1 #001: Bukan Istri Tapi Estri

Perhari ini, Endra sudah resmi menikah. Dan Sarah-lah yang menjadi istrinya sekarang. Meski sejak diputuskannya hari pernikahan mereka, Endra sudah menduga kalau masa-masa tenang dan bahagianya sudah menghilang. Endra juga sadar, kalau Sarah lebih pantas disebut siluman ular putir yang memangsa korbannya dengan paras cantik jelita layaknya bidadari, dibanding hanya menyebutnya sebagai nenek lampir bermulut nista.

Jangan tanya soal cinta, karena Endra benar-benar sangat membenci wanita yang bernama Sarah itu. Alasan Endra menikah juga karena dirinya terjebak dalam perjanjian sadis yang dibuat Sarah hanya untuk membuat hidup Endra menderita. Dan Endra tak bisa berbuat apa-apa. Karena setiap ucapan, hembusan napas, gerak-gerik dan suasana hati Endra, hanya Sarah yang berhak menentukannya. Dan itu semua terjadi karena kebodohan Endra yang begitu polos meminta tolong pada Sarah untuk melakukan sebuah sandiwara. Dan sandiwara itu nyatanya membuat Endra sangat menyesal. Karena pada akhirnya, hidupnya berpindah tangan menjadi berada dalam genggaman Sarah sepenuhnya.

"Ngapain sih masih pakai baju itu segala, buruan ganti, besok udah langsung mau dikembalikan." Sarah, yang tiba-tiba masuk ke kamar Endra dan langsung menyemprotnya dengan nada lantang, tampak tidak peduli dengan raut muka Endra yang begitu suram.

Endra yang memang masih memakai setelan jas pengantin, dan tengah merenungi nasibnya yang kacau balau sedikit tersentak mendengar suara lantang istrinya. Tapi dia memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa. Hanya mulai bangkit dari kasur yang sejak tadi didudukinya dan berjalan menuju kamar mandi.

"Dan jangan lupa. Besok pagi, lo udah harus ada di kantor buat kerjain tugas-tugas lo kayak biasa!"

Dari dalam kamar mandi, Endra mendengar dengan jelas pesan istrinya itu. Dan akhirnya Endra kembali dibuat merenungi nasibnya.

Kalau saja dirinya tidak memiliki pikiran aneh dengan memiliki istri cantik yang berasal dari kota, dia pasti akan hidup bahagia di kampung kelahirannya sana. Gelar pangeran desa sekaligus putra dari keluarga kaya hasil dari bisnis perkebunan teh berhektar-hektar yang disematkan pada dirinya, pasti akan membuatnya mudah menemukan sosok perempuan desa manapun yang disukainya.

Tapi sialnya, ambisi Endra yang kelewat naif dan bodoh, justru membuat dirinya mengabaikan itu semua. Endra lebih memilih untuk menolak semua perempuan desa yang mengincarnya dan pergi ke kota untuk mendapatkan istri sesuai dengan keinginannya. Alhasil, justru istri model Sarah-lah yang berhasil ia dapatkan. Meski kenyataannya, jika dilihat dari luar, Sarah memang benar-benar perempuan kota yang cantik dan memiliki karir yang bagus. Tapi begitu tahu sifat aslinya, benar-benar naudzubillah. Endra berulang kali berdoa untuk kembali ke masa-masa indahnya selama berada di kampungnya saja.

***

Pagi ini, Endra bangun sangat pagi. Dia sudah memiliki rincian tugas yang harus dipikulnya sejak bangun sampai menjelang tidur, dan itu semua Sarah yang mengatur. Tidak boleh ada keluhan apapun yang keluar dari mulut Endra, kalau dirinya tidak mau ancaman Sarah keluar.

Jadi yang bisa Endra lakukan hanyalah menurut. Dia akan berusaha sebaik mungkin untuk menunaikan tugasnya meskipun jiwanya mengutuk keras tindakan istrinya itu. Tidak, Sarah sama sekali bukan istrinya, melainkan estri (S3) alias (S)i (S)adis (S)arah.

Di tengah usahanya dalam menyiapkan sarapan untuk estri, hape Endra yang sudah berada di saku celananya tiba-tiba bergetar. Dengan sedikit kesal, Endra akhirnya merogoh saku celananya untuk mendeteksi pemicu getaran.

Oh, rupanya ibu Endra menelepon. Cepat-cepat Endra merubah suasana hati dan raut wajah yang dibuat sesemringah mungkin. Lantas diangkatnya getar telepon itu.

"Iya, Bu," jawab Endra begitu telepon tersambung.

"Duh~, anak ganteng Ibu yang kemarin baru aja nikah, gimana kabarnya? Kok Ibu udah kangen aja ya?" Suara ceria sang ibu langsung menerpa gendang telinga Endra.

Endra langsung menanggapinya dengan tawa, kemudian berkata, "Ibu jangan gitu dong, aku kan lagi seneng-senengnya habis nikah sama istri idaman. Jadi sekarang lagi nikmatin waktu berdua dong. Ibu jangan ganggu ya."

"Iya, Ibu tahu. Makanya semalem pas habis kelar resepsi di sana, Ibu mutusin buat langsung pulang. Mau nginep di rumah kalian, nggak enak takut ganggu. Lagian, ini Ibu juga udah dibuat sibuk sama urusan yang di sini."

"Palingan juga urusan kebun teh kan, Bu?"

"Nggak dong kali ini beda. Emangnya di pikiran kamu Ibu cuma ngurusin kebun teh doang apa, Ndra?"

Endra tertawa. Selama ini kegiatan ibunya yang Endra tahu adalah pergi ke kebun teh. Karena keluarga Endra memang memiliki perkebunan teh yang cukup luas, juga pekerja yang lumayan banyak. Biasanya, setiap ada acara apapun yang mengharuskan ibunya pergi jauh dari kampungnya, tidak pernah sampai harus menginap. Para pekerja tidak mau bekerja kalau sang pemilik perkebunan tidak ada. Karena memang ibu Endra terkenal berisik, jadi kalau tidak ada sosok ibu Endra, kata para pekerja berasa hampa.

"Ya nggak gitu juga sih, Bu." Endra berusaha tidak tertawa.

Terdengar decakan lirih dari ibunya menanggapi ucapan Endra. Tapi kemudian, ibunya langsung bersuara lagi, "Oya, Ndra. Kamu nanti kalau ke sini sekalian bawa cucu ya."

"Iya deh, ntar kita mampir ke rumah sakit dulu buat nyulik bayi terus dijadiin cucu."

"Jangan gitu dong. Ibu maunya kan bayi hasil perkawinan silang kamu sama si menantu Ibu yang cantik jelita yang bernama Sarah itu."

"Ya ... kan kita baru nikah juga kemarin, Bu."

"Hehe, Ibu cuma ngingetin barangkali kamu lupa bikin cucu."

"Dah apal kok, Bu, tenang aja yang gituan mah."

"Gituan gimana?"

"Udah ah, Bu. Pulsa Ibu nanti abis lagi buat ngomongin nggak penting kayak gini."

"Ah, bener juga. Ya udah, Ibu pengen ngomong dong sama menantu Ibu."

"Nggak bisa. Sarahnya lagi sibuk masak buat sarapan kami berdua."

"Ciye~ ... udah langsung dimasakin aja nih ye. Biasanya juga kamu makan nasi sama garem aja langsung kenyang."

"Mending kalo nasi sama garem, Ibu kan biasanya nyiapin daun teh doang buat dimakanin kayak embek."

"Hehe ... itu kan cuma kadang-kadang aja, Ndra. Tapi kamunya juga doyan kok."

"Habisnya nggak ada makanan lagi."

"Ya, abisnya Ibu juga kan sibuk ngerumpi sama ibu-ibu yang lain."

"Pantesan aja hasil petikan tehnya nggak ada yang beres. Sampe orang pabriknya harus turun tangan sendiri buat nungguin hasilnya."

"Ya kalau kerja terlalu serius juga bakalan bosen, Ndra."

"Ya kalau Ibu kayak gitu terus perkebunan teh kita bakalan bangkrut, Bu."

"Eh, kok jadi ngomongin kebun teh sih? Udah ah, pulsa Ibu habis entar. Titip salam aja yah buat Sarah."

"Iya, nanti Endra sampein." Endra membuang napas panjang begitu teleponnya sudah terputus.

Begitulah adanya. Alasan yang membuat Endra bersedia menanggung semua penderitaan di bawah kekuasaan si sadis Sarah adalah karena ibunya. Dengan karakter ibunya yang super berisik dan tidak jelas, Endra yang kepalang berambisi ingin memiliki istri cantik yang berasal dari kota, tidak bisa menarik kembali ambisinya. Dan terlebih setelah ibunya bertemu dengan Sarah. Sehingga bencana ini akhirnya tercipta sempurna untuk ditanggung Endra sepenuhnya.

avataravatar
Next chapter