1 Hati yang teguh

" Ayolah Mish kita perlu bicara". Laki-laki disampingku berkata sambil mendesah lembut seperti biasa dari nada bicaranya.

Bibir ku bergetar menahan sesuatu yang ingin kusampaikan tapi tertahan, tak berani menatap matanya yang penuh harap terlihat jelas dari sudut lain penglihatanku sedangkan yang lainnya tepat mengarah ke kantin yang berada di dekat program studi Ilmu tanah fakultas pertanian.

"Alfred sudahlah". Akhirnya aku bicara seakan baru muncul ke permukaan dari penyelamanku di dasar laut.

"Tapi ini tak masuk akal sayang". Potongnya tak sabar. "Kalau hanya masalah kamu ingin fokus pada skripsimu kita tak harus putus kan? dan kamu tak perlu menghindar. Aku bisa membantu". Nada bicaranya lembut namun begitu menekan dan memerintah.

"Begitu sepelenya itu bagimu Alfred tapi bagiku tidak". Aku berbohong. "Kita punya tugas dan kewajiban untuk menyelesaikan kuliah kita, karena itulah yang di harapkan dan akan menjadi kebanggaan Orang tua kita, dan sudah menjadi prioritas ku sejak awal untuk mewujudkankan itu". Aku berusaha berhati-hati memilih kata-kata yang membuatku tidak terkesan mencari-cari alasan walaupun sebenarnya ya, aku hanya mencari alasan.

"Aku sudah menyiapkan renca untuk mengenalkan kamu pada keluargaku, kamu tahu itu". Pandangan Alfred tertunduk. Sebelum dia berkata "Bahkan aku punya rencana menikahimu sebelum kamu wisuda".

"Yang benar saja sebelum wisuda?". Kalimat itu tertulis dalam pikiranku. Aku tak menyangka laki-laki ini begitu serius. "Apa mesti menikah sekarang?". Aku mulai membayangkan diriku yang sedang minum susu ibu hamil sementara anak pertamaku bertanya kepadaku kapan adik nya akan lahir. Tubuhku mengecil "Tidak, Tidak, Tidak". Aku merasa mual bukan karena bau susu ibu hamil sementara aku belum hamil, tapi aku mual membayangkan betapa banyak ocehan yang akan keluar dari mulut Ibu disertai sumpah serapahnya.

"..Misha sayang?"

Aku terkejut menyadari tangan besar Alfred sudah mendarat di lenganku, begitu besar, lembut dan hangat.

"Kamu baik-baik saja? Kamu tetap diam walaupun aku berkali-kali memanggil.

"A-ku hanya sedikit lelah Alfred". Membebaskan lenganku dari genggamannya aku menyebut namanya tanpa sayang sebagai kepanjangan bukan karena kita sudah putus, tapi sejak awal aku tak pernah mengeluarkan kata-kata perangsang seperti "sayang" untuk berjaga-jaga.

"Jadi..". Alfred berhenti sejenak sambil menghela nafas sebelum berkata. "Aku harap kamu tetap bersamaku, aku janji selalu ada untuk kamu sampai kamu wisuda dan siap untuk pernikahan kita..".

"Cukup Alfred". Potongku. "Kamu tak akan pernah mengerti keadaanku, menjadi satu-satunya anak perempuan dan harapan keluarga". Suasana hening.

"Apa salahku Misha?". Kata Alfred masih teguh.

" Kamu tidak salah Alfred, hanya saja..."

"Misha!" Suara lain membingingkan terdengar keras seperti sangat dekat di telinga dan aku hampir mencium apa yang dimakannya barusan.

"Misha! Misha!" Aku menatap kabur ke sumber suara yang nyaring itu. "Kamu benar-benar wanita maco". Aku kembali mendapatkan cahaya yang cukup untuk menyadari dimana aku. Benar, ini mimpi dan aku bersyukur suana tak enak dihati itu terulang lagi.

"Apa maksudmu dengan wanita maco heh? Aku cewek ideal yang populer di kampus dengan dada besar dan bokong montok Han". Aku bangun dari tempat tidur sambil meringis merenggangkan tangan mengeliat.

"Kamu mendengkur seperti biasanya, sepertinya kamu mimpi berkencan dengan Bapak gubernur kita". Seringai Hanna.

"Hanya bertemu mantan gubernur mahasiswa di dalam mimpi oke!". Aku mengoreksi. "Dan kamu terlalu dekat, apakah menjadi jomblo sejak lahir membuatmu putus asa sampai kamu naksir teman wanitamu?"

"Lalu apa bedanya itu puan pendengkur? Berkencan sudah pasti bertemu bukan?". Sambil berdiri Hanna menggoyangkan pinggulnya yang tipis membuatku geli. "Yah seandainya aku laki-laki aku sudah pasti mencium dan meraba dadamu yang di berkahi itu sebelum kamu bangun, sayangnya aku wanita normal". Lanjutnya

"Kamu benar". Kataku sambil cekikikan.

"Tapi aku dan Alfred sudah putus kemarin Hann.."

"Hah?". Hanna berbalik dengan rahang mengendur. " K-kamu seirus? Demi Tuhan Misha, sejak lahir aku belum pernah berpacaran atau ada laki-laki yang mengungkapkan perasaannya padaku".

"Hanna.." Kataku sambil melambai tangan sementara yang lain menutup mulutku yang meregang karena kurang oksigen.

"Aku yang minta kita putus kemarin Hanna".

"Tidak Misha! Ini tidak adil sementara kamu sangat beruntung". Hanna memotong. " Ayolah laki-laki itu Alfredo kamu sadarkan?

"Iya Hanna dan aku Misha Zoya". Jawabku sambil mengangkat alis diatas mata kiriku.

"Huh..". Hanna mendesah mengendurkan bahu kecilnya."Setidaknya pikirkan lagi Misha, dia sangat populer di kampus. Tampan, kulitnya putih, tingginya hampir 180 cm..".

"Rambutnya pendek dan ikal". Sambungku.

"Itu seperti Ajinomoto kamu tahu! Rambut ikalnya itu seperti bumbu penyedap.

"Apa Kamu tidak punya analogi lain yang lebih pantas?". Aku protes.

"Diam! Aku tak punya yang lain Masako terlalu banyak varian rasa dan spesifik untuk itu". Hanna menjadi lebih kesal padaku.

"Pfft...". Aku tertawa mendengar kalimat yang keluar dari sahabatku dari awal masuk kuliah.

"Apa yang lucu hah? Harusnya kamu sedih karena putus dari Alfred". Tanya Hanna sambil melemparkan handuk ke wajahku yang sedikit lusu. Mengambil handuk itu aku menuju kamar mandi.

"Kamu mabuk iklan bung, dan darimana kamu tahu tingginya 180 cm puan gibah?". Aku menggoda

"Hehe". Wajah Hanna terlihat mesum.

"Dan apa maksudnya dengan hehe". Aku menirukan suara dan ekspresinya sambil menangkap guling yang dilempar ke arahku.

"Lupakan kamu harus mandi puan maco! Kita harus pergi ke kampus pagi ini".

"Bersiaplah patah hati pria-pria tampan di kampus, wanita cantik dan sensual akan datang ke kampus hari ini". Kataku sambil menatap cermin besar di dekat dapur. Ini adalah kamar kost yang narsis dimana di setiap ruang kamu akan menemukan cermin yang besar seukuran jendela. "Tapi ini cukup membantu untuk memperhatikan dirimu sendiri setiap saat agar tidak ada hal yang memalukan seperti ada cabai disela-sela gigimu sebelum kamu benar-benar pergi keluar kost".

"Yah yah pergilah mandi atau aku dengan senang hati membawamu ke kampus hanya dengan sehelai handuk, pria-pria di kampus pasti akan senang haha".

"Terimakasih atas pujianmu Hanna". Aku pergi ke kamar mandi seukuran dua meter persegi tanpa ventilasi yang cukup, hanya cahaya matahari pagi yang menembus kaca ubin yang buram di atas bak mandinya. Menanggalkan pakaianku yang erotis aku mulai ritual yang di anggap sakral untuk beberapa wanita di dunia ini yaitu mandi.

POV Hanna

Aku tahu kamu memang manis dan seksi. Tapi untuk sanggup menahan godaan laki-laki tampan yang terus-menerus datang padamu, kuakui kamu wanita elegan yang tangguh Misha dan aku selalu bangga memiliki sahabat sepertimu sampai saat ini. Kamu selalu hati-hati dalam segala situasi khususnya terhadap laki-laki yang datang merayumu dengan niat yang jahat. Aku mendoakan yang terbaik untukmu.

avataravatar
Next chapter