webnovel

Bukan Istri Tapi Estri

Karena impian bodoh Endra, dia harus terjebak dengan perempuan sadis yang bernama Sarah dengan menjadi seorang suami. Sialnya, perempuan sadis yang awalnya Endra anggap seperti malaikat justru berubah menjadi iblis yang meneror hari-hari indahnya menjadi semakin suram. Bagaimana Endra akan menghadapi Sarah? Dan mampukah Endra melepaskan diri dari cengkeraman kesadisan Sarah yang selalu berperan sebagai istri yang baik di depan ibunya sendiri?

AdDinaKhalim · Urban
Not enough ratings
247 Chs

#066: Ucapan yang Tak Sepantasnya

"Apa ada mobil yang lewat sini?" tanya Sarah saat keduanya sudah sampai di pinggir jalan utama. Tempat di mana motor Endra terparkir.

"Mobil pengangkut teh yang biasanya sering lewat," jawab Endra susah payah, demi menjaga giginya tidak menimbulkan bunyi gemeratuk akibat menahan dingin.

"Kalau gitu, kamu bisa nunggu di gubuk itu dulu sampai ada mobil yang lewat?" pinta Sarah, kemudian menuntun Endra untuk duduk di dalam gubuk bambu.

"Tapi buat apa?" Setelah berhasil duduk, Endra tak kuasa menahan diri untuk tidak bertanya pada Sarah.

"Kondisi tubuh kamu udah nggak memungkinkan lagi buat mengendarai motor, kamu menggigil parah, dan aku nggak bisa naik motor buat ngeboncengin kamu. Jadi, kita tunggu ada mobil yang lewat untuk minta tolong anterin kita ke rumah. Kamu harus cepet-cepet dibungkus selimut yang tebel. Aku takut kamu kena hipotermia." Sarah lancar sekali menjelaskan kata demi katanya, meskipun raut wajahnya terlihat begitu cemas. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu lagi nggak enak badan sih?" kali ini suara Sarah terdengar tajam meskipun Endra masih bisa menangkap nada kekhawatiran dalam suara Sarah itu.

Mendengar penjelasan Sarah yang mengkhawatirkan kondisi tubuhnya, secara sadar membuat Endra ikut menyadari kekhawatiran yang ditampakkan Sarah. Ya, hawa dingin di sekitarnya memang semakin menusuk kulitnya hingga rasanya sudah sampai ke sum-sum tulangnya. Endra merasakan tubuhnya menggigil, dan terus menahan giginya untuk tidak bergemeratuk menahan dingin.

Endra duduk meringkuk di dalam gubuk. Sementara Sarah berdiri dengan gelisah sembari melongokkan wajahnya menunggu ada mobil yang lewat. Seharusnya tidak seperti ini. Endra lahir dan hidup di daerah berudara sejuk ini. Tapi kenapa justru dirinya seperti wisatawan yang baru pertama kali singgah di daerah pegunungan?

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya ada mobil pikap yang lewat. Sarah melambai-lambaikan tangan saat mobil masih agak jauh dari tempat Sarah berdiri. Setelah Sarah menjelaskan situasinya, dan sang sopir melihat keberadaan Endra, buru-buru Endra dituntun menaiki mobil kemudian langsung diantarkan ke rumah keluarga Endra. Sopir pikap itu jelas mengenal siapa Endra dan keluarganya.

***

Endra sudah dibaringkan di atas tempat tidur dan Sarah membungkusnya dengan selimut dan kain yang didapatkannya dari dalam lemari. Ketakutan terpancar jelas di wajah Sarah melihat betapa menggigilnya tubuh Endra sekarang.

Untungnya sopir pikap tadi mengenal Endra dan keluarganya. Dan sedang memanggil ayah Endra yang kemungkinan ada di gudang belakang. Sarah sempat diberitahu untuk tetap membiarkan tubuh Endra terbungkus selimut. Lebih banyak lebih bagus. Jadi Sarah pun menggeledah lemari pakaian Endra dan mencari kain lebar yang bisa dijadikan selimut selain selimut tidur yang biasa dipakainya. Karena satu lapis saja sama sekali belum cukup. Wajah dan bibir Endra bahkan sudah semakin memucat, meskipun Endra masih bisa mengendalikan kesadarannya dan mengatakan pada Sarah kalau dirinya baik-baik saja, meskipun dengan suara bergetar parah.

"Apanya yang baik-baik saja, hah?!" Sarah kehilangan kendali sampai harus berkata dengan nada yang cukup tinggi. Kekhawatiran di hatinya sudah membuat emosinya campur aduk.

Sarah lantas mengarahkan tatapannya ke sekeliling kamar, mencari-cari keberadaan ponsel. Bermaksud menghubungi ibu mertuanya. Saat matanya menangkap benda elektronik itu tergeletak di atas meja, buru-buru Sarah meraihnya.

Ini ponsel Endra. Tapi tidak masalah, Sarah mulai mencari nomor hape ibu mertuanya dan langsung menekan icon telepon untuk memanggil. Lantas memberitahukannya dengan kilat saat ibu mertuanya menjawab dengan sapaan. "Iya, Ndra?"

"Endra sakit, Bu. Sekarang ada di kamar. Tolong Ibu ke sini sekarang juga yah," pinta Sarah dengan nada cemasnya yang pasti tertangkap jelas di telinga ibu mertuanya sana.

Sarah tidak mendengar pertanyaan apapun yang diajukan ibu mertuanya. Hanya mengatakan, "Ibu akan segera pulang sekarang." Dan panggilan itu pun berakhir.

Kini, Sarah benar-benar dibuat ketakutan. Tubuh Endra menggigil semakin parah dibalik tumpukan kain yang sudah diletakkan mengelilingi tubuh Endra, dan hanya menyisakan kepala Endra yang dibiarkannya terbuka.

"Aku mau bikin teh panas dulu buat kamu. Kamu tetep di sini aja jangan kemana-mana yah," kata Sarah akhirnya. Kecemasan masih belum hilang dari wajah dan tindakannya yang tidak beraturan.

Meskipun Sarah yakin, Endra tidak akan sanggup kemana-mana. Apalagi sekarang Endra sudah tidak bisa menatap wajah Sarah lagi. Kelopak mata Endra sudah mulai terpejam, tapi bibirnya masih gemetaran. Jadi Sarah bisa menduga kalau Endra sedang berusaha keras menahan hawa dingin yang masih bercokol di tubuhnya. Lantas setelah mengatakan apa yang mau dilakukan, Sarah pun meninggalkan Endra di kamar sendirian. Dan melesat pergi menuju dapur.

Sarah benar-benar merasa cemas melihat kondisi Endra yang seperti itu. Dia takut Endra terkena hipotermia, dan takut kalau-kalau Endra sampai tidak bisa diselamatkan. Sungguh, jika sampai sesuatu yang buruk terjadi pada Endra, satu-satunya orang yang pantas disalahkan hanyalah Sarah seorang.

Bahkan selama beberapa jam lamanya Endra sampai tidak mengatakan apa-apa meskipun sebenarnya sedang tidak enak badan. Dan Sarah juga sangat bodoh karena tidak menyadari tanda-tanda kedinginan atau tidak enak badan di wajah Endra.

"Bodoh. Dasar laki-laki bodoh!" rutuk Sarah di sela-sela dirinya membuat teh panas. Air mata kekhawatiran itu mulai muncul dan membasahi pipinya. Saat teh panas sudah siap, tangan Sarah justru gemetar, karena ketakutan semakin merasukinya pikirannya.

Dia berusaha menenangkan diri, dan mengatakan pada dirinya sendiri kalau Endra akan baik-baik saja. Setelah itu, barulah Sarah akhirnya bisa membawa teh panas itu ke kamar Endra.

Begitu sampai di kamar, Sarah melihat sudah ada ayah mertuanya yang duduk di samping Endra sembari membetulkan beberapa selimut yang tampak menggunung di tubuh Endra.

Saat menyadari Sarah masuk, Pak Yadi --ayah mertua Sarah-- melihat Sarah dan berkata, "Jangan khawatir. Suhu tubuh Endra akan kembali normal dalam beberapa jam lagi."

Sarah membuang napas lega. Dan dia percaya apa yang dibilang ayah mertuanya itu, karena melihat raut wajah ayah mertuanya yang sama sekali tidak menunjukkan kekhawatiran berlebihan. Ekspresi wajah ayah mertuanya masih dalam batas tenang. Jadi pasti Endra akan baik-baik saja.

"Kamu bawa teh panas ya?" tanya ayah mertua Endra saat Sarah mendekat. "Kalau begitu, Ayah akan membantu Endra duduk agar dia bisa minum."

Sarah langsung beringsut mendekati Endra. Dan bisa melihat arah mata Endra yang tertuju ke bawah. Tidak terpejam tapi juga tidak menatapnya. Ayah mertuanya mulai membantu Endra untuk bisa duduk dan mendekatkan gelas yang berisi teh panas ke mulut Endra.

"Pelan-pelan saja," kata Pak Yadi sambil menahan tubuh Endra agar bisa duduk tegak.

Setelah minum beberapa teguk, Endra pun dibiarkan lagi untuk berbaring. Pak Yadi sempat memeriksa suhu tubuh Endra dan raut wajahnya pun tidak menunjukkan kecemasan seperti yang ditunjukan Sarah. Sehingga Sarah mengartikan kalau kondisi Endra tidaklah memburuk.

Sarah tidak bisa melakukan apapun dan hanya berdiri di sisi ranjang. Sementara ayah mertuanya duduk di samping Endra dengan menepuk-nepuk tubuh Endra yang terbungkus selimut. Ekspresi wajahnya begitu tenang, seolah apa yang sedang menjadi kekhawatiran Sarah ini bukanlah masalah besar bagi ayah Endra.

"Endra akan baik-baik saja, kamu tidak perlu khawatir. Dia tidak akan terkena hipotermia. Karena kamu sudah memberikan penangan yang tepat. Terima kasih."

Sarah tersentak mendengar ucapan yang tidak sepantasnya itu. Berterima kasih di saat dirinya yang paling bersalah? Tidak. Sarah tentu tidak bisa menerimanya. Tapi entah kenapa tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya meski sekadar untuk menyangkal ucapan terima kasih itu. Karena baginya, mendengar Endra akan baik-baik saja, itu sudah cukup membuat perasaannya jauh lebih lega, dan itulah yang paling penting.

Kira2 apa yang terjadi sama Endra yah? Duhh kasian juga sama mas endra nih.

- AdDina Khalim

AdDinaKhalimcreators' thoughts