65 #065: Kedinginan

"Udara di sini benar-benar menyegarkan ya," komentar Sarah saat dia baru saja turun dari motor dan melihat hamparan tanaman hijau yang tersaji luas sejauh mata memandang.

Endra memarkirkan motornya agak menjorok ke bahu jalan. Di mana di sampingnya ada gubuk kecil yang biasanya dipakai untuk berteduh oleh para penduduk sekitar. Dan Endra memarkirkan motornya tak jauh dari gubuk itu.

"Yap, kalau dibandingin sama di kota, jelas di sini sangat menyegarkan," sahut Endra menanggapi ucapan Sarah. Setelah memarkirkan motor, Endra langsung menghampiri Sarah yang berdiri di pinggir jalan sambil mengarahkan tatapannya ke deretan pepohonan teh di depannya.

Endra merasa luar biasa lega melihat ekspresi wajah Sarah yang sudah jauh berbeda dengan beberapa hari terakhir. Saat ini wajah Sarah terlihat jauh lebih 'hidup'.

"Ayo," ajak Endra kemudian untuk memulai perjalanannya di kebun teh yang akan berakhir di tempat ibunya berada.

Sarah tidak mengatakan apa-apa, hanya langsung mengangkat kakinya dan berjalan di samping Endra dengan mata masih terfokus pada sekitar. Mereka berdua mulai berjalan di jalur "tea walk" di sela-sela pohon teh yang rimbun. Sesekali jemari Sarah terulur untuk menyentuh pucuk-pucuk daun teh yang tingginya kurang lebih sekitar satu meter. Senyumnya sedikit merekah.

Endra tetap berjalan di sisi Sarah dan membiarkan Sarah menikmati pemandangan sekitar. Meskipun tak bisa dipungkiri, sebenarnya sejak menaiki motor, Endra sudah merasakan hawa tidak enak dari dalam tubuhnya. Kesejukan yang sejak tadi menusuk-nusuk kulitnya mulai membuat tubuh Endra menggigil. Meskipun dia sudah melapisinya dengan jaket yang lumayan tebal. Tapi hawa dingin itu tetap saja merasuki dan menembus penghalang pakaian yang dikenakan Endra. Sampai Endra harus menggunakan kedua tangannya yang dia lipat dan menggosokkannya ke arah berlawanan pada lengannya hanya agar hawa dingin itu teredam. Sepertinya dia agak kurang enak badan. Mengingat semalam, Endra hampir tidak bisa tidur demi bisa menjaga Sarah yang diguncang mimpi buruk bertubi-tubi. Dan paginya, Endra ingat sekali harus melarikan diri ke puncak bukit dan berteriak keras-keras di sana.

Padahal saat itu Endra masih belum menyadari kondisi tubuhnya. Karena hanya terfokus pada perasaan sesaknya yang terus membebani. Kini, setelah perasaan sesak itu digantikan oleh perasaan lega, Endra baru menyadari sepenuhnya kalau kondisi badannya benar-benar sangat buruk.

"Apa..." suara pelan Sarah tiba-tiba memecah keheningan. "Apa ... ibu kamu nggak keberatan kalau aku tiba-tiba ke sini?" tanya Sarah di sela-sela perjalanan mereka yang masih menyusuri pepohonan teh.

Endra mengernyit heran. "Kamu ini bicara apa? Kenapa juga Ibu mesti keberatan?"

"Soalnya tadi pagi..." Suara Sarah dibiarkannya menggantung karena sekelebat perasaan bersalah tiba-tiba menyerangnya.

Endra yang menyadari itu bergegas mencari kalimat yang akan bisa mengusir perasaan bersalah Sarah. "Ibu cuma khawatir sama kita berdua aja kok. Justru dengan kita ke tempat Ibu sekarang, pasti kekhawatiran Ibu akan langsung hilang."

Sarah diam saja. Dia merasa terlalu malu sudah bertindak egois tanpa memikirkan orang-orang di sekitarnya. Dan dengan peringatan dari mertuanya itu, seharusnya Sarah tahu diri dan pergi dari tempat ini secepatnya. Tapi yang Sarah lakukan justru sebaliknya.

"Atau kalau kamu masih belum siap, kita bisa kembali saja ke rumah," putus Endra, demi melihat raut wajah Sarah yang berubah muram.

"Aku cuma bingung dengan apa yang harus aku bilang sama Ibu kamu," gumam Sarah lirih. Langkah kakinya tiba-tiba terhenti, sehingga Endra harus menengok ke belakang saat melihat Sarah tertinggal satu meter dibelakangnya.

"Ibu kamu udah tahu hubungan kita yang sebenarnya kan, jadi aku nggak bisa berpura-pura bersikap manis lagi."

Endra mendekat pada Sarah. "Hei," katanya. "Kenapa kamu jadi pesimis gini. Ibu sama sekali nggak mempermasalahkan soal itu. Kamu tahu kan, Ibu bangga banget punya menantu kayak kamu. Dan itu sama sekali bukan kepura-puraan."

"Bukan begitu maksudku," elak Sarah, merasa ragu. "Ibu kamu emang nggak pura-pura, justru aku yang selama ini berpura-pura. Aku juga nggak tahu sejauh mana kamu menceritakan hal buruk tentangku sama ibu kamu itu."

Mendengar kata-kata Sarah yang benar-benar di luar dugaan, Endra berusaha menahan senyuman lebar agar tidak mengecilkan hati Sarah. "Kenapa kamu malah mikir gitu?"

Sarah mengubah arah tubuhnya dan mendekat pada pohon-pohon teh yang ada di sekitarnya. "Kamu sering menjelek-jelekkanku saat bersama Asti kan?" tanya Sarah dengan arah tatapan hanya tertuju pada daun-daun teh semata, menolak untuk menatap wajah Endra.

Endra tidak bisa menyembunyikan kekagetannya mendengar ucapan Sarah itu. Kalau Endra menuruti egonya dan mengatakan, "Gimana kamu bisa tahu?" Mungkin saja Sarah akan semakin merasa berkecil hati. Jadi Endra memutuskan untuk bungkam selama beberapa saat. Otaknya sedang mencari topik pembicaraan yang lebih bagus lagi, saat tiba-tiba saja hidung Endra terasa gatal dan dia bersin dengan begitu kerasnya.

Mendengar suara bersin itu, Sarah langsung menengok ke arah Endra dan melihat satu tangan laki-laki itu sedang menggosok-gosok hidung, sementara tangan lainnya sedang memeluk dirinya sendiri.

"Kamu kedinginan?" tanya Sarah kaget menyadari tubuh Endra sudah menggigil.

"Sedikit," jawab Endra berbohong. Karena sejujurnya Endra sangat kedinginan. Kepalanya bahkan terasa pusing dan hidungnya sekarang mengeluarkan ingus. Tapi Endra tidak mau kondisi tubuhnya menghalangi Sarah untuk melakukan hal baru. Dan kembali ke kamar jelas akan memupuskan perubahan Sarah yang sudah membuat perasaan Endra terasa ringan.

"Wajah kamu pucat banget," kata Sarah dengan tatapan yang terarah sepenuhnya ke wajah Endra. "Kamu sakit?" Intonasi suara Sarah berubah cemas.

Endra buru-buru menggeleng. "Enggak kok, cuma emang agak kedinginan aja."

Ekspresi wajah Sarah terlihat ragu. Dia masih menatap Endra, tapi tubuhnya menunjukkan keragu-raguan yang membuat Endra jadi merasa tidak enak hati.

"Kalau gitu, ayo kita lanjutin jalan lagi." Yang berkata adalah Endra. Dia berusaha menghalau keraguan Sarah barangkali kondisi tubuh Endra yang menyebabkan Sarah jadi seperti itu.

Endra pun mulai melangkah lagi.

"Tunggu." Sarah mencegahnya dan tiba-tiba sudah ada di samping Endra. Satu tangannya terarah ke dahi Endra, seolah sedang memeriksa suhu tubuh Endra.

Raut wajah Sarah seketika saja berubah semakin cemas. "Badan kamu dingin banget." Sorot mata Sarah bergerak-gerak gelisah. "Kamu bawa hape nggak?"

Endra menggeleng. Sarah juga tidak bawa ponsel. Diam-diam Sarah menyesali keadaannya yang mengisoli diri dari dunia dan seisinya. Entah keberadaan ponselnya sekarang ada di mana, Sarah bahkan sudah tak ingat lagi. "Kalau gitu, ayo kita pulang," ajak Sarah kemudian.

Endra bermaksud memprotes ajakan Sarah, tapi belum sempat membuka mulut, Sarah sudah meraih tangan Endra kemudian diajaknya berbalik menuju arah saat sebelumnya mereka datang.

Langkah kaki Sarah seolah menyeret Endra untuk mengikutinya. Dan Endra memang mengikutinya. Diam-diam Endra merasa bahagia dengan kekhawatiran yang ditunjukkan Sarah ini, meskipun di sisi lainnya Endra merasa tersiksa dengan rasa dingin yang semakin membungkus badannya dan membuat seluruh tulang di tubuhnya terasa ngilu tak terkira.

avataravatar
Next chapter