webnovel

Jomlo 2

"Mi, besok anter ke Tanah Abang, yuk?" ajak Dokter Karina, waktu kami sedang makan siang di kantin sumah sakit.

"Mau ngapain?" tanyaku singkat, sembari menikmati bakso pedas di hadapanku.

"Mau beli kaos. Soalnya Arjuna udah bawel banget, kalau liat saya pake kaos robek sana sini. Katanya kayak gak mampu beli baru aja." Cerita Dokter Karina sambil mencebik kesal. Membuatku langsung tergelak seketika.

"Astaga, Dok!" seruku tak habis pikir. "Lagian dokter mah, emang aneh, sih. Punya suami kaya, kok malah demennya pake kaos robekan. Made in Tanah Abang lagi. Ya, ampuuun ... dokter mah, emang bener-bener kebangetan." Aku benar-benar gemas sekali mendengar cerita Dokter Karina barusan.

"Loh? Emang saya salah apa? Pake kaos robekan kalau emang nyaman, kan, gak masalah. Selama itu masih berbentuk kaos dan masih bisa dipake. Ya … kan, mubazir kalau harus dibuang. Lagian, saya pakenya di dalam rumah ini. Gak ada yang liat juga selain Arjuna, kenapa, sih, pada ribut aja?" protes Dokter Karina tak terima.

"Ya … tapi, kan, gak harus yang robek-robek juga, Dok, yang lebih bagus-bagus masih banyak. Bener kata si daddy, Kayak gak mampu beli aja. Padahal kalau dokter mau, beli sama pabriknya pun mampu. Kenapa malah jadi sok miskin gini, sih? Sampe Kaos aja gak mau ganti. Ya Tuhan ... dokter mah emang manusia langka," ungkapku panjang lebar yang membuat Dokter Karina semakin cemberut.

"Ya makanya saya ngajakin kamu ke Tanah Abang. Soalnya saya kesel diomelin Arjuna mulu." Dokter Karina mencebik kembali dengan kesal.

"Malahan nih, ya, tuh kaos-kaos saya, sebagian besar sudah sengaja dirobekin Arjuna biar gak bisa pake lagi. Ngeselin banget, kan. Sekarang saya jadi bingung mau pake apa kalo di rumah. Saya udah gak punya kaos lagi, Mi," lanjutnya polos dengan menggebu-gebu.

Tak ayal, cerita Dokter Karina membuatku kembali terbahak.terlihat sekali kalau memang somplak sekali dokter satu ini.

"Gak usah pake apa-apa aja, Dok. Biar cepet jadi." Otakku terpanggil untuk menggodanya, membuat Dokter Karina langsung mencubit lenganku gemas.

Bukannya marah, aku malah semakin tergelak melihat kekesalan Dokter bedah kesayangan para pasien anak itu. Wanita ini memang selucu itu kala menanggapi candaanku.

"Lagian kenapa harus Tanah Abang, sih, Dok? Kan, ada mall gitu yang lebih adem sama nyaman buat belanja. Kenapa harus ke Tanah Abang yang pasti sumpek dan panas? Belum lagi kalau rame. Pasti desek-desekan gak bisa jalan. Emangnya dokter gak masalah apa, sama semua itu?" Kali ini aku mencoba untuk lebih serius.

"Iya, sih, tapi ... gimana, ya, Mi? Kalau di mall saya gak bisa nawar."

Hah, Apa? Menawar?

"Mana harganya mahal-mahal, lagi. Masa satu bijinya aja sampai ratusan ribu. Kan, kalau di Tanah Abang, seratus ribu aja bisa dapet tiga biji tuh. Padahal model sama bahan sama. Cuma menang dimerk, doang. Saya, kan, butuh kaosnya, Mi. Bukan merknya. Jadi ya ... mending Tanah Abang ajalah."

Ya salam!

Memang Dokter Somplak. Semenjak dulu tak ada yang berubah, masih suka merakyat. Pantas saja suaminya sering uring-uringan.

Padahal asal kalian tahu. Selain menjadi dokter senior yang sudah mempunyai nama besar di rumah sakit ini, tapi dia juga merupakan istri dari pemilik rumah sakit ini. Akan tetapi sifatnya malah terlihat lebih sederhana daripada dokter lain, yang notabenenya adalah bawahannya.

Luar biasa, kan?

Hal itulah yang terkadang membuatku malu akan Dokter Karina. Aku yang bukan siapa-siapa saja, malah lebih banyak maunya daripada Dokter Karina. Terlalu banyak yang diingikan, tapi isi kantong tak sesuai.

Sementara yang jelas-jelas punya kantong tebal, malah lebih suka mengirit daripada berfoya-foya. Dia juga tak pernah mau pamer, apa lagi sok menjadi sosialita. Jujur, itu juga yang membuatku betah berteman dengan Dokter Karina dari dulu. Karena dia tak pernah pandang bulu dalam berteman.

Sangat berbeda dengan teman sejawatnya. Bukan maksud menjelekan atau yang lainnya. tapi aku pun tak munafik juga kalau memang ada segelintir orang yang masih suka berperan antagonis di rumah sakit ini.

Itulah hidup. Iya, kan?

Selalu berdampingan. Di mana pun dan kapan pun, karena memang hidup ini harus seimbang. Hanya saja orang seperti Dokter Karina langka adanya. Orangnya selalu lurus, dan tak pernah berlaku macam-macam, padahal dia mempunyai suami yang kekayaanya naudzubillah tak kan pernah habis.

Uang tak berseri dengan asset yang tersebar di mana-mana, tapi lihat saja kelakuan Dokter Somplak ini? Bukannya memanfaatkan situasi yang dimiliki, agar terlihat seperti nyonya-nyonya sosialita jaman now, yang segala aktivitasnya muncul di newsfeed Instagram.

Bahkan sampai saat ini. Dokter Karina lebih suka ke mana-mana memakai jasa ojek online daripada menaiki mobil pribadi. Padahal kalau ditelisik lebih jauh lagi, sang suami memiliki mobil yang jika dihitung-hitung, bisa saja dia membuka showroom mobil mewah.

Bisa kalian bayangkan sendiri segemas apa Pak Arjuna atas kelakuan ‘merakyat’ istrinya ini. Mau menggunakan mobil yang mana tinggal pakai, malah memilih menggunakan ojek online. Bukan hal yang mengherankan jika ego sang suami tersentil karena merasa tak bisa mensejahterakan istrinya sendiri. Walau pada kenyataannya sebelum menikah pun Dokter Karina memang sudah begini adanya.

Alih-alih tinggal di apartemen mewah dan memanfaatkan uang gaji seperti yang lainnya. Dokter Karina malah lebih suka tinggal disebuah rumah kontrakan minimalis, yang katakanlah standar menengah ke bawah. Karena dilihat dari sisi mana pun, kontrakan Dokter Karina emang gak ada mewah-mewahnya. Pokoknya berbanding terbalik dengan gaji yang selama ini diterima sebagai dokter bedah.

Awalnya aku berpikir dia memang pelit atau karena sedang dikejar hutang, makanya tak pernah mau foya-foya. Namun, setelah aku mengenalnya lebih dekat, ternyata itu semua karna memang sifat dasar Dokter Karina sendiri yang tak pernah suka kemewahan.

Aku semakin malu dengan kelakuanku selama ini, begitu tahu jika Dokter Karina justru menyumbangkan sebagian gajinya untuk panti asuhan milik temannya. Walaupun kadang kuakui jika kelakuannya sedikit error, tapi kalau soal sifat dan wataknya menjadi panutan.

Dari Dokter Karina jugalah, aku mengetahui, jika harta bisa dibawa mati. Tentu kalau kita menggunakannya di jalan kebaikan, selain itu juga bisa memperlancar rezeki. Kita tidak akan pernah merasa kekurangan hanya dengan bersedekah, yang ada rezeki akan semakin melimpah

"Ayolah, Mi. kamu mau, kan, temani saya? Saya beliin hijab deh satu lusin," ajak Dokter Karina lagi, di sertai sebuah penawaran yang sangat menggiurkan.

Sifat dasar wanita adalah jika mendenger kata gratis? tidak akan nada penolakan.Begitu pula denganku. Karenanya aku pun mengangguk dengan cepat. Rezeki memang tak boleh ditolak.

Alhamdulillah ... rezeki anak soleha.

****

Satu hari sebelumnya ….

"Dok, besok jadi ke Tanah Abang?” tanyaku di sela aktivitas membantu Dokter Karina, merapikan data pasiennya.

"Belanjanya sih jadi, Mi, tapi gak jadi ke Tanah Abang," jawab Dokter Karina terlihat sedih.

"Loh, kenapa?" tanyaku dengan penasaran.

"Gak di bolehin sama Arjuna," cebik Dokter Karina. "Katanya nyusahin diri sendiri aja, cuma buat beli kaos doang. Dan lagi, katanya dia gak rela liat saya dempet-dempetan di sana sama orang lain. Iya kalo yang mepetin saya ibu-ibu. Nah kalo yang mepetnya cowo? Mending dia ratakan aja tuh Tanah Abang. gitu katanya, Mi," Dokter Karina mengadu seperti bocah cengeng.

"Trus-trus?" Kepo-ku akhirnya.

"Ya ... mau gimana lagi? Daripada tuh Tanah Abang beneran diratain Arjuna dan bikin banyak orang kehilangan mata pencahariannya. Mending saya yang mengalah. Kan, kamu tau sendiri gimana Arjuna? Dia tuh kalau udah ngancem gak pernah main-main. Makanya ya ... manut wae," jelas Dokter Karina memberengut lucu, membuatku kembali tertawa.

Sudah tahu punya suami posesif parah, suka sekali membantah. Kalau sudah begini, bagaimana acara belanjanya nanti.

Dasar Dokter nakal!

"Trus? Kita jadinya belanja di mana nanti, Dok?" Aku kembali bertanya, setelah puas menertawakan Dokter Karina sampai dia kesal.

"Di mall," jawabnya setengah jengkel.

"Jam berapa nanti?" Aku mengacuhkan muka kesal si Dokter somplak.

"Uhm ... bentar deh," jawab Dokter Karina ragu. "Saya tanyain ke Alan dulu, ya?"

Eh?

"Loh, kok? Nanyanya sama si jal … eh, Pak Alan, sih? Apa hubungannya acara belanja kita sama tuh pengacara lempeng?"

"Ya ... soalnya yang mau nemenin kita belanja itu Alan, Mi. Arjuna gak bisa nemenin saya. Kamu tau, kan, dia masih di luar kota?"

Apa?

"Tapi … kan, Dokter Karina bisa pergi berdua aja sama saya? Ngapain pake di temenin segala, sih? Kaya anak kecil aja," protesku tak setuju dengan ide ini.

Apa bisa aku harus menghabiskan waktu yang cukup lama dengan pengacara itu? Meski ada Dokter Karina antara kita, tetap saja rasanya aneh.

"Mana diijinin kalau cuma berdua, Mi, Arjuna takut banyak yang modusin kalo gak di temenin cowok. Jadinya ya ... dari pada saya dikawal puluhan bodyguard cuma buat beli kaos, mending saya pilih di kawal Alan aja. Pinter, kan, saya?”

Pinter ndasmu! Kalau seharian di kawal si jalan tol … bisa-bisa naik tensi darahku.

Duh, emak ... kudu kumaha iye?