15 #015: Pesona Anak Sulung

Endra hanya bisa membuang napas panjang mendapat perlakuan seperti itu di kamarnya sendiri. Dia lantas mengambil piring dan gelas miliknya kemudian mulai celingukan mengetahui di mana dirinya akan duduk.

"Saya boleh makan di atas kasur?" tanya Endra hati-hati.

"Terus gue makan di mana?" sahut Sarah galak.

"Ya udah, saya mau ngambil kursi dulu," kata Endra akhirnya. Karena memang di kamar Endra ini tidak ada kursi. Hanya ruangan berisi satu ranjang yang cukup untuk tidur dua orang, lemari baju dua pintu dan satu buah nakas di samping ranjangnya yang berukuran 60 x 60 cm.

"Nggak usah, ngapain repot-repot segala! Tinggal duduk di situ aja kenapa sih," kata Sarah sembari mengarahkan tatapannya pada karpet yang sempat menjadi alas tidur Endra.

"Di situ?" tanya Endra tak percaya.

"Tadi malam aja lo bisa tidur di situ kan, kenapa sekarang protes?"

Mau tak mau Endra hanya bisa membuang napas panjang. Baiklah, Endra tidak bisa membantah lagi, ia ingat poin kedua yang menyatakan, 'Pihak Kedua tidak diperkenankan memiliki harga diri dan martabat.'

Endra akhirnya duduk bersila. Meletakkan gelas dan piringnya di atas karpet. Dia memang tidak punya harga diri, ya, Endra ingat itu. Meskipun sebelum dirinya tinggal di kota, kebiasaan makan secara lesehan juga bukan hal yang baru bagi Endra. Tapi yang jadi masalahnya adalah ... cara Sarah memperlakukan dirinya. Dengan Sarah yang makan di atas kasur yang selama dua puluh lima tahun terakhir adalah miliknya, dan kini bahkan untuk menyentuh seprainya saja Endra pasti akan di maki habis-habisan oleh Sarah. Tapi biarlah. Lagi-lagi hal ini sudah jadi nasib buruk yang telanjur menimpa Endra.

"Mengenai kemarin, gue nggak mau seorang pun yang bekerja di kantor gue tau soal adegan foto-foto saat di pelaminan," kata Sarah tiba-tiba saat Endra sudah mulai menyantap makanannya.

Ah, Endra jadi ingat. Karena Sarah sudah membahas itu, Endra ingin menanyakan sesuatu pada Sarah. "Dari awal, kenapa Bu Sarah setuju buat mengadakan resepsi di sini?" tanyanya masih dibuat penasaran.

"Itu keinginan nyokap lo. Dan gue nggak bisa membantahnya," jawab Sarah acuh tak acuh.

"Kenapa nggak bisa?" Rupanya Endra tidak puas dengan jawaban Sarah tadi.

"Ngapain lo tanya-tanya segala?" balas Sarah galak.

Ah, Endra lupa. Bukankah akhirnya akan seperti ini kalau Endra bertanya pada Sarah.

"Terus ... mengenai keberadaan Ibu di sini, gimana kalau orang-orang di kantor mencari Bu Sarah? Maksud saya ... siapa yang akan mengecek pekerjaan mereka?"

"Gue kan udah sempat bilang, kalau Asti yang akan menghandel semuanya."

"Jadi Asti tau soal ini?" tanya Endra tak bisa percaya. Bahkan meski Endra sering curhat pada Asti, tapi dengan teganya Asti justru tidak memberitahukan soal ini padanya.

"Kalau soal kerjaan, gue selalu percayain sama dia. Termasuk soal rencana gue tinggal selama beberapa hari di kampung lo ini."

Benar-benar sulit dipercaya, Asti mengetahui semua ini. Dan sebagai orang yang Endra percaya untuk menjadi tempat curhatnya perihal Sarah, Asti tidak memberinya petunjuk sama sekali. Awas saja! Setelah ini Endra akan menelepon Asti dan akan menyemprot ibu satu anak itu habis-habisan.

Tapi tunggu, tadi Sarah bilang apa? "Tadi Ibu bilang ... mau tinggal di sini selama beberapa hari?" tanya Endra memastikan pendengarannya.

"Iya, emang kenapa?" balas Sarah jutek.

Endra merasa seluruh sendinya kaku. Sekarang saja, Endra tidak bisa makan dengan layak. Bagaimana mungkin Sarah bilang akan tinggal di sini selama beberapa hari. Bagaimana nasib Endra nantinya?

"Oh iya, gue mau nikmatin suasana di sini, yang masih banyak pepohonan hijaunya. Sumpek gue sama rutinitas di kota. Jadi gue mau ... lo tunjukin semua tempat bagus yang ada di sekitar sini. Gue butuh refreshing!"

Endra diam saja, kembali melanjutkan makan.

"Lo denger yang tadi gue bilang nggak sih?" sentak Sarah emosi.

"Iya, denger."

"Terus ngapain lo diem aja kayak tadi?"

"Saya tadi ngangguk kok, terus saya lanjutin makan karena memang makanan saya belum habis."

Sarah langsung berdecak kesal mendengar jawaban Endra yang begitu datar.

***

Endra sudah bersiap untuk mengantar Sarah jalan-jalan di sekitar kampung halamannya. Tempat pertama yang Endra tuju adalah kebun teh miliknya. Ibunya sekarang juga ada di sana, ikut bekerja bersama ibu-ibu yang lain memetik daun teh.

Sarah langsung dibuat takjub saat di depannya terpampang hamparan hijau kebun teh yang tersebar luas sejauh mata memandang. Dia langsung tertarik untuk menyusuri jalanan di sekitar tanaman teh yang memang sudah dirancang sedemikian rupa untuk memudahkan para pekerja memetik teh.

Endra yang mengekor di belakang Sarah, dibuatnya heran melihat Sarah begitu antusias dengan apa yang dilihatnya itu. Apalagi saat Sarah terus saja tersenyum-senyum senang melihat teh yang dilewatinya dan sempat juga mengambil foto. Sangat kekanak-kanakan, pikir Endra.

"Nyokap lo ada di mana?" tanya Sarah akhirnya setelah bosan bertingkah kekanak-kanakan.

Endra langsung mengarahkan jari telunjuknya ke depan. Ke tempat di mana banyak ibu-ibu yang membawa ambul di punggungnya. Ambul merupakan keranjang anyaman yang digunakan untuk menaruh daun teh.

Sarah langsung antusias berjalan ke arah yang Endra tunjuk. Dia juga ingin ikut memetik daun teh, satu pengalaman yang belum pernah didapatnya seumur hidup. Tak sabar ingin segera sampai, Sarah akhirnya berlari-lari kecil.

Dari kejauhan, ibu Endra melihat keberadaan menantunya yang sedang berlari menuju ke tempatnya. Dia langsung merasa senang. Diumumkannya pada ibu-ibu yang ada di sekitarnya, bahwa menantunya itu akan datang ke sini. Suasana langsung menjadi heboh. Para ibu yang tadinya sedang memetik teh mulai melongok-longokan kepalanya melihat kedatangan Sarah.

"Wah... mana? Mana?" tanya salah seorang ibu yang tampak antusias.

"Itu, tuh~ itu~" balas ibu yang lainnya.

"Duuuh, kulitnya putih banget yah."

"Iya, mulus banget lagi. Beda banget sama kulit kita-kita."

Ibu Endra akhirnya ikut nimbrung. "Ya iya dong, Bu-Ibu. Sarah itu kan biasa tinggal di kota, ruangannya pake AC, nggak kena panas kayak kita, perawatan juga."

Ibu-ibu yang lain mengangguk-angguk membenarkan. "Beruntung banget sih Endra dapet istri secantik Sarah," komentar ibu-ibu lainnya.

"Anak siapa dulu dong," Ibu Endra mulai menyombongkan diri.

"Iya emang, Bu Mirna emang jos. Udah punya anak ganteng, dapet menantu cantik lagi," puji ibu-ibu tadi dengan diiringi tertawa. Bu Mirna yang dimaksud adalah nama dari ibu Endra.

"Nah, bener kan yang saya bilang dulu. Kalau Endra itu emang pinter banget nyari cewek di kota. Baru seminggu ke kota, eh, langsung ada yang nyantol. Cantik lagi." Bu Mirna semakin semangat menyombongkan anaknya.

"Orang Endranya juga ganteng sih," komentar ibu-ibu yang lainnya.

"Iya, betul. Di kampung kita juga dia jadi idola gadis-gadis di sini kan," timpal yang lainnya lagi.

Bu Mirna tersenyum bangga mendengar pujian demi pujian yang terus mengalir mengenai pesona anak sulungnya itu.

avataravatar
Next chapter