webnovel

Salah sangka

Sesuai dengan janji Dilara yang akan menemui Surya hari ini. Gadis cantik pemilik senyum manis itu sudah bersiap dengan dres yang ia kenakan. Dres berwarna merah hanya sebatas lutut, sengaja ia pilih untuk menambah kesan ayu dalam dirinya.

"Sempurna," celotehnya saat sedang berada di depan kaca. "Kamu itu memang cantik, Ra. Wajar aja kalau banyak yang suka sama kamu," pujinya pada diri sendiri.

Banyak yang suka?

Kalimat itu seolah menggerayangi kepalanya. Padahal itu semua tidak sesuai dengan kenyataan. Dilara memang sedikit kesulitan dalam menemukan pria yang pas, yang bisa klop sama dia. Ya memang, ada satu dua orang temen kuliahnya, yang terang-terangan menyatakan cinta. Tetapi, Dilara tidak pernah menggubris mereka.

Untuk kriteria cowok yang ia suka. Memang jauh dari ekspektasinya. Selain wajah yang pas-pasan. Mereka hanya bermodal gombalan untuk meluluhkan hatinya. Cowok seperti itu, tidak layak dijadikan pacar ataupun kekasih.

"Tunggu-tunggu. Kok aku terkesan ngarep banget ya sama dia. Yang ada nanti, dia malah ge er dong!" Gadis itu bermonolog sendiri. "Ah, sudahlah. Bodo amat, yang penting terbebas dari perjodohan itu."

Setelah semuanya siapa, Dilara dengan anggunnya turun ke lantai bawah untuk bergabung mami dan papinya.

"Tumben anak papi udah cantik begini," celetuk pria paruh baya yang duduk di kursi kebesarannya.

"Iya, tumben," sambung maminya menatap curiga.

"Apaan sih Mi, Pi. Ara dah cantik di bilang tumben. Nah ntar giliran jam segini baru bangun, dibilang males lah, apalah. Pusing Ara lama-lama," tegas Dilara kesal.

"Yeaaa, gitu aja ngambek," sambar papinya lagi. "Emang kamu mau kemana sih Ra? Janjian sama Surya?" Kemudian pria itu bertanya pada anak gadisnya.

"He-eh, Pi," jawab Dilara dengan mulut yang penuh dengan makanan.

"Ngomong-ngomong, kerjaan Surya itu apa, Ra?" tanya pak Irawan pada Dilara. Sontak wanita itu terkejut mendengarnya.

Uhughhhhkkkk, saking bingungnya. Dia terlihat panik, wajahnya langsung memutih. "Em, itu Pa." Dia tamak berpikir, mencari jawaban yang tepat. "Em, pemilik dealer Rona motor, Pa. Iya, itu." Gadis itu menjawabnya sambil terbata.

"Oh, pantesan." Pak Irawan bergumam.

"Pantesan apa, Pa?" Kali ini Dilara mengerenyit heran dengan gumaman papanya. Dia takut salah bicara, yang ada akan menambah masalah..

"Dia lebih suka naik motor ketimbang kendaraan roda empat," ucap Al Irawan enteng. Tanpa sedikit menaruh curiga pada Dilara. Diikuti anggukan Setija dari sang mama. Semakin membuat gadis itu tersenyum lebar. Artinya, mereka berdua percaya. Kalau pekerjaan Surya adalah pemilik dealer, bukan seorang ojol ataupun pelayan cafe.

Menyisipkan sebuah kegelisahan bagi Surya saat dihadapkan disituasi yang sekarang ini. Pria itu benar-benar pusing memikirkannya, sampai tak bisa tidur dengan nyenyak semalaman. Dia adalah orang jujur, selama hidupnya tidak pernah berbohong. Apalagi, yang dibohongi ini adalah orang tua. Tentu menjadi beban tersendiri untuknya. Karena tak tidur dengan baik, ditambah aktifitas yang akhir-akhir ini menyita waktu dan tenaga. Sedikit membuat tubuhnya lemas.

Surya masih berada ditempat tidurnya. Usai sholat subuh, dia memutuskan untuk tidur kembali. Mengistirahatkan diri, agar bisa beraktivitas kembali. Saking lelapnya tidur, pria itu tidak sadar. Kalau matahari sudah mulai meninggi. Hingga terdengar suara berisik dari benda pipih yang ads dibalik bantal.

"Emm, siapa sih!! Ganggu aja!" gumamnya, mengucek matanya yang masih terpejam. Sementara tangan Surya mencari benda itu. "Astaga!! Udah jam delapan." Dia terkejut saat menatap layar ponselnya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Padahal, pagi ini dia harus mengantar barang pesanan pak Selamet, tetangganya.

Yang membuat pria itu lebih terkejut lagi. Nomor wanita yang akhir-akhir ini mengusiknya, tertera disana. Beberapa panggilan masuk, namun tak sempat dijawab dari nomor yang sama. "Ngapain lagi sih, nih cewek!" gerutunya malas. Dia lebih memilih mengabaikan, dan beranjak meraih handuk yang menempel di dinding. Baru akan melangkah keluar, nontif pesan mau tidak mau menghentikan langkahnya.

{Angkat gak telponnya!!! Woiiiii!}

Pria itu memutar bola matanya. Malas jika berurusan dengan wanita menyebalkan itu. Tak berapa lama, sering ponselnya pun berbunyi. Lekas ia geser tombol telpon berwarna hijau keatas.

"Ngapain sih! Berisik tauk!" selorohnya malas. Dan betapa terkejutnya Surya saat Dilara bilang sudah ada di komplek perumahan miliknya. "Apa!!!"

Dilara sudah berdiri disebuah bangunan rumah mewah yang diduga milik Surya. Berbekal aplikasi GPS, wanita itu berhasil melacak keberadaan rumah Surya. Dan titik merah itu berdiri tepat di depan bangunan itu.

"Njirr, rumah Lo besar juga!" seloroh Dilara yang mengira rumah itu adalah milik Surya.

Sudah dapat ditebak sebelumnya oleh Surya. Kalau Dilara akan mengira rumah mewah itu adalah miliknya. Padahal disebelah kiri rumah itu ada gang kecil, yang menghubungkan rumahnya dari jalan. Rumah Surya tepat, dibelakang bangunan besar dan mewah itu.

"Lo, tunggu dulu disitu. Gue bakal samperin!" ujar Surya menutup panggilan telponnya. Bergegas, pria itu ke kamar mandi untuk membasuh mukanya. Selesai itu, dia berjalan ke depan untuk menjemput Dilara.

"Mau apa lagi sih tu cewek. Bikin mupeng aja, njiir!" racaunya sebal. Setelah sampai di tempat Dilara, yang saat itu berdiri memunggunginya. Surya pun berujar, "Mau apa lagi sih, elo?" Sontak membuat gadis itu melonjak kaget.

"Astaga!!! Ngagetin aja sih, Lo." Dilara memukul lengan Surya, sebagai wujud kekesalannya pada pria itu. "Serius, ini rumah Lo?" Kemudian bertanya pada Surya.

"Lo pikir?" Surya justru melempar balik pertanyaan itu padanya. Namun dengan nada menekan, sehingga Dilara menangkapnya lain. Dan benar, rumah itu adalah milik pria yang sebentar lagi akan jadi suami pura-puranya. Gadis itu menyunggingkan senyum tipis. Membuat Surya mengerenyit heran. "Ngapain senyum-senyum?"

"Yealah galak amat sih!" Lara menggoda Surya yang mulai melangkahkan kaki menuju ke rumahnya. "Gede juga ya, rumah Lo. Tajir!!" seloroh wanita itu mengikuti langkah kaki Surya.

Surya menyunggingkan sebelah bibirnya. "Lo pikir, ini rumah gue?" Pria itu masih tetap berjalan, hingga melewati pintu rumah mewah itu.

"Hah!" Dilara menganga. "Jadi ini bukan rumah Lo?" tanyanya, berlari mengejar Surya. Hingga berhenti tepat di hadapan wanita itu.

"Ya kali, kalau gue tajir gini. Rumah gue besar kek gini. Mana mungkin gue mau, ngikutin rencana gak jelas Lo itu. Jadi pacar pura-pura," seloroh Surya. Dibenarkan oleh Dilara.

"Ya mangkanya minggir! Gue kasih tahu, dimana rumah gue." Surya menatapnya remeh, kemudian menggeser tubuh gadis itu yang menghalanginya. Dan bergegas melanjutkan langkahnya menuju tempat yang sebenarnya.

Sesampainya di sebuah rumah permanen. Yang dindingnya masih terbuat batu bata merah. Atap rumahnya hanya dari esbes. Ditambah ukuran rumah yang sangat kecil. Membuat keringat dingin Dilara, keluar seketika.

"Ini, rumah Lo?" Lara bergedik ngeri melihat rumah yang menurutnya tak layak huni. "Ya ampun, ini mah sama aja kaya kandang sapi di peternakan yang pernah gue kunjungi," gumamnya, tak berkedip.