webnovel

Kedekatan Mutia dan Doni

Setelah menerima bantuan dari Doni, Mutia pun membuka bisnis kecil-kecilan dengan berjualan di platform online. Awalnya Mutia tidak tahu caranya, namun dengan sabar Uni mau membantunya, memberitahu bagaimana cara membuat toko online dan memasarkannya. Uni turut andil dalam kemajuan usaha Mutia yang sekarang mulai memiliki banyak pelanggan.

Mutia sendiri hanya berjualan aneka pakaian wanita dan hijab, sesekali ia pun menjual tas dan sepatu. Kini keuntungan yang didapatkan tengah ia kumpulkan untuk melunasi utang keluarganya kepada saudagar kaya, sedangkan sisanya untuk mengembalikan modal kepada Doni.

Dua bulan ini, lelaki itu sering kali menghubungi Mutia, menanyakan perihal bisnisnya ataupun kabar Mutia. Mutia yang tidak pernah berteman dengan seorang lelaki pun merasakan beberapa keanehan dalam tubuhnya.

Seperti hal-hal sederhana yang ditanyakan Doni tentang kabarnya, ataupun ketika ia menerima telepon dari lelaki itu, Mutia merasakan bahwa hatinya menghangat dan seperti ada kupu-kupu yang menggelitik di sana.

Hari-harinya pun kini terasa lebih indah dari sebelumnya. Dulu, semua hal hanya bisa ia pendam seorang diri, namun sekarang ia bisa bercerita dengan bebas kepada lelaki itu dan Uni.

Uni pun menyadari bahwa kedekatan Mutia dengan Doni tidaklah main-main. Ada binar kebahagiaan dari kedua insan tersebut. Sebagai seorang sahabat, ia merasa ikut senang atas kebahagiaan mereka dan selalu mendukung apapun yang terjadi.

Mutia tengah sibuk melayani pelanggan yang berbelanja di toko, hari ini Uni tidak berangkat karena sejak kemarin gadis itu bersin dan batuk berulang kali. Mutia sudah menyuruhnya untuk minum obat agar gejala flu-nya segera sembuh, namun Uni mengabaikannya dan terjadilah hari ini gadis itu jatuh sakit di rumah.

Di saat Mutia sedang kewalahan melayani pelanggan, lelaki yang waktu itu membeli rokok di toko datang kembali. Mutia terdiam melihatnya, ia masih ingat bagaimana lelaki itu menyemburkan asap rokok di wajahnya.

"Selamat datang, ada yang bisa dibantu, Tuan?"

"Saya mau beli rokoknya tiga bungkus."

Mutia mengangguk. Ia segera membuka lemari penyimpanan rokok dan mengambilnya sesuai dengan pesanan lelaki itu lantas menyerahkan kepadanya.

"Ini uangnya. "

Lelaki itu menyerahkan uang pas kepada Mutia dan menerima rokok yang terbungkus kantung plastik hitam. Tidak disengaja ia bersentuhan dengan jemari Mutia saat menyerahkan belanjaannya.

"Ah, maaf," ujar Mutia.

Lelaki itu tidak menjawabnya, ia lalu duduk di kursi yang tersedia di teras toko, membuka rokoknya lalu menghisapnya. Dia menikmati setiap sesap rasa nikotin yang menjalar ke otaknya, mengembuskan asapnya dengan kasar ke udara.

Lama lelaki itu berada di sana menikmati kesibukan Mutia dan rokoknya, membuat gadis itu merasa terganggu dengan kehadirannya. Dia tidak ambil pusing dengan hal itu karena dia hanya duduk diam di sana sambil merokok. Tidak ada pergerakan aneh yang ia lakukan kepada gadis itu.

Mutia menghela napas lelah. Helaan napas yang mampu didengar oleh lelaki itu. Meski begitu, lelaki itu tetap duduk tenang di sana tanpa terganggu sedikit pun. Akhirnya dengan memberanikan diri, Mutia menyapa lelaki itu.

"Permisi! Maaf, Tuan, sebentar lagi toko akan tutup, bisakah anda segera pulang karena saya mau memasukkan kursinya ke dalam?"

Dia menaikkan sebelah alisnya menatap Mutia yang sedikit takut melihatnya. Jaket kulit berwarna hitam, rambut gondrong yang tidak terikat, kumis tipis berjambang, tentu saja ia terlihat menakutkan. Dengan segera ia bangkit dari duduknya, membiarkan Mutia mengambil bangku dan memasukkannya ke dalam toko.

Ketika Mutia menutup toko lalu menguncinya, lelaki itu masih berdiri di tempatnya membuat Mutia kembali ketakutan apabila hal buruk akan terjadi padanya. Ia lantas cepat-cepat meninggalkan toko setelah menguncinya dengan benar, berjalan cepat menuju rumah. Lagi, lelaki itu justru mengikuti Mutia dan berjalan agak jauh di belakangnya.

Gadis itu lalu mengeluarkan gawai dari dalam tas, mengirimkan sebuah pesan kepada Doni bahwa seseorang sedang mengikutinya. Sesekali Mutia menolehkan kepalanya ke belakang memastikan lelaki itu masih mengikutinya atau tidak.

Ketika ia menoleh ke belakang lagi, lelaki itu ternyata sudah tidak ada. Mutia menghela napas lega dan kembali berjalan dengan santai. Namun, ia terkejut melihat kemunculan lelaki itu yang tiba-tiba berdiri di depannya, membuat wajah Mutia membentur dada bidang lelaki tersebut.

"Aduh!"

Mutia meringis sakit, ia mengusap kepalanya dan menatap lelaki itu dengan takut dan juga kesal.

"Tuan siapa? Kenapa sejak tadi anda mengikuti saya?" tanyanya mencoba galak agar lelaki itu takut kepadanya.

Lagi. Semua hal yang dilakukan oleh Mutia tidak berpengaruh kepada lelaki itu. Dia kembali menaikkan sebelah alisnya menatap Mutia yang hanya setinggi bahunya.

"Tuan mau apa sebenarnya? Tolong jangan sakiti saya!" Mutia memohon, matanya sudah berkaca-kaca kala lelaki itu mulai mendekat ke arahnya.

"Kamu baik-baik saja?" Suara yang berat dan dalam itu akhirnya keluar dari dalam tenggorokannya. Wajah lelaki itu datar saat menatap wajah Mutia.

"Anda membuat saya takut," cicit Mutia memundurkan badannya.

"Saya tidak akan melukaimu, lagi pula kita belum saling kenal. Namamu siapa?" tanyanya santai.

Mutia mendongak, menatap manik mata elang milik lelaki itu. Antara kesal, marah, takut, serta penasaran berkecamuk dalam bahunya. Mutia bimbang, ia lantas melangkahkan kakinya menuju rumahnya.

"Kamu mau ke mana? Kamu belum menjawab pertanyaanku!"

Lelaki itu sedikit berteriak, ia mengejar langkah Mutia dan menangkap pergelangan tangan gadis itu. Mutia kaget mendapatkan perlakuan asing dari lelaki tersebut. Badannya berbalik ke belakang, membuatnya berhadapan dengan pria tinggi bermata elang itu.

"Apa-apaan anda? Lepaskan tangan saya!"

Mutia menghempaskan cekalan tangan besar milik pria itu dari pergelangan tangannya. Untunglah, tidak ada kemerahan yang tertinggal di sana sebab cekalan tangan tersebut tidaklah erat.

"Beritahu siapa namamu dulu lalu kamu boleh pergi."

"Aku tidak mau!"

"Kenapa?"

Pertanyaan itu lolos dari bibir tebal lelaki itu. Pertanyaan yang justru membuat Mutia merasa dongkol.

'Lelaki ini bodoh atau apa? Tentu saja aku tidak mau memberitahu namaku kepadanya karena dia orang asing,' batinnya sedikit geram.

"Tuan, biarkan saja pulang atau saya akan berteriak."

Lelaki itu tidak bergeming, dia justru menunggu apa yang akan Mutia lakukan.

Sebelum Mutia benar-benar berteriak, Doni datang menyelamatkannya lebih dulu. Pria itu menarik tubuh Mutia agar berlindung di belakangnya, sedangkan ia berhadapan dengan lelaki asing tersebut.

"Anda siapa?" tanya Doni sopan. "Kenapa anda menghalangi jalan teman saya?"

Genggaman tangan Doni pada Mutia semakin erat. Lelaki itu tidak membiarkan tangannya kehilangan pergelangan tangan Mutia sedikit pun. Ia ingin melindungi gadisnya dari orang-orang jahat.

"Kamu siapa?"

Doni mengernyit. "Saya temannya!" jawabnya lantang.

Lelaki itu mengangguk. Ia melirik ke arah Mutia yang bersembunyi di belakang tubuh Doni, tersenyum miring lantas membalikkan badannya meninggalkan Doni dan Mutia yang kebingungan melihat sikap lelaki itu.

"Kamu tidak apa, Mutia?" tanya Doni sembari mengecek keadaan tubuh Mutia.

Mutia tersenyum. " Aku baik-baik saja, Bang. Terima kasih sudah menolongku."

Doni mengiyakan. Dia lantas mengantar Mutia pulang ke rumah dengan aman.

***

"Untunglah kamu tidak apa-apa, aku khawatir saat menerima pesan singkatmu," ujar Doni ketika Mutia membawakan segelas minuman untuknya. Mereka duduk berbincang di ruang tamu kecil di rumah Mutia.

"Iya, untungnya pria tadi tidak melukaiku, Bang. Aku sempat ketakutan dibuatnya, apalagi sejak dia datang ke toko, lelaki itu tidak segera pulang dan malah mengikutiku."

"Apa lelaki itu sering ke toko?"

Mutia menggeleng. "Baru dua kali ini, Bang. Dia selalu membeli rokok."

"Semoga dia tidak datang lagi dan berniat jahat kepadamu ya," kata Doni.

"Iya, Bang."

Maula dan Saminem yang baru saja pulang bekerja dikejutkan oleh keberadaan Doni di rumahnya. Mereka menatap Mutia penuh tanya. Melihat situasi tersebut, Mutia lantas memperkenalkan Doni kepada ayah dan ibunya bahwa lelaki itu yang membantu bisnis online miliknya.

Maula dan Saminem menyambut jabatan tangan Doni dengan penuh terima kasih, ia tidak menyangka bahwa lelaki itu mau membantu anak gadisnya.

"Tidak apa-apa, Pak. Saya ikhlas kok, membantu Mutia. Semoga masalah keluarga Bapak segera selesai ya," ujar Doni.

"Sekali lagi terima kasih banyak ya, Nak Doni. Bapak dan Ibu tidak bisa memberikan apa-apa untuk membayar kebaikan Nak Doni kepada kami."

"Iya, Pak, tidak apa-apa."

Doni lalu berpamitan pulang kepada keluarga Mutia setelah menghabiskan minumannya. Ia harus kembali ke kantor karena dia izin hanya sebentar.

Mutia mengiyakan. Dia menatap kepergian lelaki itu dengan senyum yang tidak pernah luntur dari wajahnya.

Bersambung ...