webnovel

Bukan Istri Tapi Estri

Karena impian bodoh Endra, dia harus terjebak dengan perempuan sadis yang bernama Sarah dengan menjadi seorang suami. Sialnya, perempuan sadis yang awalnya Endra anggap seperti malaikat justru berubah menjadi iblis yang meneror hari-hari indahnya menjadi semakin suram. Bagaimana Endra akan menghadapi Sarah? Dan mampukah Endra melepaskan diri dari cengkeraman kesadisan Sarah yang selalu berperan sebagai istri yang baik di depan ibunya sendiri?

AdDinaKhalim · Urban
Not enough ratings
247 Chs

#021: Salah Sangka?

"Hoi, As. Lo kalau kelewat positif thinking jangan kelewat banget kali. Semua yang lo bilang itu ngarangnya kebangetan tau!"

Asti berdecak pelan. "Terserah sih kalau lo nggak percaya. Lo juga kalau kelewat benci jangan kelewat banget kali, Ndra. Lo nggak tau tuh film-film jaman sekarang, awalnya benci lama-lama jadi cinta mati. Ntar kalau lo kayak gitu juga baru tahu rasa dah."

Endra langsung bergidik ngeri. "Dih, amit-amit dah. Sebego-begonya gue, gue masih punya otak kali. Mana mau gue jadi budaknya si sadis itu seumur hidup kalau sampai gue jatuh cinta sama dia."

Asti buru-buru menegakkan tubuhnya dan memasang senyuman jahil. "Ya udah coba ngomong lagi. Gue mau videoin, kalau entar-entar lo sampai jatuh cinta sama Bu Sarah, gue bakal minta hadiah ke lo." Asti mengambil hapenya yang tergeletak di samping keyboard lantas mengarahkannya pada Endra.

"Oke, siapa takut." Endra tidak keberatan dengan tantangan Asti itu. "Gue nggak akan jatuh cinta sama Estri!" tegasnya yakin.

"Sebutin namanya, Ndra."

"GUE NGGAK BAKAL JATUH CINTA SAMA SI SARAH SADIS ITU. PUAS LO!"

Asti tertawa senang. Dia langsung menyimpan video yang sudah direkamnya itu dan berharap suatu saat nanti akan berguna untuk mendapat hadiah dari Endra. "Oke, udah gue rekam. Awas aja lo, kalau sampai lo ngejar-ngejar Bu Sarah setengah mati. Gue tagih hadiahnya sampai ke ujung dunia sekalipun," kata Asti setengah mengancam.

"Terserah lo aja." Endra menjawabnya acuh tak acuh.

"Eh, tapi, Ndra. Lo beneran nggak mau nyoba dulu apa. Bikin Bu Sarah sampe jatuh cinta sama lo gitu. Lagian lo juga lumayan ganteng kok, yaa ... walaupun masih gantengan suami gue sih."

Endra berdecak kesal. "Iyalah. Kalau lo nikah sama sapi juga pasti lo bakal bilang gantengan sapi dari pada gue."

Bola mata Asti langsung membesar mendengar ucapan serampangan Endra barusan. "Heh, sialan lo, Ndra. Lo ngatain suami gue sapi."

"Bodo ah." Endra cuek saja. Dia memutuskan untuk bangun dari kursi, karena menganggap pembicaraannya dengan Asti sudah tidak berguna lagi.

"Pergi sana! Jauh-jauh dari gue!" semprot Asti seketika.

"Males banget gue lama-lama di sini juga," balas Endra tidak mau kalah.

***

Meski Endra terlihat tidak percaya dengan ucapan Asti, tapi entah kenapa Endra jadi memikirkannya. Benarkah cara pandangnya selama ini saja yang berbeda? Kalau sebenarnya ... Sarah tidak seburuk yang dipikirkannya?

Buktinya pada kasus Yanti. Endra jelas-jelas melihatnya sendiri karena memang dirinya terus saja bersama Sarah. Wajah lelah yang Sarah tunjukan saat harus bolak-balik mengunjungi rumah sakit, biaya yang dikeluarkan untuk membayar rawat inap ibunya Yanti, sampai pada penawaran serius Sarah untuk mempekerjakan Yanti, dan memastikan Yanti memiliki tempat tinggal selama berada di kota. Endra tahu Sarah sudah menjamin itu semua. Bahkan Sarah juga sempat memberikan sejumlah uang untuk biaya hidup Yanti selama di kota sebelum Yanti mendapatkan gaji. Semuanya Sarah lakukan tanpa ada tanda-tanda niat jahat tersembunyi seperti yang sudah terjadi padanya.

Kalau di pikir-pikir lagi, semua karyawan Sarah di kantor juga memang tidak ada yang berbicara buruk tentang Sarah. Mereka memang terlihat takut, atau mungkin segan (?) tapi saat Endra sudah mulai mencari Asti dan mengadu soal kelakuan sadis Sarah, mereka yang mendengar pembicaraan Endra itu hanya tersenyum penuh arti. Tidak pernah ada seorang pun yang ikut nimbrung untuk sama-sama menjelekkan Sarah. Bahkan terkadang mereka juga menatap Endra dengan tatapan tak habis pikir. Endra jadi merasa aneh sendiri.

"AWAS ADA MOTOR!" teriak Sarah tiba-tiba. Endra langsung membanting stir ke kanan saat melihat ada motor yang mau menyeberang dan Endra tetap tancap gas. Beruntung peringatan Sarah tadi tepat waktu, sebelum Endra sempat menyerempet motor itu.

Saat ini, Endra dan Sarah memang sedang dalam perjalanan pulang setelah pekerjaan di kantor sudah selesai dikerjakan dengan baik.

"LO APA-APAAN SIH NYETIR SAMBIL NGELAMUN GITU!" semprot Sarah langsung begitu Endra sudah berhasil mengendarai mobil dengan normal.

Astaga! Endra tidak sadar, kalau sedari tadi dia sudah banyak melamun. Gara-gara memikirkan ucapan Asti tentang Sarah. "Saya minta maaf," ucap Endra merasa bersalah.

"EMANG DENGAN LO MINTA MAAF, TERUS KALAU TADI KITA NABRAK MOTOR ITU, SEMUANYA BAKAL BERES?!" semprot Sarah emosi.

Endra diam saja. Kejadian tadi murni kesalahannya. Bahkan detak jantung Endra saja masih berdebar tak menentu, takut kalau-kalau pengendara motor tadi sempat tersenggol mobil yang dikendarainya.

Entah bagaimana Endra bisa sampai terhanyut dalam pikirannya sendiri yang masih menimbang-nimbang kebenaran dari ucapan Asti. Apa memang Sarah hanya berlaku buruk padanya saja? Tapi kenapa?

"Udah tau kejadian kayak tadi membahayakan nyawa orang. Lo masih tetep ngulangin lagi, heh? Masih ngelanjutin ngelamunnya?" omel Sarah yang melihat Endra diam saja.

"Enggak, Bu. Saya sudah nggak melamun lagi. Saya minta maaf," ucap Endra bersungguh-sungguh.

Sarah berdecak kesal. "Lo tuh yah, udah tau bodoh, masih aja doyan ngelamun."

Endra menghirup napas panjang dan membuangnya dengan berat. Dari pada hanya berkecamuk di dalam pikirannya, lebih baik Endra ungkapkan saja pada Sarah.

Endra tiba-tiba menepikan mobilnya dan menatap Sarah serius.

"Ngapain berhenti?!" komentar Sarah jutek. "Dan apaan maksud tatapan lo itu!"

Endra mengambil napas dalam-dalam sebelum membalas ucapan Sarah. "Ada yang mau saya tanyakan."

"Hah?" Sarah memberikan ekpresi terkejut yang dibuat-buat. "Sejak kapan gue ngijinin lo punya hak buat bertanya?"

"Tapi kalau saya tidak bertanya, saya jadi terus memikirkannya."

"Jadi otak lo juga bisa buat mikir?" Sarah tetap menanggapinya dengan ketus.

Endra masih mencoba sabar, meskipun ucapan Sarah benar-benar menguji emosinya. Jelas-jelas Sarah selalu memperlakukannya dengan buruk, disertai dengan ucapan yang tajam dan menusuk hati, tapi kenapa Asti tetap saja beranggapan lain?

"Kenapa?" Endra sudah memulai pertanyaannya untuk Sarah. "Kenapa Anda selalu memperlakukan saya seperti ini?" tanyanya dengan nada serius.

"Hah?"

"Asti bilang, kalau sebenarnya saya cuma salah sangka, kalau sebenarnya Anda tidak seburuk yang saya kira. Tapi kenyataannya, justru yang saya dapatkan selalu saja seperti ini. Tapi kenapa Bu Sarah terlihat sangat membenci saya. Kesalahan apa yang sudah saya lakukan pada Anda?"

Mendengar pengakuan dari Endra membuat Sarah langsung memberikan tawa ejekan. "Lo masih nanya kesalahan lo apaan?"

Endra menatap Sarah dengan tatapan tak mengerti. "Yang saya ingat, kesalahan saya adalah saya minta tolong pada Bu Sarah buat jadi pacar saya di depan Ibu saya. Tapi Bu Sarah juga menyetujuinya, meskipun dengan syarat yang sangat memberatkan saya. Tapi ... sampai kapan saya harus menerima semua perlakuan buruk dari Ibu? Sementara saya liat sendiri, kalau Anda bisa memperlakukan Yanti dengan sangat baik. Tapi kenapa pada saya tidak bisa?"

"Dasar bodoh!" ucap Sarah dengan tawa dingin. "Karena lo itu emang pantes dapet perlakuan buruk. Tapi kalau lo keberatan, lo tinggal bilang aja, dan semua kebohongan ini akan gue akhiri. Sesimpel itu kok!" balas Sarah dengan nada ketus.

Hmm...kira2 kenapa yah, Sarah selalu memperlakukan Endra dengan buruk. Oya, jangan lupa kasih review-nya ya.

- AdDina Khalim

AdDinaKhalimcreators' thoughts