webnovel

Bukan Istri Tapi Estri

Karena impian bodoh Endra, dia harus terjebak dengan perempuan sadis yang bernama Sarah dengan menjadi seorang suami. Sialnya, perempuan sadis yang awalnya Endra anggap seperti malaikat justru berubah menjadi iblis yang meneror hari-hari indahnya menjadi semakin suram. Bagaimana Endra akan menghadapi Sarah? Dan mampukah Endra melepaskan diri dari cengkeraman kesadisan Sarah yang selalu berperan sebagai istri yang baik di depan ibunya sendiri?

AdDinaKhalim · Urban
Not enough ratings
247 Chs

#029: Kekosongan yang Mengisi Hati

Baru beberapa jam terlewat, sejak Endra menatap punggung Sarah menghilang di area check-in bandara, dan beberapa saat setelahnya, pesawat yang membawa Sarah juga ikut terbang meninggalkan negara ini.

Ada kekosongan yang mengisi hatinya saat Endra tak bisa melihat Sarah lagi. Begitu dirinya memutuskan keluar dari bandara, dan kembali ke kantor Sarah, Endra langsung masuk ke ruangan Sarah dan terdiam lama di depan meja Sarah.

Asti bilang, kalau dirinya rela menahan semua bentuk kesadisan Sarah karena dia sudah jatuh cinta pada perempuan sadis itu. Kesabaran hatinya yang begitu tak tertandingi saat Sarah memperlakukannya seperti tong sampah, adalah bentuk pengorbanannya karena dirinya ingin tetap berada di sisi Sarah. Saat Asti mengatakan semua itu, Endra merasa masih ada setitik keraguan di hatinya bahwa semua itu tidak mungkin terjadi. Tapi kini, saat akhirnya Endra terpisah jarak yang jauh dengan Sarah untuk pertama kalinya, dia merasa begitu ... hampa.

Segala yang ingin dilakukannya terasa tidak ada artinya. Bahkan untuk menghabiskan sisa waktu yang masih belum berakhir, Endra berusaha menyibukkan diri dengan membantu apa pun pekerjaan para pegawai, semata-mata agar bisa melupakan kekosongan hatinya yang terus saja membuatnya resah.

"Mas Endra lagi kenapa?" tanya Yanti pada Endra yang tengah memilah kertas yang masih bisa digunakan.

Beberapa saat lalu, tiba-tiba saja Endra datang dan menawarkan diri untuk membantu Yanti. Meskipun Yanti juga sedang tidak ada kerjaan, dan hanya membaca berkas yang diberikan oleh Asti yang diminta untuk dipelajarinya. Tapi Endra sedikit memaksa, barang kali masih ada berkas yang perlu diambil dari meja pegawai lain dan harus di fotocopy. Hingga akhirnya Endra melihat kardus yang berisi kertas yang sudah tidak digunakan, dan bermaksud memilahnya.

"Kok nanyanya gitu? Emang kelihatannya Mas Endra lagi kenapa?" Endra balas bertanya meski tatapannya tetap tertuju pada kertas putih yang sedang dipilahnya.

"Kayak ... lagi galau," jawab Yanti ragu.

Endra melirik Yanti dan berusaha untuk tertawa. "Galau kenapa? Ya, enggaklah, Yan."

Yanti akhirnya ikut tertawa melihat Endra langsung memasang wajah ceria. "Oya, katanya hari ini Mbak Sarah lagi pergi keluar negeri ya, Mas?" Tiba-tiba Yanti menanyakan perihal Sarah, sosok yang membuat kekosongan di hati Endra semakin terasa.

Endra mengangguk pelan. Ah, dia benar-benar ingin melihat wajah Sarah sekarang. Tidak apa-apa kalau Sarah akan mengomelinya sekalipun.

"Terus Mas Endra udah kangen pengen ketemu Mbak Sarah lagi ya?" tebak Yanti tepat sasaran.

Endra kembali mengangguk. "Eh?" Kemudian langsung tersadar dan langsung menatap Yanti dengan salah tingkah. "Kamu apaan sih, Yan. Mas Endra nggak galau dan nggak pengen ketemu Sarah juga. Orang dia lagi ada urusan kerjaan kok."

Yanti tidak bisa menyembunyikan kegeliannya melihat wajah Endra yang terlihat lucu saat salah tingkah. "Lah emang kenapa kalau iya? Mas Endra masih malu-malu aja nih walaupun udah nikah."

"Bukannya gitu, Yan." Endra berhasil merapikan kertas yang sekiranya masih bisa digunakan lagi. "Kertas yang ini nanti dipake lagi ya, Yan. Mas taruh di sebelah sini," kata Endra sembari menaruh setumpuk kertas yang sudah dipilahnya di samping kertas yang masih utuh.

Yanti mengangguk. Dia masih tertarik untuk menanyai laki-laki yang satu kampung dengannya ini, yang juga menjadi idola bagi banyak kaum hawa. Tapi semenjak memutuskan menikah, terlebih istrinya merupakan sosok yang sangat sempurna seperti Sarah, para gadis di kampung halamannya itu langsung mendesahkan kekecewaannya berkali-kali. Musnah sudah harapan untuk bisa menjadi istri Endra.

Tentu saja Yanti bukan termasuk ke dalam gadis-gadis itu, usianya selisih tujuh tahun dengan Endra. Dan lagi, sejak Yanti bekerja di kebun teh milik keluarga Endra, dia sudah cukup mengenal Endra yang merupakan orang yang sangat baik. Jikalau ada yang menanyakan perasaannya saat melihat Endra, mungkin Yanti berharap untuk menjadi adik perempuan Endra.

"Kalau Yanti boleh tau, kayaknya ... Mas Endra lagi ada masalah ya sama Mbak Sarah?" tanya Yanti dengan intonasi suara yang pelan dan terkesan hati-hati.

Setelah berhasil merapikan kertas tadi, Endra duduk di salah satu kursi tak jauh dari tempat Yanti duduk. Dan langsung menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Emang kelihatan kayak ada masalah ya?" Endra balas bertanya.

"Sebenernya Yanti juga nggak tau sih, karena sekarang Yanti juga jarang ketemu sama Mbak Sarah. Tapi ... ngelihat ekspresi Mas Endra beberapa hari terakhir ini, kayak yang kurang semangat gitu."

Endra tersenyum. Meskipun Yanti memang jarang ketemu Sarah, tapi setiap hari Endra selalu menghampiri area kerja Yanti dan selalu menyempatkan untuk mengobrol dengan Yanti. Jadi tidak heran kalau Yanti bisa menyadari ekpresi Endra yang memang akhir-akhir ini kurang bersemangat.

"Mas cuma lagi lagi kecapean aja, Yan," jawab Endra berusaha untuk tersenyum.

"Mas Endra ... masih perlu berjuang lagi ya?" gumam Yanti tanpa sadar. Sejak bekerja di kantor ini, Yanti merasa ada jarak yang begitu kentara antara Endra dengan Sarah meskipun keduanya sudah menikah. Tapi dia juga tidak bisa menyimpulkan apapun. Terlebih Yanti bisa merasakan kalau laki-laki yang berbicara dengannya sekarang begitu mendukung Sarah dalam segi apapun. Yanti menduga kalau Mas Endra ini pasti sangat mencintai Mbak Sarah.

"Maksud kamu?" Endra terlihat bingung saat telinganya menangkap gumaman Yanti barusan.

"Eh?" Yanti seolah baru tersadar, dan buru-buru mengembangkan senyuman canggung. "Sebenernya Yanti nggak bermaksud buat ikut campur, tapi ... seperti yang Yanti lihat, kayaknya perasaan Mbak Sarah ke Mas Endra, beda dengan perasaan Mas Endra ke Mbak Sarah ya."

Endra masih menatap Yanti meminta kejelasan lagi.

Yanti sebenarnya merasa ragu mengutarakan pendapatnya lebih dari ini, tapi demi melihat sorot mata Endra yang begitu serius dalam meminta kelanjutan ucapannya, akhirnya dia pun melanjutkan. "Yanti rasa ... Mas Endra masih perlu berjuang untuk benar-benar mendapatkan hatinya Mbak Sarah."

Akhirnya Endra mengerti maksud ucapan Yanti. Dia pun membuang napas panjangnya dengan desahan berat. Meskipun Yanti tidak tahu soal pernikahan Endra dan Sarah yang penuh rekayasa, dan Endra juga yakin para pegawai tidak akan ada yang berani membocorkan pada Yanti, tapi Endra cukup kaget mengetahui Yanti bisa menyimpulkannya hanya berdasarkan apa yang dilihatnya.

"Emang kelihatan kayak gitu ya, Yan?" tanya Endra dengan suara lesu.

Yanti mengangguk. "Bagi Yanti sendiri, Mbak Sarah itu kelihatan luar biasa banget. Udah orangnya baik, pas ngomong kalau lagi meeting juga kelihatan tegas. Bener-bener sosok perempuan yang luar biasa. Bisa mengelola bisnis fashionnya dengan sangat baik." Yanti mengatakan pujian itu dengan lancar disertai dengan sorot mata yang berbinar. Seolah semua ucapannya itu keluar dari lubuk hatinya. "Tapi ... di sisi lain, Mbak Sarah jadi nggak terlalu mikirin soal kehidupan percintaannya. Walaupun sekarang Mbak Sarah udah nikah sama Mas Endra, tapi ... kelihatannya bagi Mbak Sarah, pernikahan itu kayak bukan termasuk sesuatu yang penting." Sorot mata Yanti yang sempat berbinar tadi langsung meredup, seperti sedang menyayangkan sesuatu.

Endra menanggapinya dengan senyuman miris. Bahkan hanya dengan mengamati saja, ucapan Yanti benar-benar tepat sasaran. Jangankan menjadi sesuatu yang penting, Endra justru dibuat penasaran kenapa Sarah tertarik untuk menjadikannya suami -selain bisa memperlakukan Endra seenaknya-, karena menurut Endra, tidak ada satu pun yang bisa dijadikan alasan yang terlihat menguntungkan bagi Sarah yang memiliki phobia sekaligus membenci laki-laki.

Udah sampai bab 29 nih. Masih belum mau ngasih review dan komentarnya?

- AdDina Khalim

AdDinaKhalimcreators' thoughts