webnovel

Seorang Rentenir

Setelah menutup toko, Mutia lantas bergegas pulang bersama seorang teman yang satu desa dengannya. Namanya Uni, gadis seusia Mutia yang rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari rumah Mutia. Mereka sudah berkawan lama sejak sekolah menengah atas.

Dulu, setelah lulus sekolah Uni merantau ke ibukota dan kembali sejak satu tahun yang lalu dan bekerja di toko bersama Mutia. Sedangkan Mutia sejak lulus sekolah tidak diperbolehkan merantau karena ia adalah anak tunggal.

Sebelum bekerja di toko, Mutia sempat menjajal beberapa pekerjaan lain sebagai penjaga stand minuman dan pelayan rumah makan. Ia tidak pilih-pilih dalam pekerjaan sebab hanya tamatan SMA meskipun teman-temannya ada yang bekerja di kantoran seperti bank. Mutia bahkan tidak terpincut dengan ajakan seorang teman yang waktu itu memberitahu bahwa salah satu bank sedang membutuhkan karyawan baru. Mutia langsung saja menolak tawaran tersebut meski gaji yang didapatkan cukup besar.

Kini, berada di sebuah toko grosir sembako ia menikmati pekerjaannya dengan baik meski gaji yang ia terima masih di bawah standar. Ditambah dengan kawan lama yang juga bekerja di tempat yang sama dengannya membuat Mutia betah di sana.

Mutia dan Uni berpisah di pekarangan rumah Uni yang cukup luas. Ia berjalan beberapa meter seorang diri menuju gubuk tuanya yang selama dua puluh lima tahun ini ditempati bersama ayah dan ibunya. Dari jarak sepuluh meter menuju rumah, sayup-sayup Mutia mendengar suara keributan dari rumahnya. Segera Mutia mempercepat langkah kakinya agar bisa tahu apa yang sedang terjadi.

Saminem dan Maula tengah berdiri sambil sesekali memohon, wajah mereka memelas meminta sedikit waktu untuk melunasi utang-utang mereka yang sudah menunggak enam bulan lamanya. Pria paruh baya dengan perut yang mengembung besar itu menggeleng tegas. Ia sudah memberi banyak waktu untuk mereka, apalagi bos besar sudah meminta uangnya agar segera kembali.

"Berikanlah kami sedikit waktu, Tuan. Kami janji akan segera membayarnya. Kali ini kami betul-betul tidak ada uang sepeserpun," ucap Maula memohon.

"Tidak ada perpanjangan waktu. Bulan lalu kalian bilang akan melunasinya sekarang. Cepat berikan uangnya!"

Pria gendut itu menggertak garang. Ia sudah tidak sabar dengan dua orang tua itu yang mengulur waktunya.

"Kami mohon, Tuan!"

Mutia yang melihat ayah dan ibunya berlutur di depan pria gendut itu segera berlari menghampiri mereka. Ia meminta mereka agar bangun dan tidak perlu sampai berlutut begitu.

"Ada apa ini, Tuan? Kenapa anda membuat keributan di rumah saya?" tanya Mutia bingung.

"Kamu siapa?"

"Saya putri mereka, Tuan," jawab Mutia yang lalu mendapatkan cubitan di kakinya oleh Saminem.

"Oh, kamu putrinya ya," pria itu menganggukkan kepalanya. "Saya datang kemari untuk menagih utang-utang orang tuamu yang sudah menunggak!" katanya dengan nada tinggi.

Mutia memberingsut takut mendengar perkataan pria itu yang menakut-nakutinya. "Berapa utang ayah dan ibu saya, Tuan?"

"Sepuluh juta dan ini sudah telat selama enam bulan. Jadi kalian harus membayar bunganya sepuluh persen juga."

Mutia terperanjat. Ia sangat terkejut mendengar nominal yang disebutkan oleh pria itu. Ia lantas menolehkan kepalanya, memandang kedua orang tuanya yang menunduk malu. Kedua mata Mutia mulai berkaca-kaca melihat sikap orang tuanya yang membuatnya kecewa.

"Beri kami sedikit waktu, Tuan. Tolong berikan waktu tiga hari agar kami bisa melunasinya." Mutia memohon, air matanya hampir jatuh membasahi pipinya jika saja pria gendut itu tidak mengiyakan ucapannya.

"Baik, akan kuberi waktu tiga hari. Setelah itu saya akan datang lagi bersama anak buah saya untuk mengobrak-abrik gubuk ini jika uangnya belum disediakan juga!"

Pria gendut itu lalu pergi meninggalkan pekarangan rumah mereka dengan langkah kesal.

Mutia menyeka air matanya dan menatap kedua orang tuanya meminta penjelasan. Sebagai seorang anak, ia merasa kecewa terhadap rahasia yang tidak pernah ia ketahui. Di ruang tamu sempit, Mutia duduk sambil meletakkan kedua tangannya di depan dada, menunggu penjelasan dari ayah dan ibunya.

"Maafkan kami, Simbok dan Bapak terpaksa utang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Nduk," kata Maula.

"Kamu jangan marah sama kami, toh ini juga untukmu," imbuh Saminem kemudian.

Mutia mendesah kesal. "Apa uang yang setiap bulan Mutia berikan itu kurang, Pak, Mbok? Kalau kurang setidaknya bilang sama aku biar aku cari uang tambahan. Buat apa pinjam uang sebanyak itu?"

"Ya untuk makan sehari-hari, dengan pinjam uang kita jadi bisa makan daging dan ikan, tidak Cuma tempe dan tahu saja, Nduk. Kamu juga senang kan bisa menikmati makan enak begitu? Simbok dan Bapak ingin memberikan hidup yang layak buat kamu karena kami tahu tidak punya harta seperti orang-orang, setidaknya bisa beli baju baru untuk lebaran."

Saminem menangis. Ia memelas dan merutuki hidupnya yang serba kekurangan. Sedangkan Maula tertunduk dalam pikirannya yang berkeliaran mencari jalan keluar.

"Tetapi bukan begitu caranya, Mbok. Mutia bersyukur bisa makan nasi sehari dua kali meski hanya sama kecap ataupun garam. Kebahagiaan Mutia bukan harta namun tetap bersama kalian aku bahagia, Mbok," ujar Mutia menangis.

Ia ingin membuat pikiran orang tuanya lebih terbuka bahwa hidup tidak melulu soal harta. Mutia juga ingin mereka menyesali perbuatannya ini agar ke depannya tidak terjadi lagi. Ia pun sadar bahwa keluarga miskin selalu dipandang rendah oleh orang-orang kaya.

Sejak dulu, keluarga Mutia tidak pernah dianggap keberadaanya oleh warga di desanya. Di saat mereka sedang kesusahan, tidak ada satupun rasa iba yang datang dari para tetangga. Sedangkan ketika mereka memiliki sedikit kebahagiaan, orang-orang justru membicarakan hal-hal buruk tentang keluarga Mutia.

Mutia tahu bagaimana tekanan yang dirasakan oleh ayah ibunya. Rasa ingin marah, kesal, benci, dan merasa bahwa hidup tidak adil selalu muncul di setiap saat. Namun pada akhirnya, Mutia menyadari bahwa Tuhan sedang menguji keluarganya dengan menempatkannya dalam perekonomian keluarga yang rendah. Harusnya ia lebih banyak bersyukur sebab di luar sana masih ada yang lebih kesusahan dari mereka.

"Sudah, sekarang kita pikirkan saja bagaimana melunasinya dalam waktu tiga hari." Maula melerai peraduan yang sedang terjadi antara istri dan anak gadisnya.

Seketika Mutia menyesal setelah mengatakan bahwa mereka akan melunasinya dalam tiga hari. Waktu yang sangat tidak mungkin untuk mendapatkan uang sebanyak itu. Mencari pekerjaan tambahan pun hasilnya tidak seberapa.

"Maafkan Mutia, Pak, Mbok, tadi aku asal bicara agar orang itu segera pergi dari rumah kita."

"Tidak apa-apa. Nanti Bapak dan Simbok yang akan cari jalan keluarnya. Sudah, kamu lekaslah mandi dan siapkan makan malam."

Bersambung ...