersebut.

"Johan!"

"Bulan!"

"Lo kenapa?" tanya Bintang dengan ketus. Hal itu membuat Bulan tidak enak dan menyenggol lengan Bintang.

"Kamu kenapa, Jo?" tanya Bulan

"Aku kecelakaan kemarin."

"Terus kamu sama siapa di sini?" Bulan mencari-cari yang menemani Johan.

"Aku sendiri," jawab Johan.

"Sayang, bukannya kita mau makan?" Bintang menyela obrolan mereka.

"Lan, bukannya kamu udah pisah sama dia?" tanya Johan.

"En..."

"Kenapa? Lo maunya gue sama Bulan pisah?" Bintang memotong ucapan Bulan.

"Jo, kita pergi dulu." Bulan segera menarik tangan Bintang dan pergi meninggalkan Johan sendiri.

Bulan terlihat kesal dengan sikap Bintang. Begitu pula dengan Bintang ia kesal melihat Bulan berbicara lembut dengan Johan.

***

"Ck." sedangkan Johan berdecak kesal saat melihat kenyataan bahwa Bintang berhasil kembali dengan Bulan. Namun saat ia sedang kesal tiba-tiba tangan yang berat menyentuh pundaknya.

"Pak Toni," ucao Johan saat menoleh melihat pak Toni ada di belakangnya.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya pak Toni dengan sabar.

"Saya sedikit lebih baik," ucap Johan.

"Lalu kenapa kau terlihat kesal?" tanya pak Toni.

"Tidak." Johan menggelengkan kepalanya.

"Apa Karena wanita tadi?" tebak Pak Toni.

"Dari mana bapak tahu?" tanya Johan yang terheran-heran.

"Aku melihat mu sejak tadi." Toni berdiri di hadapan Johan.

"Cinta tidak bisa di paksa, jikapun kamu berhasil merebutnya, dia tidak bisa mencintaimu. Sedangkan jodoh tidak akan kemana, walaupun kamu bersamanya kalau tidak jodoh suatu hari akan terpisah. Dan jika berjodoh. Walaupun terpisah lama akan bertemu lagi di waktu yang tepat." Toni menasehati Johan yang terlihat kesal. Namun ia berangsur-angsur membaik. Dan dia mulai mencerna ucapan Toni dengan otaknya. Kemudian Toni mendorong kursi roda Johan menuju kamarnya.

"Apa anda tidak bekerja?" tanya Johan

"Aku menjaga warungku sendiri, jadi tidak ada tuntutan," jawab Toni dengan santai.

"Lalu bagaimana dengan warung anda jika anda di sini? Atau ada anak dan istri anda?" tanya Johan dengan hati-hati.

"Tidak, aku tidak punya anak dam istri."

"Oh, maaf." Johan merasa tidak enak. Ia penasaran namun takut untuk bertanya.

Toni membantu Johan yang hendak berbaring di atas tempat tidur, lalu ia menyodorkan dompet hitam milik Johan.

"Kamu pasti bertanya-tanya. Kenapa saya tidak punya istri?"

Johan mengangguk dan merasa tidak enak.

"Saya terlalu ambisius mengejar seoarang wanita, hingga saya tidak menanggapi wanita di sekeliling saya. Yang benar-benar mencintai saya. Hingga ke dua wanita itu hilang dari hidupku. Dan saya baru menyadari bahwa aku hanya kagum dengan wanita yang saya kejar tidak lebih." Toni menceritaan kisahnya dan Johan seperti mendapatkan tamparan keras.

Johan mulai berfikir untuk perasaannya pada Bulan. Ia tidak ingin bernasib sama seperti pak Toni. Dan mulai sejak itu ia tidak terlalu mengejar Bulan lagi.

***

"Kamu kalau bicara sama Johan jangan gitu, takut dia bawa perasaan," ucap Bintang dengan kesal.

"Lah, terus gimna? Kan tanya masak harus bentak-bentak." Bulan yang tadinya masih bisa saja tiba-tiba ikut kesal.

Mereka saling diam dan tidak memesan apa-apa. Saat salah satu pelayan datang dengan sopan menyodorkan buku menu ke arah mereka berdua, namun tidak ada yang menanggapi.

"Maaf, kalian mau pesan apa?" tanya pelayan kantin dengan nada sedikit kesal namun masih sopan.

"DIAM!" Bulan dan Bintang menjawab bersamaan.

Pelayan itu memasang wajah kaget dan bingung, karena sikap yang di berikan oleh Bulan dan Bintang. Bulan yang menyadari hal itu segera meminta maaf.

"Maaf... Maaf, tadi saya kira dia." Bulan menunjuk Bintang yang ada di hadapannya.

"Nggak apa-apa, kalian ingin memesan apa?" pelayan itu menyodorkan satu lebar buku menu pada Bulan.

"Ini aja dua," ucap Bulan. Bulan memilih dengan cepat karena malu dengan pelayan itu.

"Mohon di tunggu." pelayan itu pergi setelah mencatar pesanan Bulan.

Bulan dan Bintang saling adu tatapan dan kemudian cekikikan karena tingkah konyol mereka. Bulan dan Bintang merasa malu namuj gengsi jika keluar tanpa memesan.

Raka yang mengantar Anas ke kantor ternyata mampir ke rumah sakit terlebih dahulu, ia ingin mengunjungi Wibowo. Namun saat sampai di rumah sakit. Raka hendak Meminta Bintang untuk menjemputnya di depan rumah sakit. Namun ponsel Bintang dalam keadaan silent. Hingga akhirnya Anas dan Raka menanyakan pada bagian informasi dan menyusuri lorong setelah mendapat informasi. Sedangkan semua yang memandang Anas terlihat hormat karena hampir seluruh penduduk mengenali Anas. Namun mereka belum tahi Anaknya yaitu Bintang.

Setelah menyelusuri lorong Raka melihat papan arah yang tergantung di atas, Raka memimpin memasuki lorong lagi. Hingga akhirnya melihat Wibowo terbaring lemah di atas kasur dan tidak berdaya. Anas merasa sedih, sakit melihat sahabat yang ia anggap kakak teebaring tidak berdaya.

Next chapter