1 Episode 1

Pada jaman modern benda kotak menyerupai kubus hilir-mudik, entah kemana tujuan mereka. Bangunan-bangunan tinggi menjulang seperti paku raksasa yang menempel di bumi. Sebuah kota besar yang sangat padat penduduk, sibuk dengan alat berbentuk kotaknya masing-masing yang dapat menyala.

Aku terbiasa hidup di desa yang jauh dari jangkauan teknologi, desa kami sangat terpelosok. Bangunan-bangunan di desa kami tidak seperti di kota-kota, hanya di topang oleh kayu dan di tutupi oleh jerami agar kami terlindungi dari hujan.

Datang dari desa yang sangat jauh untuk bekerja menafkahi keluarga di desa, aku seperti seseorang yang kikuk melihat sesuatu yang tidak terbayang selama ini oleh aku.

Satu minggu yang lalu, aku memutuskan untuk merantau ke desa atau kota yang jauh. Orangtuaku jatuh sakit, aku harus turun tangan untuk menafkahi keluarga.

Aku tinggal disebuah rumah tua yang serba terbuat dari kayu, tapi rumah ku cukup besar untuk ditinggali oleh tiga orang. kakakku biasanya yang mengurus ibu, saat ini dia sedang bekerja di pasar.

"Kamu mau kemana, Nak?" Seseorang yang terbaring lemas di atas tumpukan jerami bertanya kepadaku, itu adalah ibuku.

"Lutfi akan pergi ke desa atau kota untuk bekerja, Bu." Aku menjawab sembari berkemas membawa barang-barang yang di butuhkan.

"Begitu, ibu titip pesan untuk selalu berhati-hati, Nak. Jangan lupakan desa ini, kembalilah jika kamu punya waktu" ibuku yang terbaring lemas berusaha mengeluarkan suaranya, tak lama ibu jatuh tertidur.

Aku berdiri menghampiri ibu, dan menyelimuti ibu yang sedang tertidur "Aku tidak akan melupakan desa ini dan seluruh yang ada di sini,  tenang saja ibu aku akan kembali."

Sesuatu terbenak di kepalaku, baru ingat ada sesuatu yang harusku ambil di gudang. Perbekalan seharusnya akan tahan untuk tiga hari kedepan.

Di sebuah gudang aku melihat buku yang terlihat sangat tua tertutup oleh debu. Buku itu terlihat sangat kotor, aku membuka-buka halamannya yang tebal dan memasukan buku itu kedalam tas ku, mungkin itu akan berguna suatu saat.

Sebelumnya aku sudah berpamitan dengan kakakku, dan menyuruhnya untuk menjaga ibu. Seharusnya dia tidak akan khawatir.

Aku berjalan keluar rumah dan berpamitan untuk terakhir kalinya "aku pergi Bu, kak"

Tujuanku adalah desa atau kota terdekat yang ada di sebelah barat, aku berangkat pukul empat pagi.

Aku terus berjalan, angin sepoi-sepoi yang segar menerpa wajahku. Itu sangat dingin, untungnya aku memakai baju yang tebal.

Dua jam telah berlalu aku terus melangkahkan kakiku, melewati hutan yang lebat. Banyak sekali hewan hewan yang sedang melakukan aktivitasnya. Monyet-monyet bergelantungan untuk mencari makanan, dan para kawanan gajah yang sedang bermain air.

Matahari nampak mulai terbit, menyinari kegelapan. Sinarnya mengenai kulitku, sangat hangat. Rasanya dingin yang ku rasakan sebelumnya hilang.

Aku berhenti sejenak, meluruskan kakiku dan membuka perbekalan tempe yang kubawa dari rumah. Aku duduk di samping sungai yang sedang mengalir tanpa henti, menghabisi jatah sarapanku. Aku harus menimbang-nimbang agar cukup untuk tiga hari kedepan.

Tiga puluh menit berlalu, aku telah menghabiskan makananku. Aku mengeluarkan botol minuman yang terbuat dari bambu, dan mengisinya dengan air sungai yang sangat jernih itu, Dan meminumnya.

Aku melanjutkan perjalanan saat ini tepat pukul tujuh pagi, matahari terus naik menghangatkan sisa malam yang dingin. Terus berjalan ke barat menemukan permukiman entah desa atau kota untuk menemukan pekerjaan.

Sebenarnya sejak tadi aku mengkhawatirkan sesuatu. Tak jarang di hutan lebat ini muncul hewan buas seperti harimau dan yang lain. Aku terus berharap agar tidak bertemu dengannya.

Empat jam telah berlalu, berjalan terus menerus. Kakiku seperti mati rasa, namun aku sudah terbiasa dengannya. Jadi aku sudah sedikit terlatih untuk berjalan.

Aku memikirkan buku tua yang tadi ku bawa, seharusnya kami tidak memiliki buku seperti itu. Mungkin itu buku peninggalan kakek-kakek ku, tapi aku tidak pernah melihat buku itu.

Aku berjalan di atas Padang rumput yang sangat tinggi, aku agak kesulitan melewatinya. Namun setelah beberapa jam Padang rumput setinggi betis itu berhasil kulewati setelah tiga puluh menit aku berjalan.

Terdengar suara air yang sangat deras, aku segera berlari untuk memastikan. Benar saja itu adalah air terjun, aku segera singgah untuk mengistirahatkan kakiku yang lelah berjalan. Aku melepaskan sendalku yang panas dan merendamnya di parit air terjun itu.

Percikan air terjun itu mengenai wajahku, itu sangat menyegarkan.

Melamun sejenak menikmati pemandangan yang sangat indah.

Aku mengeluarkan perbekalan, Tak sengaja aku mengeluarkan buku yang terlihat kuno itu, aku mengambilnya dan duduk bersandar di bawah pohon yang sangat besar.

Aku menikmati makananku sembari mendengar derikan air terjun yang terus menerus tanpa henti, seakan itu berbunyi selamanya.

Buku itu ada di pangkuanku, karena penasaran, aku mencoba membukanya. Tulisannya sangat aneh, aku tidak tahu itu bahasa apa. Namun lebih aneh lagi aku dapat memahami dan membaca buku itu.

Satu halaman aku buka, aku sangat gugup membacanya.

Wahai kamu yang membaca buku ini, ketahuilah bahwa kami telah...

Belum selesai aku membacanya, tiba-tiba buku itu tertutup dan bersinar, itu sangat indah. Sebuah ukiran ukiran dalam sampul buku itu bersinar berwarna biru. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi entah mengapa aku tidak terlalu panik.

Biasanya jika melihat kecoa yang seukuran kepalan tangan saja aku sudah terbirit-birit lari tanpa memikirkan apapun.

Mungkin karena keindahan buku itu, melayang dan bersinar. Seakan sekelilingnya menjadi gelap, dan buku itu yang satu-satunya yang bersinar.

Aku tidak bisa berkedip menatapnya, namun tak lama buku itu terjatuh. Aku segera menangkapnya, dan melihatnya.

Namun tiba-tiba aku merasa sebuah gempa yang sangat dahsyat, aku jatuh tersungkur ke tanah. Berusaha berdiri dengan bantuan pohon yang ada di sampingku, capat-cepat aku memasukan buku itu kedalam tas ku.

Gempa itu tak kunjung selesai, aku terus menggenggam dengan erat batang pohon yang kokoh tertanam di tanah.

Tidak lama, gempa itu berhenti. Kami terbiasa dengan gempa, namun itu mungkin gempa terparah yang pernah aku rasakan. Aku menjadi khawatir dengan orang rumah.

Tapi untungnya tempat kami jauh dari laut, aku yakin gempa tadi dapat berpotensi menimbulkan tsunami.

Aku beristirahat sejenak menenangkan diri, mengambil air dari parit itu dan meminumnya. Aku mengambilnya lebih banyak untuk menyetok persediaan agar bertahan sampai besok sore.

Aku melanjutkan perjalanan, memaksa kakiku untuk melangkah. Berjalan di hutan basah, namun lelah itu terbayarkan dengan pemandangan yang aku lihat.

Tak terasa lima jam telah berlalu, matahari mulai terbenam. Aku segera panik untuk menemukan tempat untuk bermalam yang layak, mencari kayu bakar dan menangkap ikan di sungai.

Aku beristirahat di dekat sungai setelah mencari kayu bakar yang kubutuhkan, sejak tadi kami menyusuri sungai dari air terjun tadi.

avataravatar
Next chapter