1 Harapan Bodoh

"Batalkan!"

Suara teriakan ini, tanpa sudah payah menoleh aku sudah tahu siapa dia. Hanya saja mengapa dia harus datang lagi di saat-saat seperti ini? Mengapa dia muncul selepas aku benar-benar mencoba untuk tak lagi membahasnya, kala diriku benar-benar menganggap si sinting ini mati. Dengan begitu setidaknya akan lega perasaan ini.

"Ta, please jangan kayak gini. Aku mohon batalin semua ini," rengeknya lagi. Membatalkan apa yang dimaksud si bodoh ini?

Semuanya sudah … terlambat, bukan kah kemarin aku sudah memancingnya namun dia diam saja? Salahkah aku kalau memilih untuk menikah dengan laki-laki lain saat dia yang kucinta tak mau bertanggung jawab atas semua perbuatannya? Dimana, tolong katakan yang sesungguhnya jika aku benar-benar bersalah karena setidaknya dengan begitu perasaan ini jadi sedikit lega dan tak terbebani.

Aku memang sengaja diam saja. Walaupun jelas-jelas sosok yang belum bisa kulihat ini, kini tengah tumbuh di dalam sana. Ya, besar harapan 'dia' tak menjadi pengecut dan brengsek seperti papa kandungnya karena jika benar demikian mungkin aku akan … melenyapkan diri.

"Apa aku perlu menghamili kamu supaya pernikahan ini dibatalkan?!"

Kali ini aku menatapnya tajam. Meminta para MUA keluar dari ruangan ini dan meninggalkan kami. Meski agaknya mereka enggan namun berkat pelototan dariku pada akhirnya tak ada yang menolak lagi dan pergi walau sepertinya jiwa raga mereka malas meninggalkan kami sendirian di tempat ini. Itu pasti karena mereka MUA pilihan dari calon 'suamiku' yang baik hati.

Ngomong-ngomong … menghamili diriku, ya? Ah pria bodoh ini. Kau sudah melakukannya, batinku menjerit namun sebisa mungkin aku akan bersikap tenang. Hanya dia, satu-satunya yang tak tahu kalau aku sedang mengandung darah dagingnya. Pernikahan ini hanya sebatas formalitas saja, demi menghindari amukan masa karena aku yang hamil sebelum menikah.

"Aku mau nikah, Joo. Came on, jangan bikin semuanya makin runyam. Kamu suka sama Astrid, 'kan? It's okey, memang harusnya kamu nikah sama dia. Dan ... nggak ada alasan untuk kamu melarang aku yang mau nikah sama Hendri, mungkin kamu lupa kalau kita nggak lebih dari sa-ha-bat!" tegasku padanya.

Dia benar-benar egois. Dua puluh enam tahun berteman dengannya, mencintai diam-diam lantas menangis tanpa suara saat melihatnya bersama dengan yang lainnya. Namun aku kini sadar kalau semuanya akan semakin runyam, harusnya sejak masih di SMA aku setuju untuk bersama Hendri bukan malah datang ke pelukannya sambil membawa bayi. Betapa bodohnya aku saat ini, mau menangis lagi bukankah tak ada gunanya? Hendri … dia pasti sudah menungguku di depan sana.

Sebentar lagi saja, aku hanya perlu menahan diri hingga kata 'sah' terucap dengan jelas dan segalanya pasti akan baik-baik saja. Tutup mata dan telinga, anggap saja bahwa ini hanyalah bualan semata. Joo tak mungkin mencintaiku, atau setidaknya dia akan bertanggung jawab, bayangan ini semua hanya ada dalam kepala bodoh ini.

"Bee, please jangan nikah," bujuknya lagi. Mata Joo nampak bersungguh-sungguh mengatakannya, aku jadi ingin tergelak menertawakan diriku ini.

Kembali diriku menggeleng. Nggak! Jangan terbujuk dengan rayuannya lagi. Dia hanya akan menjadi bumerang untukku nanti. Haha, dua puluh enam tahun dan aku baru sadar kalau dia benar-benar menjijikkan. Sangat menjijikan hingga aku muak namun masih ingin kembali menggenggam tangannya, apa yang sebenarnya aku mau?

Bahkan sempat-sempatnya dia memanggilku dengan sapaan bee saat kami pergi kemana-mana bersama tapi aku hanya diperkenalkan sebagai sahabatnya? Aku yang terlalu berharap hingga wajar saja jika menahan sesak berlebihan di dalam dada. Salahku yang menginginkan lebih, semuanya … hanya balasan atas tingkah burukku.

"Jelita?"

Panggilan mama dari arah luar membuatku menatap tajam dia yang masih duduk bersimpuh di depanku sambil memohon agar aku tak menikah. Hah! Sampai kapan si bodoh ini akan sadar bahwa kamitak akan bisa bersama seperti bayanganku, menikah dengan Jonhwi hanya angan-angan dalam benak ini.

"Ya, Ma!" sahutku kencang.

Sengaja, agar dia—SAHABATKU ini sadar kalau aku akan segera menikah. Dengan laki-laki yang bisa menjagaku bukan malah memintaku menjaganya! Aku hanya seekor kelinci, mana bisa menjaga hewan buas sepertinya? Sampai kapan pun hal yang diharapkan tak akan menjadi keny—

"Kamu hamil, 'kan?"

Tepat saat pintu kamarku terbuka bersamaan dengan beberapa anggota keluarga Hendri yang datang, laki-laki sialan ini malah bertanya demikian. Pucat pasi diriku, hanya Hendri lah yang tahu hal ini dan dia menerimaku. Aku memang senang dia mengetahui fakta itu, akan tetapi memangnya apa yang akan berubah di saat genting seperti ini?

Dibandingkan dengan masalah Joo, keluarga Hendri bisa jauh lebih bengis dari yang aku duga. Mereka bahkan tak tanggung-tanggung memenjarakan menantu dari cucu pertama, apa kabar denganku yang masih sebodoh ini sejak dulu?

"Hamil?" Calon mertuaku mendekat. Setiap langkah yang dia ambil membuat ruangan terasa kian pengap.

Tangannya yang melayang membuatku menutup mata rapat-rapat. Akan tetapi bahkan setelah menunggu beberapa saat aku pun juga tak merasakan apa-apa. Rupanya … batal, tangannya dihalangi oleh Joo, orang yang dalam hitungan detik tadi masih kuanggap sebagai sahabat. Dia … pembuat ulah yang mau bertranformasi menjadi super hero, ya?

"Hendri nggak akan melakukannya bukan? Itu artinya orang yang kamu anggap sebagai sahabat ini pasti ayahnya. Dasar wanita murahan! Harusnya sejak awal aku tahu kalau kau itu bukan wanita yang benar-benar baik."

Nafasku memburu. Hey, dia pikir aku yang menginginkan hal seperti ini? Wanita mana yang mau hamil di luar nikah lebih lagi karena sebuah kecelakaan hah?!

Apa ini? Dia bahkan tersenyum di akhir kata, jangan bilang sejak awal memang keluarga Hendri tak menyetujui gagasan pernikahan kami?

"Tinggalkan mereka berdua! Dasar murahan, dia bahkan menjajakan tubuhnya-"

Brugh!

"Awh!"

Ibunya Hendri terjatuh, itu akibat ulahnya Joo. Tapi, bukan itu yang ku lihat dengan jelas. Namun raut wajah Joo dan apa maunya hingga berpikir hal seperti ini? Sejak kapan dia tahu dan mengapa dia … seolah sudah merencanakannya?

Dalam lensa mataku aku hanya tahu mereka pergi. Meninggalkanku hanya berdua dengan Joo saja, kalau ibunya sudah semarah ini maka mama juga akan marah, 'kan?

Kulirik mama yang sejak tadi hanya diam saja mengamati ini semua. Tanpa menatapku, mama justru menatap Joo yang kelihatan murka. Wanita itu bahkan tak menganggap bahwa aku anaknya, mungkin selama aliran uang mam masih lancar aku hanya mesin pencetak uang saja. Sejauh ini kan seperti itu jadi tolong hatiku jangan kamu berharap lebih dari ini.

'Jangan berangan-angan, Ta. Kasihanilah hatimu!'

-Bersambung ....

avataravatar
Next chapter