webnovel

Bukan Istri Tapi Estri

Karena impian bodoh Endra, dia harus terjebak dengan perempuan sadis yang bernama Sarah dengan menjadi seorang suami. Sialnya, perempuan sadis yang awalnya Endra anggap seperti malaikat justru berubah menjadi iblis yang meneror hari-hari indahnya menjadi semakin suram. Bagaimana Endra akan menghadapi Sarah? Dan mampukah Endra melepaskan diri dari cengkeraman kesadisan Sarah yang selalu berperan sebagai istri yang baik di depan ibunya sendiri?

AdDinaKhalim · Urban
Not enough ratings
247 Chs

#040: Pengakuan

"Sebelum ini, aku bahkan belum pernah jatuh cinta sama cewek manapun. Selama ini aku merasa ... nggak pernah tertarik dengan cewek-cewek yang sudah aku temui. Tapi ... saat akhirnya aku ketemu kamu, bahkan saat aku harus terjebak dalam pernikahan seperti ini, sejujurnya aku bersyukur. Aku merasa sangat lega karena bisa menikahi kamu, meskipun aku tau kamu akan memperlakukanku dengan sangat buruk." Endra tertawa di akhir kalimatnya. Lantas tatapannya kembali diarahkannya lagi pada Sarah.

Mendapati Endra menatapnya, Sarah langsung melemparkan pandangan ke luar jendela dan terlihat malas mendengarkan ucapan Endra yang sangat tidak masuk akal itu.

"Kamu tau, Sar, saat akhirnya aku cerita sama Ibu dan mengatakan kejadian yang sebenarnya, Ibu memang sangat terkejut. Tapi ... nggak lama setelah itu, ibu justru bilang ... kalau aku nggak boleh menyerah begitu saja. Ibu bilang, kalau selama ini aku selalu terlihat nggak pernah tertarik dengan perempuan manapun, tapi saat ibu melihatku bersama kamu, Ibu bisa menyadarinya kalau aku sudah sangat jatuh hati sama--."

"STOOOOOOP!" Sarah langsung memotong ucapan Endra dengan nada melengking. Tatapannya terhunus ke dalam bola mata Endra dengan sangat dingin. "Lo tuh maksudnya apa sih ngomong nggak jelas kayak gini ke gue. Asal lo tau aja yah, sampai kapan pun juga, gue tetep bakal nganggep lo itu sampah!"

"Nggak masalah kok." Endra tersenyum manis. "Alasan aku ngomong kayak gini cuma biar kamu tau aja. Kalau aku .. beda dengan laki-laki yang selama ini kamu benci. Aku memang masih belum tau alasan kamu bisa sampai membenci laki-laki. Tapi, aku ingin menegaskan satu hal sama kamu, kalau aku ... nggak akan pernah bikin kamu ketakutan lagi. Aku akan selalu melindungi kamu dari para laki-laki yang kamu benci itu. Jadi dengan alasan itu juga, aku ingin kamu nggak perlu khawatir lagi, karena aku akan selalu ada bersama kamu. Kamu akan selalu aman."

Sarah terpaku saat mendengar Endra mengatakan itu. Entah kenapa, ucapan Endra tadi justru membuatnya harus teringat pada masa lalu kelamnya dulu. Dan kalau saja saat itu dirinya juga bisa menjadi pelindung dari para lelaki jahat itu, mungkin seseorang itu masih bisa diselamatkan. Tapi nyatanya, dirinya malah lari ketakutan dan meninggalkan seseorang itu begitu saja. Yang lantas menjadikan ketakutan itu tidak pernah berhenti memenjarakannya. Bahkan meski tahun-tahun sudah terlewat dan hanya meninggalkan kenangan kelam, ketakutan itu terus saja meremas hatinya sampai hancur. Hingga yang tersisa dari dirinya sekarang adalah sosok dingin tak berperasaan saat sudah menyangkut laki-laki.

***

Kegiatan Endra pagi ini sudah dimulai seperti biasanya. Dia kembali berangkat ke kantor untuk mempersiapkan segala keperluan Sarah. Dan dari semua kegiatan yang paling Endra rindukan adalah bertemu Asti.

Dari kemarin, Endra masih belum melihat Asti. Jadi saat Endra sudah menyelesaikan tugasnya, dia buru-buru menemui Asti di lantai dua.

"Ya ampun Asti ... gue kangen banget sama eloooooo," sapa Endra saat baru satu detik dia berada di lantai dua.

Asti yang tadinya sedang membersihkan meja kerjanya, langsung menengok ke asal suara.

"Gue yang harusnya ngomong gitu, dari kemaren gue nyariin lo tapi nggak nongol-nongol. Kemana aja sih lu!" semprot Asti yang langsung berkacak pinggang.

Beberapa pegawai yang melihat tingkah Asti dan Endra yang pagi-pagi sudah heboh nan lebay hanya bisa geleng-geleng kepala saja.

Endra tertawa lebar. "Haha, iya deh gue minta maaf. Resiko orang ganteng emang suka dicariin!"

Asti langsung mencubit lengan Endra kesal.

"Sakit tau!" protes Endra.

"Syukurin! Lagian elu tau-tau ngilang dari kantor segala." Asti bersungut-bersungut.

Endra tidak langsung menjawab. Dia malah duduk di kursi Asti dan bersandar dengan damainya.

"Ngapain lo duduk di kursi gue. Minggir nggak!" Asti tidak terima.

"Ya elah, bentaran doang juga. Lo tinggal duduk di kursi lain napa sih. Lagian gue punya cerita seru, lo pasti penasaran kan pengen tau cerita gue sampai akhirnya bisa bikin lo balik lagi."

Asti benar-benar merasa tertarik. Sejak kemarin dia memang sudah penasaran dengan apa yang sudah dikatakan Endra pada Sarah sampai membuat Asti diijinkan untuk bekerja lagi.

"Nah, gitu dong," Endra tergelak saat melihat Asti buru-buru menarik kursi untuk dijadikan alas duduk dan langsung memasang tampang penasaran tingkat dewa.

"Jadi ... sebenernya kemarin ..." Mengalirlah cerita yang terjadi antara Endra dan Sarah saat akhirnya dia mendapat kabar dari Asti soal pemecatan sepihak itu. Endra menceritakan semuanya bahkan pertengkaran yang dia lakukan sampai berujung pada keputusan untuk pulang kampung.

"Astaga, Ndra. Lo beneran ngelakuin semua itu demi gue? Ya ampun ... gue perlu cium kaki lo deh saking terharunya sama apa yang udah lo lakuin itu," komentar Asti takjub, saat cerita Endra sudah sampai pada dia memesan tiket kereta untuk pulang ke kampung halamannya.

Endra hanya tertawa. "Gue cuma ngasih tau kebenarannya aja kok. Kenyataannya emang lo nggak pantes diperlakukan begitu sama Sarah, jadi gue udah emosi banget dan berpikir buat pergi aja."

"Jadi ... pas gue telpon itu lo lagi ada di stasiun ya?" tanya Asti yang teringat dengan kejadian kemarin.

Endra mengangguk. "Dan kabar dari lo itu juga yang akhirnya bikin gue ngambil keputusan penting."

"Apa?" Asti semakin tidak sabar untuk mengetahui kelanjutan cerita Endra. Karena jika sesuai cerita barusan, harusnya Endra sudah berhenti, tapi kenyataannya sekarang Endra ada di sini lagi. Berarti ada cerita lain yang tidak boleh Asti lewatkan.

"Saat denger telepon lo itu, gue mikir lama. Lamaaa banget tentang apa yang seharusnya gue lakuin buat ngadepin sifat Sarah yang kelewatan itu. Jadi gue pun akhirnya menemui Bu Diyah untuk meminta saran."

Endra kembali menceritakan kejadian kemarin saat bersama Bu Diyah sampai akhirnya Endra datang ke kantor Sarah untuk merobek surat perjanjian itu.

Asti langsung menutup mulutnya tak percaya. "Gila lo! Bener-bener gila! Lo berani ngelakuin itu di depan Bu Sarah?" Asti tak bisa percaya.

"Gue nggak punya pilihan lagi, As. Gue pengen terlepas dari ancaman Sarah yang selalu menyertakan surat perjanjian itu biar gue nggak bisa berkutik."

"Nah terus gimana jawaban Bu Sarah, dia pasti marah banget kan? Duuh, gue nggak bisa bayangin deh gimana marahnya Bu Sarah sama lo."

Endra tertawa lepas. Asti jelas lebih tahu tentang karakter Sarah, jadi mendengar tingkah nekat Endra itu sudah pasti membuat Asti bereaksi demikian.

"Gue sertain aja Bu Diyah biar Sarah mau nerima gue jadi suaminya," kata Endra kalem.

Asti langsung dibuat melongo. "Sebentar," Asti merasa ada yang perlu diklarifikasi. "Jangan bilang lo udah jatuh cinta banget sama Bu Sarah, dan ngarep buat jadi suami benerannya Bu Sarah?"

Endra tersenyum simpul. "Ya ... begitulah."