webnovel

Bukan Istri Tapi Estri

Karena impian bodoh Endra, dia harus terjebak dengan perempuan sadis yang bernama Sarah dengan menjadi seorang suami. Sialnya, perempuan sadis yang awalnya Endra anggap seperti malaikat justru berubah menjadi iblis yang meneror hari-hari indahnya menjadi semakin suram. Bagaimana Endra akan menghadapi Sarah? Dan mampukah Endra melepaskan diri dari cengkeraman kesadisan Sarah yang selalu berperan sebagai istri yang baik di depan ibunya sendiri?

AdDinaKhalim · Urban
Not enough ratings
247 Chs

#014: Si Bodoh

Saat hari sudah semakin malam, Endra dan Sarah pun sudah diperbolehkan untuk meninggalkan pelaminan. Keduanya kini berada di dalam kamar yang sudah didekorasi seperti layaknya kamar pengantin. Sementara Endra sedang berharap-harap cemas menunggu Sarah yang langsung menuju kamar mandi yang berada tidak jauh dari kamarnya berada.

Endra tidak berani melakukan apa pun. Dia teramat takut kalau-kalau Sarah akan meledak begitu masuk kembali ke dalam kamar. Padahal ini adalah kamarnya, tapi Endra bahkan tidak berani untuk sekadar duduk di tepian ranjang. Dia hanya berdiri dan berjalan-jalan tidak tentu arah sambil menunggu Sarah kembali dari kamar mandi.

Setelah beberapa menit berlalu, Endra mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Perasaan Endra semakin tidak karuan. Jangankan untuk melihat penampilan Sarah selepas dari kamar mandi, Endra malah tidak berani untuk mengangkat wajahnya.

"Gue capek banget, gue mau langsung tidur," terdengar suara dari Sarah diikuti dengan tubuh Sarah yang langsung menaiki spring bed. Setelah itu hening. Endra akhirnya berani mengangkat wajah. Dia sempatkan dulu melihat Sarah dan sepertinya Sarah langsung tertidur. Endra tentu saja tidak berani untuk memandangi Sarah berlama-lama. Buru-buru Endra keluar kamar dan menuju kamar mandi. Dia juga akan membersihkan diri kemudian lanjut tidur. Tubuhnya juga merasa begitu lelah. Jadi tak salah kalau Sarah bahkan tidak punya tenaga untuk memarahinya, perihal kedekatan yang seharian ini mereka lakukan. Endra mungkin merasa lega. Tapi dia juga harus bersiap untuk keesokan paginya.

***

Tubuh Endra menggeliat pelan saat dia merasa ada yang sedang menendang-nendang kakinya. Endra malas untuk membuka mata. Tapi kemudian tendangan di kakinya berubah keras, membuat Endra langsung terjaga.

"Lo tidur udah kayak orang mati aja sih, susah banget gue bangunin!" kata Sarah yang rupanya sudah berdiri di samping kaki Endra. Dan yang tadi menendang-nendang kaki Endra pun, Sarah-lah pelakunya.

Endra langsung terduduk. Dia menengok ke kanan dan ke kiri. Ah, Endra ingat sekarang, semalam setelah dia sehabis dari kamar mandi, Endra merasa bingung akan tidur di mana. Meskipun bed-nya sangat cukup untuk tidur berdua, tapi ada Sarah yang tidur di sana. Kalau Endra nekat tidur di samping Sarah, bisa-bisa tengah malam nanti saat Sarah terbangun, Endra langsung dicekik Sarah karena sudah lancang sekali tidur di samping wanita itu. Endra tentu tidak mau mati sia-sia. Jadi dia memutuskan untuk tidur beralaskan karpet dan terlelap di bawah.

"Sekarang udah jam berapa?" tanya Endra masih berusaha mengumpulkan kesadarannya.

"Lihat sendiri noh jam berapa!" jawab Sarah sembari mengarahkan dagunya menuju ke nakas. Endra mengikuti arah yang dimaksud, diatas nakas ada jam digital yang terpasang, dan ternyata sudah menunjukan pukul 07.53.

"Dari jam tujuh tadi nyokap lo udah ngetok-ngetok pintu, adek lo juga, tapi lo gue bangunin susah banget beneran kayak orang mati."

Endra menggaruk-garuk kepalanya merasa bersalah. "Buruan lo mandi sekarang, habis itu langsung ambilin gue sarapan. Gue laper!" perintah Sarah galak.

Endra tidak menyahut. Dia hanya mulai bangun dari posisinya, merapikan bekas tidurnya dan langsung beranjak keluar menuju kamar mandi.

***

"Ndra, kamu mau bawa makanan itu ke mana?" tanya ibu Endra saat melihat Endra sudah membawa nampan berisi makanan dan minuman.

"Ke kamar, Bu," jawab Endra jujur.

"Lho, nggak makan di sini aja?"

"Enggak, Sarah maunya di kamar."

"Hm ... gitu ya," ibu Endra mengangguk-angguk kecil. "Pasti kalian baru bangun ya, makanya jam segini baru sarapan?"

"Sebenernya Sarah udah bangun dari tadi. Tapi karena nungguin aku bangun, jadinya Sarah ngelewati waktu sarapan bareng."

"Iya, nggak apa-apa kok, Ibu ngerti," Ibu Endra tiba-tiba saja tersenyum tidak jelas. "Kalian lagi berusaha bikin cucu buat Ibu kan?" lanjutnya lagi dengan suara yang dibuat mirip bisikan.

Endra tertawa garing. Boro-boro bikin cucu, nasib karena kemarin deket-deketan sama Sarah saja, Endra masih merasa was-was. Berjajar bersama Sarah di atas pelaminan dengan banyaknya tamu yang hadir, sungguh tidak ada dalam agenda Endra. Mengingat itu, Endra jadi teringat satu hal yang ingin dia tanyakan pada ibunya. "Soal acara resepsi kemarin, kenapa sebelumnya Ibu nggak bilang sama Endra?"

"Lha, gimana sih kamu. Kan waktu masih awal-awal pembicaraan soal pernikahan kamu. Di situ Ibu udah bilang kalau nanti di rumah kita juga mau diadakan resepsi."

"Ibu bilang sama siapa?"

"Sama Sarah. Dia juga setuju kok. Emang Sarah nggak bilang sama kamu?"

Endra membuang napas panjang dan berat. "Nggak," jawab Endra lesu. Ibu Endra mengerutkan kening bingung mendengar jawaban Endra yang seperti habis tertimpa musibah. Untungnya Endra langsung menambahkan, "Sarah bilang mau kasih kejutan, jadi dia sengaja nggak bilang sama Endra."

"Oh, pantes." Ibunya mengangguk-angguk mengerti. "Terus gimana menurut kamu kejutannya?"

"Bener-bener kejutan. Endra bener-bener dibikin kaget sama acara resepsi kemarin, Bu," kata Endra dengan nada dongkol.

Ibu Endra malah tertawa. "Bagus dong. Itu artinya kejutannya berhasil."

"Tapi, Bu, tolong lain kali kalau Ibu ada apa-apa sama Sarah, kasih tau Endra juga ya," pinta Endra memohon.

"Kenapa memangnya?"

"Ya biar kejadian kayak kemarin nggak keulang lagi."

Ibu Endra kembali mengerutkan kening heran. "Lho bukannya malah bagus. Kejutannya kan juga sukses. Jarang-jarang loh ada istri yang mau bikin kejutan buat suaminya."

"Tapi semuanya yang nyiapin Ibu kan? Sarah nggak ngapa-ngapain kan?"

"Nggak ngapa-ngapain gimana maksud kamu? Dia kan malah jadi pemeran utamanya. Emang, yang ada di pelaminan kemarin siapa kalau bukan Sarah?"

"Maksud aku tuh, Bu--" Endra yang sedari tadi memang berbicara sambil berdiri dengan membawa nampan berisi makanan, langsung tersadar saat terdengar bunyi piring yang dipegangnya hampir terjatuh. "Ya udah, Bu, Endra ke kamar dulu. Takut Sarah udah kelaperan."

"Iya, iya, sana." Ibunya mengibas-ngibaskan tangan menyuruh Endra pergi. "Ibu bagian nungguin aja."

"Nungguin apa, Bu?"

"Nungguin cucu Ibu lahir," jawab ibu Endra sambil terkikik senang.

Endra langsung berlalu meninggalkan ibunya. Menunggu sampai kiamat juga tidak akan pernah lahir, karena memang hubungan Endra dan Sarah bukan hubungan semacam itu. Tapi biarlah, Endra sudah cukup senang, karena di atas penderitaannya menikah dengan Sarah, ada Ibu yang berhasil dia bahagiakan. Meskipun hanya kebohongan belaka.

"Ya ampun, SB, lo kok lama banget sih timbang ngambil makanan doang. Kayak ngambilnya di luar angkasa aja sih," semprot Sarah begitu Endra menongolkan diri dari balik pintu kamar. SB yang tadi diucapkan Sarah adalah salah satu panggilan khusus yang diberikan Sarah untuk Endra, kepanjangan dari Si Bodoh.

"Tadi ada Ibu, jadi ngobrol sebentar," jawab Endra jujur. Endra memang sudah pasrah dipanggil apapun oleh Sarah. Ingat surat perjanjian yang dibuat Sarah untuk Endra? Pada poin ke sembilan yang berisi, 'Pihak Pertama berhak memanggil Pihak Kedua dengan sebutan apapun. Dan Pihak Kedua akan dengan senang hati menerima panggilan Pihak Pertama.' Jadi, tidak ada alasan bagi Endra untuk menolak panggilan yang diberikan Sarah itu.

"Lho, kok ngambilnya dua piring?" Mata Sarah menatap tajam Endra saat nampan yang dibawa Endra diletakkan di atas nakas.

"Saya juga butuh makan, jadi sekalian juga saya ngambil makanan untuk saya sendiri."

"Ha? Sejak kapan gue ngijinin lo makan bareng sama gue?"

"Saya juga tau, tapi kalau nanti saya makan sendiri di dapur, Ibu pasti bakal tanyain macem-macem. Jadi apa boleh buat, saya mau makan di sini saja."

Sarah tidak langsung menjawab, dia terdiam sebentar. "Ya udah, kalau gitu ... lo ambil piring lo, terus lo sono jauh-jauh dari gue."

Menyukai cerita ini? Jangan lupa tambahkan juga ke daftar perpustakaan kalian.

- AdDina Khalim

AdDinaKhalimcreators' thoughts