41 #041: Kemenangan Asti

Asti membelalakkan matanya tak percaya. "Gila! Jadi ceritanya lo nekat ngajak perang Bu Sarah demi bisa merjuangin cinta lo itu?!"

Endra mengangguk-angguk membenarkan.

"Tunggu sebentar." Asti tiba-tiba bangkit dari kursinya dan mencari sesuatu di dalam tasnya yang dia letakkan di atas meja.

Ternyata Asti mengambil hapenya. Endra tentu saja dibuatnya bingung karena Asti malah terlihat sibuk dengan hapenya sendiri.

"Berarti gue yang menang dong," kata Asti akhirnya sembari mengarahkan layar hapenya di depan Endra.

Endra melihat apa yang sedang coba ditunjukkan Asti. Dan rupanya itu adalah rekaman soal dia yang mengatakan tidak akan pernah jatuh cinta pada Sarah.

"Gue berhak dapet hadiah dari lo!" tuntut Asti dengan senyuman penuh kemenangan.

Endra yang melihatnya hanya tersenyum saja. "Oke, gue nggak keberatan ngasih lo hadiah. Lo tinggal bilang aja hadiahnya apaan."

Asti menggosok-gosokkan kedua tangannya dengan senyuman penuh misteri.

"Awas aja kalo lo mintanya nggak masuk akal. Jangan-jangan gue disuruh beliin lo rumah lagi, atau kalau enggak mobil. Gila aja lo, gue nggak mampu!" Endra sudah berpikiran yang tidak-tidak.

"Hahaha..." Asti tergelak. "Orang tua lo di kampung kan juragan teh. Timbang beli rumah sama mobil doang mah kecil kali."

"Itu milik orang tua gue, As, bukan milik gue. Lagian gue kerja sama Sarah aja nggak digaji kok."

"Hah? Serius lo nggak digaji?" Asti terbelalak tidak percaya. Selama ini Asti memang tidak pernah tahu bagaimana sistem keuangan Endra.

"Nggak. Tapi Sarah ngasih gue ATM buat keperluan ini-itunya Sarah. Sebenernya sih gue disuruh ikutan pake, walaupun setiap pengeluarannya harus dilaporin Sarah, cuman gue males. Gue punya cukup tabungan hasil gue ngebantuin nyokap sejak lulus kuliah kok."

"Waaah, nggak nyangka gue." Asti dibuat takjub. "Eh, cerita lo belum selesai kan?" Ketakjubannya itu hanya bertahan sekejap, lantas berganti dengan pertanyaan lain. "Gimana kelanjutan cerita lo soal lo nyertain Bu Diyah segala. Kayaknya gara-gara weekend kemarin lo jadi deket sama Bu Diyah yah."

Endra sedikit memundurkan kepalanya sembari mengernyit heran. "Emang gue belum cerita soal weekend kemarin ya?"

"Kalau cerita weekend itu entar aja, gue lebih penasaran sama cerita lo yang sampe nyertain Bu Diyah biar Bu Sarah bersedia nerima lo." Asti terlihat menggebu-gebu.

Endra pun menuruti permintaan Asti. Dia menceritakan semuanya secara lengkap. Bahkan omelan Bu Diyah sampai membuat Sarah tak berkutik hingga akhirnya menangis.

Endra memang sudah menganggap Asti bukan hanya rekan kerjanya saja. Tapi sudah seperti orang yang bisa mengerti suka duka yang Endra rasakan. Makanya Endra tidak keberatan untuk berbagi curhatan kepada Asti.

"Jadi sekarang, posisi lo udah resmi jadi suami benerannya Bu Sarah?" tanya Asti saat cerita Endra sudah selesai.

"Sebenernya dari dulu juga udah jadi suami beneran sih, cuman tertindas aja, haha.." Endra tertawa lebar.

Asti geleng-geleng kepala melihat Endra menertawakan deritanya sendiri. "Ya udah kalau gitu, selamat ya. Moga aja pintu hati Bu Sarah bakalan kebuka buat lo."

"Amin. Makasih, As," balas Endra sepenuh hati.

"Eh iya, gue mau ngingetin nih, hari ini Bu Sarah ada janji temu di perusahaan JK, buat bahas soal kerjasama untuk memproduksi seragam kerja perusahaan itu, yang memakai produk fashion milik Bu Sarah," kata Asti memberitahu agenda Sarah hari ini.

Endra langsung mendengarkan dengan serius.

"Sebenernya Bu Sarah udah ngajuan kerja sama dari dua tahun yang lalu sih, tapi baru tahun ini perusahaan itu akhirnya bersedia untuk menyetujui pengajuan kerja samanya."

"Emang jam berapa janjiannya?" tanya Endra kemudian.

"Jam sepuluh. Perusahaan itu terkenal disiplin banget, sama juga sih kayak Bu Sarah. Tapi gue ingetin biar lo bisa dateng ke sana sebelum jam sepuluh. Ini proyek yang besar. Perusahaan itu punya belasan ribu karyawan. Kalau sampai gol, SR Fashion bakal dapet keuntungan besar dari kerja sama yang terjalin ini."

Endra menggaguk paham. "Oke, gue bakal inget baik-baik pesen lo ini." Endra mulai bangkit dari kursi. "Ya udah ya, gue mau jemput Sarah dulu sekarang."

***

Bukan hanya Asti yang memperingatkannya tentang pertemuan pentingnya hari ini, tapi juga Sarah. Bahkan sejak tiba di kantor, Sarah sudah bersiap untuk menuju ke perusahaan itu.

"Lo udah siapin semua yang gue butuhkan kan?" tanya Sarah memastikan hal yang perlu dibawanya pada Endra.

"Sudah kok, aku udah masukin juga ke dalam mobil."

"Ya udah, kita berangkat aja sekarang. Gue takut kejebak macet dan nggak bisa dateng tepat waktu," kata Sarah setelah sempat mengerjakan sesuatu di ruang kerjanya dan kali ini mulai beranjak meninggalkan area kerjanya.

Endra tak menolak. Dia menyetir seperti biasa, dengan Sarah duduk di sampingnya. Entah kenapa, Endra merasakan adanya keanehan yang terjadi pada diri Sarah.

Saat kemarin Endra mengatakan pada Sarah soal dirinya yang akan menjadi pelindungnya, Sarah tidak mengatakan apa-apa lagi. Hanya melemparkan pandangan ke luar jendela. Bahkan sampai keduanya tiba di rumah pun, Sarah tidak tetap diam saja.

Tentu saja Endra merasa senang karena nada suara Sarah juga tidak sedingin biasanya. Meskipun sikapnya tidak serta merta menjadi lembut, tapi setidaknya Sarah tidak perlu berkata ketus sampai matanya yang harus melotot tajam saat menatapnya.

Saat dalam perjalanan menuju perusahaan pun, Sarah juga tidak mengatakan apa-apa. Fokusnya tertuju pada ipad entah sedang mencorat-coret apa. Endra hanya sesekali melirik saja, dan tidak berniat mengganggu kegiatan Sarah.

Akhirnya, perjalanan yang masih dalam satu kota pun berakhir. Endra membawa masuk mobil yang dikendarainya menuju basement. Semuanya terjadi secara normal, Endra juga sering mengantar Sarah seperti ini. Dan seharusnya, semuanya juga berjalan sama normalnya dengan hari-hari lainnya.

Tapi saat langkah keduanya turun dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk, Sarah yang berjalan di depan Endra tiba-tiba saja berhenti mendadak. Endra hampir saja akan menubruk Sarah kalau responnya telat sekian detik. Tapi untungnya Endra berhasil menghentikan langkah sebelum tubuhnya menubruk Sarah.

Sarah berbalik cepat, yang langsung membuatnya jadi berhadapan dengan Endra. Tentu saja Endra tidak mengerti dengan apa yang dilakukan Sarah, tapi jarak keduanya kini begitu dekat. Seharusnya Sarah akan langsung mendorongnya ke belakang, tapi Sarah justru tidak melakukan itu.

Raut wajahnya berubah pucat, tatapannya tidak jelas entah melihat kemana, dan ekspresinya itu benar-benar ...

"Ada apa?" tanya Endra akhirnya saat menyadari Sarah tiba-tiba bersikap aneh.

Sarah akhirnya menatap Endra, dan dari situ Endra bisa melihat ada genangan air yang sedang ditahan Sarah dari balik kelopak matanya. Wajah Sarah benar-benar tampak pucat dan terlihat begitu ketakutan.

Mengetahui itu, Endra langsung mengarahkan tatapannya ke arah yang tadinya sempat dilihat Sarah. Ada sekitar empat orang berpakaian kemeja lengkap berdasi yang sedang bercakap-cakap sembari menuju ke arah kendaraan mereka yang terparkir. Seharusnya tidak ada yang salah. Tapi kenapa sikap Sarah jadi aneh begini?

avataravatar
Next chapter