70 #070: Sisi Lain Endra

Sarah bersiap untuk mengatakan permintaan maafnya karena pergi terlalu lama, saat tiba-tiba Sarah dibuat kebingungan dengan pemandangan yang dilihatnya saat sudah tiba di kamar.

Di ranjangnya sana, Endra mencoba duduk dan sedang merengek pada ibunya meskipun wajahnya memerah dan napasnya masih tidak beraturan. "Ayo dong, Bu, Endra mau makan es krim. Beliin dong, Bu, beliin." Suaranya sengau, tapi tangannya menarik-narik lengan ibunya seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan.

Sarah bengong. Dia hampir kelepasan bersuara "Ha?" tapi berhasil ditahannya dan hanya memiringkan kepala dengan bingung. Dia tidak tahu kenapa Endra yang terkena demam justru bertingkah seperti itu. "A-ada apa ini, Bu?" tanya Sarah tidak tahan.

Bu Mirna langsung mengarahkan tatapannya mendengar suara menantunya, kemudian tersenyum lebar, meskipun di sisi lain lengan bajunya masih ditarik-tarik oleh Endra disertai rengekan yang terdengar berlebihan.

"Kamu akhirnya melihat sisi tidak terduga Endra ya," kata Bu Mirna ambigu, nada suaranya bercampur dengan senyuman tertahan.

"Ma-maksud Ibu?"

Bu Mirna tersenyum sebentar sebelum menjelaskan apa maksud ucapannya tadi. "Kamu tahu, Sarah, saat sedang sakit, Endra punya sisi lain yang tidak terduga seperti ini lho."

"Sa-saya sama sekali tidak mengerti."

"Seperti yang pernah Ibu bilang ke kamu, kalau Endra itu tipe orang yang lebih mementingkan orang lain dibanding dirinya sendiri. Tapi..." Suara Bu Mirna tiba-tiba disentakkan saat mengucapkan kata terakhir.

"Ta-tapi..." Entah kenapa Sarah jadi mengikutinya.

Bu Mirna tersenyum misterius. "Endra akan menjadi orang yang berbeda ... di saat sedang sakit."

Sarah masih tidak mengerti maksud ucapan mertuanya.

"Baiklah, akan Ibu katakan dengan jelas." Bu Mirna berdehem sekali dan menatap Sarah dengan serius. Membuat Sarah jadi bingung kenapa suasananya jadi seperti ini.

"Kamu sudah tahu Endra orang seperti apa kan?"

Patah-patah Sarah mengangguk.

"Nah karena itulah, sekarang Endra jadi seperti ini."

Sarah melongo. Benar-benar tidak mengerti apa yang dibicarakan ibu mertuanya.

"Sa-saya sama sekali masih belum mengerti." Sarah benar-benar dibuat kebingungan. Padahal Sarah yakin bahasa yang diucapkan ibu mertuanya merupakan bahasa yang sama seperti dirinya, tapi rasanya bahasa itu sama sekali tidak bisa dipahaminya.

Bu Mirna mengulas senyuman misterius. Tangannya menepuk-nepuk wajah Endra yang langsung dibalas Endra dengan merebahkan kepalanya ke paha ibunya dan menyunggingkan senyuman aneh. Benar-benar berbeda dengan Endra yang selama ini Sarah kenal.

"Kamu tahu, Sarah, kalau pada dasarnya manusia itu merupakan makhluk yang egois?" tanya Bu Mirna kemudian. Entah kenapa malah pembahasan seperti ini yang diucapkan mertuanya.

Sarah akhirnya mengangguk.

"Dan kamu tahu, ibu pernah dikasih tahu kalau sifat egois itu sudah ada dalam diri kita sejak kita masih balita. Ada namanya ... tapi Ibu lupa. Yang jelas sifat itu akan membuat tingkah laku balita jadi bertingkah semaunya. Misalnya, membuat balita itu ingin selalu diperhatikan, keinginannya harus dituruti dan lain sebagainya."

Sarah masih mencoba mencerna maksud perkataan ibu mertuanya yang semakin tidak bisa dimengertinya.

"Nah, seiring bertumbuhnya usia, sifat egois yang dimiliki balita itu juga mulai bisa ditekan dan akhirnya tergantung pribadinya masing-masing. Apakah ingin selalu bertindak egois ataupun sebaliknya. Jadi..."

"Jadi..."

"Karena selama ini sifat egois Endra selalu ditekannya kuat-kuat, berganti dengan sifat yang lebih mengutamakan orang lain, akhirnya pada saat seperti inilah sifat egoisnya kembali muncul."

Sarah melihat ke arah Endra lagi. Kali ini mata Endra separuh terbuka separuh terpejam, tapi racauan atau pun rengekannya masih terdengar tidak karuan. Dan Bu Mirna dengan sabar membiarkan anaknya bertindak seperti itu.

"Jadi maksud Ibu..." Sarah sepertinya mulai paham.

"Seperti yang kamu lihat." Bu Mirna tersenyum lagi. "Saat sedang sakit seperti ini, Endra akan berubah menjadi orang yang memiliki kepribadian seperti anak kecil. Karena sifat yang selalu dipertahankan Endra dalam mengutamakan orang lain, tidak ada yang mengontrolnya lagi, karena kondisi Endra sendiri tidak bisa dikendalikan. Jadi ... beginilah."

Sarah membuka mulutnya tidak percaya. Sungguh, apa yang ditemuinya kali ini benar-benar luar biasa aneh.

"Meskipun kamu bisa melihat Endra kadang membuka matanya dan merengek seperti ini, tapi sebenernya Endra sedang dalam kondisi tidak sadarkan diri."

"A-apa, Bu? Tidak sadarkan diri?"

"Bisa dibilang kalau Endra sedang bermimpi. Tingkahnya ini sama sekali tidak akan diingatnya saat Endra sembuh nanti." Bu Mirna memandang Sarah yang masih tampak terkejut menyadari sisi lain Endra yang mungkin sangat sulit diterima akal.

"Bagaimana? Apa kamu mau menemani Endra yang seperti ini?"

"Me-menemani ... bu-bukankah saya memang harus menjaganya sampai sembuh."

Bu Mirna tersenyum. "Karena Ibu sudah memberitahumu sisi lain Endra ini, jadi kamu pasti bisa menanganinya kan?"

"Ta-tapi ... dia akan kembali normal kan, Bu?" Sarah takut-takut menanyakannya, melihat Endra bertingkah kekanakan seperti itu.

"Tenang saja, kalau sakitnya sudah sembuh, Endra akan kembali ke jati dirinya, jadi ... jangan khawatir, untuk sementara ini ... kamu cuma harus menganggap Endra sebagai anak kecil saja."

"A-anak kecil yaa..." Sarah merasa was-was.

"Kalau begitu, Ibu pergi dulu ya. Telepon Ibu kapanpun kamu membutuhkan." Bu Mirna bersiap untuk pergi, tapi Endra langsung memegangi tangan ibunya. Dan berkata dengan nada merajuk. "Ibu mau kemana? Tetep di sini temani Endra ya. Jangan pergi."

Bu Mirna melepas tangan Endra yang memegangi tangannya, sambil berkata, "Tenang saja, Ibu nggak akan kemana-mana kok. Cuma sekarang, biarin istri kamu yang menemani ya?"

"Is-tri?" Wajah Endra yang memerah menahan demam tampak kebingungan.

"Ya, istri. Namanya Sarah. Kamu pasti ingat punya istri cantik yang berasal dari kota kan?"

Kepala Endra dimiringkan seolah sedang berpikir keras, kemudian. "Aha! Endra punya istri cantik dari kota. Asyiiiik!"

Bu Mirna tersenyum sembari mengelus rambut anaknya. "Jadi, biarin istri kamu yang gantiin jagain kamu ya?" Saat itulah Bu Mirna memanggil Sarah dan menyuruh Sarah menggantikan tempatnya.

Saat melihat wajah Sarah, ekspresi wajah Endra langsung berubah riang. Dia langsung memeluk pinggang Sarah dengan erat dan berkata, "Asyik, istri Endra yang bakal jagain Endra, Sarah memang istri yang baik. Endra sayang banget sama Sarah."

Sarah menegang saat Endra memeluk dan mengatakan semuanya dengan nada melengking seperti anak kecil. Bu Mirna hanya menanggapinya dengan senyuman. Kemudian setelah itu, membiarkan Sarah berdua saja dengan Endra.

Endra masih memeluk tubuh Sarah dan sedikit mengguncangnya, namun Sarah tetap membeku. Dia benar-benar dibuat kaget dengan perubahan Endra yang begitu drastis ini.

"Sarah, Endra laper. Kita beli eskrim yuuuuk," celoteh Endra kemudian.

Sarah bingung bagaimana cara menangani Endra yang seperti ini. Dia benar-benar merasa kikuk. Rasanya dia tidak mungkin bisa menuruti perubahan drastis Endra ini.

"Saraaaaah. Kok diem aja siiiih. Ayo dong, beli eskrimnyaaaaa. Ayoooooo..." Endra mengguncang tubuh Sarah dengan sedikit tidak sabaran. Membuat Sarah merasa tertekan. Dan tanpa sadar dia jadi mendorong Endra dan melepas pelukan Endra di pinggangnya.

Endra terjengkang ke belakang dan langsung menyembunyikan wajahnya di samping bantal. "Sarah jahat. Sarah bukan istri yang baik. Endra mau Ibu aja yang di sini."

Sarah tertegun. Dia memang merasa bersalah karena mengejutkan Endra sampai mendorongnya seperti tadi. Bahkan saat tubuh Endra memeluknya, Sarah bisa merasakan suhu tubuh Endra yang masih panas. Ah, tapi rasanya ini sangat sulit dipercaya. Endra yang biasanya menuruti semua permintaan Sarah tanpa pernah membantah, kini berpindah posisi jadi seorang anak yang semua permintaannya harus dituruti?

avataravatar
Next chapter