16 #016: Wajah yang Menyiratkan Kesedihan

Sarah berdiri kikuk. Dia tidak menyangka kalau akan dipandangi seperti ini. Begitu sampai di tempat mertuanya berada, rupanya ibu-ibu yang lain sudah ikut berkumpul.

"Kamu mau nyamperin Ibu ya?" tanya Bu Mirna, mertuanya itu pada Sarah.

Sarah tersenyum. "Iya, Bu, mau lihat-lihat pemandangan di sekitar sini."

"Waaah ... bagus dong. Tadinya Ibu juga mau ngajak kamu jalan-jalan, tapi takut ganggu. Ya kan ibu-ibu?" Bu Mirna tertawa tidak jelas bersama ibu-ibu yang lain. "Takut gangguin kamu bikin cucu buat Ibu," lanjutnya lagi masih tertawa tidak jelas.

Sarah tersenyum janggal. Sementara ibu-ibu yang lain masih saja asyik tertawa sambil memandanginya. Untungnya bertepatan dengan itu, Endra akhirnya tiba setelah sebelumnya tertinggal jauh di belakang Sarah.

"Ya udah, Bu, saya mau lanjut jalan-jalan dulu sama Endra ya," kata Sarah kemudian sembari menggamit lengan Endra. Tentu saja Endra dibuatnya kaget. Dirinya baru sampai, tahu-tahu Sarah langsung menarik tubuhnya mendekat dan menggamit lengannya seperti tadi.

"Oh iya, iya, silakan. Nikmati saja waktu kamu selama di sini," kata Bu Mirna semringah.

Sarah langsung undur diri. Dia jadi harus mengubur keinginannya untuk ikut memetik daun teh. Karena ibu-ibu yang berada di sini, sudah sangat heboh hanya dengan melihat kehadirannya saja.

Begitu Sarah sudah melangkahkan kakinya beberapa meter menjauh dari tempat mertuanya, dia dikagetkan dengan kedatangan seorang gadis yang sempat berpapasan dengannya. Wajah gadis itu tampak sedih. Sarah jadi tertarik untuk mengarahkan kepalanya ke tempat mana tujuan gadis itu pergi. Dan rupanya ... gadis itu akan menemui Bu Mirna.

Endra ikut terdiam mengetahui Sarah terpaku di tempat. Meski tadinya dia cukup dibuatnya heran, karena beberapa saat lalu, Sarah langsung menggamit lengannya tanpa permisi, dan langsung berpamitan pergi. Meski Endra bahkan belum sempat menyapa ibunya.

Akhirnya Endra dibuatnya menunggu. Tatapan Sarah pada gadis yang sempat berpapasan tadi benar-benar intens. Endra tidak tahu, kenapa Sarah jadi tertarik untuk melihat gadis itu. Dan tanpa Endra duga, Sarah rupanya langsung kembali ke tempat ibunya berada. Entah apa yang mau Sarah lakukan, tapi sebelumnya, Endra juga sempat melihat gadis tadi menangis saat sedang berbicara pada ibunya. Entah ada masalah apa.

"Ada apa ini, Bu?" tanya Sarah pada mertuanya.

Bu Mirna sempat terkejut mengetahui kehadiran Sarah yang kembali lagi ke tempatnya. Tapi kemudian langsung menjawab, "Ini, Yanti. Dia ini biasanya ikut kerja sama Ibu. Tapi karena ibunya lagi sakit, jadi beberapa hari ini dia lagi nggak ikut kerja."

Sarah tampak serius mendengarkan, meski Yanti yang di maksud juga masih ada di antara mereka. Sesekali Yanti juga mengusap matanya yang basah.

"Nah, terus tadi Yanti bilang ... kalau dia sempat bawa ibunya periksa ke puskesmas, tapi katanya harus di rujuk ke rumah sakit. Jadi dia ke sini mau pinjam duit sama Ibu."

"Terus Ibu kamu sekarang di mana?" tanya Sarah cepat pada Yanti begitu mendengar penjelasan dari mertuanya.

"Masih di rumah," jawab Yanti serak.

"Ya udah kalau gitu, biar saya saja yang antar Ibu kamu ke rumah sakit ya," kata Sarah mengajukan diri.

Yanti tampak bimbang. Dia melihat Bu Mirna dengan tatapan bingung. Untungnya Bu Mirna langsung paham, lantas menjelaskan. "Dia ini menantu Ibu, Yan. Kemarin kan kamu nggak dateng ke acara resepsinya, jadi nggak sempat lihat menantu Ibu ini."

"Maaf saya nggak bisa dateng, Bu. Karena saya harus menjaga Ibu saya," jawab Yanti dengan suara pelan.

"Iya, nggak apa-apa kok." Bu Mirna menenangkan. "Ya udah, kamu bisa ke rumah sakit bareng Mbak Sarah saja, ya?" kata Bu Mirna pada Yanti. "Ayo, sekarang kita pulang ke rumah dulu, Ibu mau ambil uang."

"Nggak usah, Bu," Sarah dengan cepat melarang. "Nanti biar pakai uang Sarah saja."

"Lho?"

"Iya, Bu, nggak apa-apa. Ibu bisa tetap di sini saja, biar Sarah sama Endra nanti yang anterin ibunya Yanti ke rumah sakit."

"Tapi bukannya kamu mau jalan-jalan tadi?"

"Membantu orang lain lebih penting dari jalan-jalan, Bu," jawab Sarah pasti.

Bu Mirna tersenyum. "Ya udah kalau gitu, Yanti silahkan sama Mbak Sarah sama Mas Endra saja ya," pesan Bu Mirna kemudian pada Yanti.

Yanti akhirnya mengangguk. Lantas mulai berjalan bersama Sarah meninggalkan area perkebunan teh.

Endra yang sedari tadi hanya diam, cukup dibuatnya terheran-heran. Ekspresi wajah Sarah saat mendengarkan cerita Yanti benar-benar di luar dugaan. Wajah Sarah tampak sangat serius. Bahkan saat ini Sarah sudah berjalan beriringan dengan Yanti sambil berusaha menenangkan Yanti yang masih menyisakan tangis.

***

Rupanya Sarah tidak main-main. Karena begitu keluar dari area perkebunan, Endra langsung di suruh mengambil mobil untuk menjemput ibunya Yanti, sementara Sarah menunggu bersama Yanti di pinggir jalan. Untungnya jaraknya tidak terlalu jauh.

Tak berapa lama kemudian, Sarah sudah berada di dalam mobil dengan Endra yang menyetir. Sarah memilih duduk di belakang bersama Yanti. Dan berusaha mengajak Yanti mengobrol.

"Ibu kamu memangnya sakit apa?" tanya Sarah dengan suara yang teramat lembut.

"Awalnya ibu saya tiba-tiba demam, setelah sebelumnya sempat bilang sakit kepala dan nggak nafsu makan. Saat itu saya meminta Ibu untuk periksa ke puskesmas, tapi Ibu bilang sebentar lagi juga sembuh. Jadinya saya hanya memberikan obat warung untuk meredakan sakit kepalanya itu. Tapi sudah tiga hari ini demam Ibu nggak sembuh-sembuh juga, malah jadi semakin tinggi. Akhirnya saya paksa Ibu untuk pergi ke puskesmas. Untungnya beliau mau. Dan setelah diperiksa, rupanya Ibu menderita gejala tipes. Dokter bilang Ibu harus segera di rujuk ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut," cerita Yanti panjang lebar dengan raut wajah yang sedih.

Sarah mengangguk-angguk mendengarkan. Lantas kembali melontarkan pertanyaan lain. "Kalau Mbak boleh tahu, usia kamu berapa sekarang?" tanya Sarah masih konsisten dengan nada lembutnya.

"18 tahun, Mbak," jawab Yanti pelan.

Sarah mengangguk-angguk lagi. "Kamu udah lama kerja sama Bu Mirna?" tanya Sarah lagi.

"Semenjak lulus sekolah, Mbak."

"Lulus sekolah apa?"

"SMA, Mbak."

"SMA?" ulang Sarah sedikit terkejut.

"Iya, Mbak."

"Terus kenapa kamu nggak coba cari kerjaan lain? Kamu kan masih muda, masih perlu mencari banyak pengalaman. Apalagi lulusan SMA itu udah bisa dapet gaji UMR lho."

Yanti membuang napas berat. "Iya, Mbak. Saya juga inginnya begitu. Tapi saya sudah berusaha mengirim lamaran kerja lewat pos, tapi belum ada yang dipanggil."

Sarah mengangguk-angguk mengerti. "Oh ... jadi karena itu kamu milih ikut kerja sama Bu Mirna dulu?"

Yanti mengangguk. "Bapak saya sudah meninggal, dan ibu-lah yang jadi tulang punggung utama keluarga kami. Ibu bekerja keras untuk menghidupi saya dan kedua adik saya, juga biaya sekolah kami bertiga. Saya pikir, setelah saya lulus SMA, saya bisa sedikit meringankan beban Ibu saya atau kalau bisa, saya ingin Ibu saya tidak perlu bekerja lagi. Tapi ternyata, mencari pekerjaan itu sulitnya bukan main."

Sarah benar-benar mendengarkan cerita Yanti dengan saksama.

"Untungnya Bu Mirna sangat baik pada saya. Sebenarnya saya sudah sering merepotkan Bu Mirna. Beberapa kali, saya sering meminjam uang pada Bu Mirna ketika kondisi keuangan keluarga saya terdesak. Walaupun Bu Mirna sendiri bilang kalau uang yang dipinjamnya tidak perlu dipikirkan, tapi saya tidak mau begitu. Saya sangat ingin membayar hutang-hutang saya sama Bu Mirna. Hanya saja, saya tidak bisa pergi ke kota untuk mencari pekerjaan di sana."

"Kenapa tidak bisa?" tanya Sarah tampak tertarik dengan ucapan Yanti tadi.

"Karena saya nggak punya biaya buat pergi ke sana. Ditambah lagi, saya juga tidak punya keluarga di kota, kalau seandainya saya nekat ke kota untuk mencari pekerjaan, masih tidak ada jaminan kalau saya akan langsung dapat pekerjaan."

Sarah tetap menyimak cerita dari Yanti dengan saksama. Endra yang juga ikut mendengarkan cerita Yanti itu, diam-diam melirik reaksi Sarah lewat kaca mobil. Dan untuk pertama kalinya, Endra dibuat terkejut melihat reaksi Sarah itu. Wajah Sarah yang selalu menampakkan raut juteknya sama sekali tidak terlihat lagi, justru kali ini raut wajahnya menyiratkan kesedihan mendalam.

avataravatar
Next chapter