35 #035: Sudah Sangat Keterlaluan

Endra mengembangkan senyuman cerahnya saat melihat wajah Sarah muncul di area kedatangan. Endra sempat melambai-lambaikan tangan barangkali Sarah tidak melihat keberadaannya. Yang rupanya langsung dibalas Sarah dengan ucapan, "Gue nggak buta, Bodoh!" kata Sarah begitu menghampiri Endra.

Endra tersenyum semakin cerah mendengar makian Sarah itu. Dirinya justru sudah sangat merindukan omelan Sarah yang biasanya akan membuatnya sakit hati. Namun kali ini, perasaannya sudah berbeda. Endra tidak akan merasa sakit hati lagi meski Sarah akan mengatai hal paling buruk sekalipun.

Endra terus melirik melalui spion tengah saat Sarah sudah duduk di jok belakang. Rasanya Endra benar-benar ingin berbicara dengan Sarah dan memberitahunya soal pertemuannya dengan Bu Diyah. Tapi saat Endra baru mulai berkata, "Saya sudah--"

Sarah justru langsung memotongnya dengan ucapan. "Gue capek! Lo nggak usah ngomong apapun. Gue mau tidur sekarang."

Endra pun memutuskan untuk tidak berbicara lagi. Dia bisa melihat Sarah mulai mengatur posisi kursi agar bisa digunakannya sebagai sandaran punggung untuk tidur. Endra pun tersenyum melihat itu. Dia bisa mengerti tentang rasa lelah yang dirasakan Sarah setelah melalui perjalanan yang panjang.

Kurang dari satu jam kemudian, begitu sampai di halaman rumah dan Endra selesai memarkirkan mobil, Sarah langsung berkata, "Gue mau langsung masuk kamar dan istirahat. Jadi jangan ganggu gue!"

Endra tidak keberatan. Toh sekarang juga hari sudah mulai gelap. Sudah waktunya untuk diam di rumah dan beristirahat. Endra akan menunggu sampai pagi hari saja. Dia juga belum menceritakan soal pertemuannya dengan Bu Diyah yang sangat penuh informasi pada Asti. Rencananya Endra baru akan menceritakan pada Asti saat esok pagi ada di kantor.

Namun tanpa Endra duga, tiba-tiba saja Sarah keluar dan mengendarai mobil saat jam menunjukkan pukul 19.15. Endra tidak tahu kemana tujuan Sarah. Meski Endra juga tidak menyangkal kalau di waktu tertentu Sarah memang sering kali pergi sendirian seperti ini. Setelah tahu Sarah mengelola panti asuhan, Endra jadi menduga kalau kepergian Sarah selama ini mungkin untuk berkunjung ke panti asuhan itu.

***

Endra sudah tidak sabar. Pagi-pagi sekali dia sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Menunaikan pekerjaan rutinnya setiap pagi. Dan dia juga sudah tidak sabar ingin segera bercerita pada Asti. Jadi, setelah semua pekerjaannya sudah selesai dilakukan, dan hanya tinggal menjemput Sarah, Endra langsung menemui Asti yang sejak tadi masih belum terlihat batang hidungnya.

Begitu sampai di lantai dua, Endra heran sendiri melihat meja Asti masih belum ditempati perempuan itu. Biasanya jam segini Asti sudah datang, dan dia bukan tipe orang yang suka terlambat seperti sekarang.

Apa jangan-jangan anaknya masih belum kunjung sembuh. Bahkan sampai harus dibawa ke rumah sakit. Menyadari itu, Endra jadi langsung meraih hapenya untuk menghubungi Asti.

"Hallo, As. Gimana keadaan anak lo?" tanya Endra dengan segera begitu teleponnya sudah terhubung dengan Asti.

Terdengar helaan napas berat dari Asti sebelum menjawab perkataan Endra, "Anak gue udah mendingan sejak kemarin kok. Dan sekarang dia malah udah aktif lagi kayak biasa."

Endra jadi bingung. Harusnya Asti malah lega, tapi entah kenapa Endra merasa nada suara Asti terdengar berat. Dan kalau anaknya sudah sembuh, kenapa Asti malah bolos segala? Perempuan itu bukan tipe orang yang mudah cuti bahkan meski dirinya sedang tidak enak badan sekalipun.

"Sekarang lo masih di rumah kan?" tebak Endra yang sempat mendengar suara anak kecil yang dia yakini adalah anak Asti.

"Iya, Ndra."

"Lo lagi ngambil cuti apa gimana?" tanya Endra masih tak habis pikir.

Asti terdiam cukup lama. Sampai Endra harus memastikan hapenya masih terhubung dengan Asti atau tidak. Dan rupanya panggilan itu masih terhubung.

"As, lo kenapa sih?" Endra merasa tidak sabar membiarkan Asti hanya diam saja di seberang sana.

"Gue ... udah bikin Bu Sarah marah besar, Ndra," kata Asti akhirnya dengan suara yang begitu pelan.

"Marah? Marah kenapa?" Endra jadi tak mengerti. Bukankah Sarah baru pulang dari luar negeri kemarin sore. Jadi kesalahan apa yang sudah Asti lakukan sampai membuat Sarah marah padanya. "Atau jangan-jangan ... gara-gara lo ngirim gue ke panti asuhan?" tebak Endra yang berhasil mengingat alasannya sendiri.

Asti tertawa kecil. "Padahal gue udah peringatin lo buat nggak ikut campur ke dalam permasalahan Bu Sarah yang disimpannya rapat-rapat. Gue emang bodoh, wajar aja Bu Sarah marah banget sama gue. Karena gue malah yang nyodorin lo buat masuk ke dalam sisi Bu Sarah yang nggak ingin orang lain tau. Bu Sarah udah percayain tugas itu ke gue. Tapi gue malah ... gue malah sia-siain kepercayaan Bu Sarah itu." Asti mengatakan kalimatnya dengan nada serak.

Dan Endra bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Dia tahu Asti memang melimpahkan tugas yang selama ini tidak diketahuinya dan membuatnya jadi mengenal Bu Diyah. Juga mengetahui sisi lain dari Sarah yang sama sekali tidak pernah diduganya. Tapi ...

"Gue ... dipecat, Ndra."

Seketika saja Endra seperti mendapat gelegar petir yang begitu memekakkan telinganya.

"Itu memang hukuman yang pas buat gue karna udah nyia-nyiain kepercayaan Bu Sarah, tapi..." suara Asti mulai bergetar. "...gue cuma ... nggak nyangka aja kalau hukumannya akan seberat ini. Gue udah terlalu cinta sama pekerjaan gue itu, Ndra. Gue merasa ... benar-benar bingung. Gue cuma nggak pernah nyangka kalau akhirnya gue harus keluar dari kantor itu."

Endra terkejut? Itu sudah jelas. Tapi bukan hanya membuatnya terkejut setengah mati saja, tapi Endra juga mulai merasakan emosinya meluap.

Ya, Endra sangat marah pada Sarah yang sudah seenaknya sendiri memecat Asti. Memang apa salahnya Asti melimpahkan tugas itu padanya? Toh, Asti juga melakukannya bukan tanpa sebab. Dia seorang Ibu yang mendapati anaknya sakit. Bagaimana mungkin Asti akan meninggalkan anaknya begitu saja demi tetap menjalankan tugas dari Sarah.

Endra sudah memutuskan sambungan teleponnya dengan Asti. Kali ini dia akan menemui Sarah dan mempertanyakan tindakan tidak manusiawinya itu. Dia sangat tahu bagaimana Asti selama ini. Asti yang selalu memprioritaskan pekerjaan dibanding apapun. Asti yang selalu berusaha memberikan segala yang terbaik untuk Sarah. Bahkan mengharapkan kebahagiaan Sarah lewat dirinya. Asti yang sudah menjadi tempat curhatnya tentang Sarah, namun tidak pernah sekalipun mengatakan hal yang buruk tentang Sarah, Asti yang--

Ah, bahkan jika Endra harus menyebutkan semua kebaikan Asti selama ini dan pengorbanannya untuk Sarah, rasanya dia takkan mampu karena saking banyaknya. Dan di atas semua itu, Asti yang hanya melakukan satu kesalahan --meski Endra meyakini kalau itu bukanlah kesalahan--, toh tidak lantas membuat tugasnya itu jadi kacau. Semuanya tetap berjalan dengan lancar. Hanya satu hal yang berbeda, Endra jadi tahu tentang sisi lain dari Sarah. Tapi ... apa hal itu pantas dijadikan alasan tak termaafkan sehingga Asti harus diperlakukan seperti sampah begitu?

Tidak! Kali ini Sarah benar-benar sudah sangat keterlaluan!

avataravatar
Next chapter