webnovel

BUKAN INGINKU

Moci_phoenix · Urban
Not enough ratings
73 Chs

AMNESIA

Terima kasih kepada semua yang sudah membaca, memberi komen dan memberi gift. Ditunggu komen-komennya ya. Pastinya juga ditunggu giftnya

Jangan lupa baca karyaku yang lain "Impian Emak Untuk Ifa"

Dijamin bikin tersenyum😁

⭐⭐⭐⭐

Happy reading♥️

Kondisiku sudah membaik saat Tommy dipindahkan ke ruang perawatan. Sesuai keinginanku, kami bertiga bisa ditempatkan di ruangan yang sama. Lebih tepatnya ruang perawatan untuk Tommy dan Dena. Sesuai hasil pemeriksaan terakhir oleh dokter Riani, aku tak perlu dirawat lagi. Dengan demikian aku bisa fokus mengurus Tommy dan Dena. Ibu Imah datang saat Tommy sudah masuk ruang perawatan. Aku sengaja meminta mas Rommy dan mbak Tammy membawa ibu ke rumah sakit setelah Tommy masuk ruang perawatan. Aku tak ingin ibu kecapekan dan sedih bila mengetahui Tommy sempat pingsan saat dibawa ke rumah sakit.

Aku duduk di sisi tempat tidur Tommy yang masih tertidur setelah MRI. Dokter sengaja memberikan obat penenang sebelum melakukan MRI. Kuelus beberapa bagian tubuhnya yang terluka seperti di kening, lengan kanan dan lehernya. Berdasarkan keterangan dokter Virna yang ikut mengawasi proses MRI, atas permintaan mas Fadhlan, diketahui bahwa Tommy mengalami gegar otak dan retak di lengan kanan. Alhamdulillah tidak terlalu serius, menurut dokter Virna. Lengan kanan Tommy dipasang gips.

"Cha, kamu makan dulu. Dari tadi kamu belum makan siang kan? Dena saja sudah selesai makan."

"Icha nggak lapar, bu," tolakku.

"Cha, ingat ada bayi di dalam kandunganmu. Bukan hanya satu, tapi dua. Walau kamu belum merasa lapar, kamu harus paksakan makan demi anak-anakmu. Kalau Tommy bangun, dia juga pasti akan memaksa kamu untuk makan."

"Tapi bu...."

"Nda harus makan. Dena saja sudah selesai makan. Kasian adik-adik di dalam perut bunda, Nanti mereka nangis karena kelaparan. Kalau mereka lapar kan kasian, Nda." ucap Dena yang kini sedang asyik makan buah yang disuapi oleh ibu.

"Tuh, dengar apa kata Dena," sahut ibu Imah sambil terkekeh karena ucapan Dena. "Nih, tadi mbak Tammy membawakan nasi, ayam bumbu rujak dan capcay buat makan kamu. Tadi ummi juga ke rumah mengantarkan kue pastel. Ummi mu bilang baru bisa kesini malam, sekalian mbak Dhila kontrol ke dokter Prana."

Baru saja aku hendak berdiri, kurasakan gerakan pada telapak tangan Tommy yang sedari tadi kugenggam. Kulihat Tommy perlahan membuka matanya dan memandang berkeliling.

"Kang, kamu sudah bangun?" tanyaku namun tidak disahuti oleh Tommy. Dia malah menatapku aneh.

"Tom, kamu sudah bangun nak?" Ibu Imah berjalan mendekati Tommy. "Alhamdulillah kamu sudah bangun. Bagaimana perasaanmu, nak?"

"Tan....tri.... Mana Tantri, bu?" tanya Tommy. Matanya mencari-cari sosok wanita yang namanya baru saja disebut. "Kok Tantri nggak ada, bu?"

Aku dan ibu saling berpandangan tak mengerti. Kenapa tiba-tiba Tommy menanyakan Tantri. Apakah dia bertanya karena dia belum tahu bahwa Tantri meninggal akibat kecelakaan? tanyaku dalam hati. Aku mengelus rambutnya, namun tanganku ditepis olehnya. Aku tersentak melihat sikapnya yang tak biasa. Ada apa dengan Tommy?

"Siapa kamu? Ngapain kamu sentuh aku? Bu, mana Tantri? Mana istriku?"

"Tom, itu Icha istri kamu." Tommy menatapku heran. Ya Allah, apakah Tommy tidak mengenaliku? bisikku dalam hati. Ingin rasanya kumenangis karena Tommy tidak mengenaliku.

"Bukan!! Dia bukan istriku. Istriku Tantri, bukan perempuan ini. Mana Tantri bu?" Ibu Imah menggeleng.

Dena menangis karena melihat Tommy tidak mengenaliku. Aku segera mendekati Dena dan memeluknya erat dalam pelukanku. Air mata yang sejak tadi kutahan, akhirnya luruh juga di pipiku. "Nda, ayah kenapa?"

"Ayah nggak papa, sayang. Ayah hanya bingung karena baru bangun tidur."

"Kenapa ayah sebut nama tante itu? Istri ayah kan bunda, bukan tante itu." AKu tak sanggup menjawab pertanyaan Dena karena aku memang tak tahu harus menjawab apa.

⭐⭐⭐⭐

Sudah seminggu Tommy kembali ke rumah. Ingatannya masih belum membaik, Dokter Virna menyatakan dia mengalami amnesia sementara akibat benturan di kepalanya. Hatiku terasa hancur mendengar penjelasan dokter Virna hari itu. Tommy tetap tak mengenaliku dan Dena. Dia hanya mengenali ibu Imah dan kakak-kakaknya. Dia menangis saat diberitahu Tantri meninggal dalam kecelakaan. Kulihat betapa Tommy sangat kehilangan Tantri. Selama dua hari sesudahnya Tommy benar-benar tak mau melihatku. Dia tenggelam dalam kesedihan. Dia menolak saat kudekati. Saat kudekati untuk menyuapi makanan, ia menolak. Bila aku berkeras, Tommy akan marah dan benar-benar menolak makan. Akhirnya aku mengalah dan membiarkan ibu atau mbak Tammy yang menyuapi.

Saat diperbolehkan pulang, Tommy menatapku heran. "Bu, kenapa perempuan ini dan anaknya ikut pulang ke rumahku?"

"Dia perawat yang ibu siapkan untuk mengurus kamu., Tom." Ya, aku terpaksa berpura-pura menjadi perawat Tommy agar diperbolehkan ikut pulang.

"Lalu kenapa dia membawa anaknya ikut? Bagaimana dia bisa kerja kalau, bawa-bawa anak. Apalagi dia lagi hamil. Bikin repot saja."

"Kamu nggak boleh gitu. Anak itu bukan anak dia, tapi cucunya Sri dan Jaja. Kan kamu yang ajak dia untuk tinggal bareng. Kata kamu biar Sri nggak kesepian." Ibu sekali lagi terpaksa berbohong saat Tommy bertanya tentang Dena.

"Suaminya Icha lagi nggak ada. Kayaknya sudah lupa sama istrinya yang lagi hamil. Tadinya ibu memang nggak mau pekerjakan dia, tapi kasihan Tom. Dia lagi hamil, suaminya nggak ada. Dia butuh biaya buat bertahan hidup. Kebetulan kamu juga butuh perawat kan? Kamu nggak akan bisa urus diri sendiri selama kamu masih sakit. Tangan kananmu saja belum boleh banyak bergerak. Paling tidak dia bisa bantu kamu saat mandi, berpakaian bahkan saat makan."

"Ibu menyuruh dia buat memandikan Tommy? Yang benar saja bu. Dia itu kan bukan istri Tommy, mana boleh dia lihat tubuh Tommy." Hatiku semakin teriris mendengar perkataan Tommy yang benar-benar lupa siapa diriku.

"Maaf pak Tommy. Saya perawat profesional. Saya biasa mengurus pasien laki-laki. Jadi bapak nggak usah khawatir." Akupun terpaksa berbohong dan mengikuti sandiwara. "Kalau bapak keberatan, biarlah untuk urusan mandi bapak akan dibantu oleh mang Jaja. Saya hanya akan membantu bapak berpakaian dan makan."

"Bagaimana kamu bisa urus saya kalau kamu sendiri sudah repot dengan perutmu itu?" tukas Tommy sinis. "Sudahlah bu, Tommy nggak butuh perawat."

"Hush, jangan bilang begitu Tom. Anggap saja kamu menolong orang yang sedang membutuhkan bantuan." bujuk ibu Imah. "Ibu nggak bisa selalu ada disini. Sebentar lagi ibu harus ke Yogya untuk menghadiri pernikahan sepupumu. Budhe Nani meminta ibu membantu persiapan pernikahan. Jadi mungkin ibu akan berada di Yogya selama sebulan."

"Ibu tega meninggalkan Tommy yang baru pulang dari rumah sakit?"

"Terpaksa Tom. Kasihan budhe Nani nggak ada yang bantuin." Ibu sengaja pindah ke rumah mas Rommy, agar Tommy mau diurus olehku. "Selesai acara di Yogya, ibu juga harus ke rumah nini di Cimahi. Nini minta ditemani oleh ibu karena bi Imas sekeluarga akan umroh."

"Tapi bu, perempuan itu bukan mahram. Nggak mungkin Tommy tinggal bareng dia."

"Tom, kalian kan nggak cuma berdua di rumah ini. Ada Sri, Jaja, Umi, Dena. Besok pagi ibu akan berangkat. Segala keperluanmu akan diurus oleh Icha. Dia juga yang akan memasak makananmu sesuai dengan yang sudah disesuaikan dengan diet dari rumah sakit. Jangan lupa kamu harus terapi seminggu dua kali ya. Fisioterapi dan okupasi terapi. Nanti Icha dan Jaja yang akan mengantarmu."

Malamnya ibu Imah mengajakku berbicara di kamarnya. Aku menangis dalam pelukannya. Dena sudah tidur sejak jam 8 tadi.

"Yang sabar ya, Sayang. Pelan-pelan bantu Tommy untuk mengingat kalian. Ingat kata dokter Virna, jangan dipaksa atau nanti dia akan mengalami sakit kepala. Ibu akan akan pergi seminggu untuk membantu budhe Nani. Setelah itu ibu akan tinggal di rumah Rommy. Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi ibu, Rommy atau Tammy."

"Bu, bagaimana kalau kang Tommy nggak bisa mengingat aku, Dena dan anak-anak dalam kandunganku ini?" tanyaku sambil terisak. "Icha nggak siap dilupakan oleh kang Tommy. Icha nggak ikhlas Tommy hanya mengingat Tantri."

"Sabar sayang. Banyak-banyak berdoa kepadaNya agar Tommy bisa pulih seperti sediakala. Ibu yakin Tommy akan segera pulih dengan perhatian yang kamu berikan. Sudah jangan menangis lagi. Mulai malam ini kamu terpaksa tidur denngan Dena. Nggak papa kan?"

"Nggak papa, bu. Yang penting kami bisa selalu dekat dengan kang Tommy." jawabku perlahan.🥺

⭐⭐⭐⭐

"Pak, sarapan sudah siap. Bapak mau sarapan di kamar atau di ruang makan?" tanyaku pagi itu kepada Tommy yang baru saja selesai mandi, dibantu oleh mang Jaja. Kini dia masih bertelanjang dada namun sudah mengenakan celana panjanh. Aku bergegas mengambilkan pakaian untuknya lalu membantunya berpakaian. Hatiku berdegup kencang saat aku harus berdiri begitu dekat dengan suami yang tidak mengenaliku.

"Terima kasih," ucapnya singkat. "Pagi ini aku akan sarapan di kamar. Bisa kamu bantu aku makan?" Aku mengangguk. Walaupun hati ini sedih karena dia masih belum mengingatku namun aku bahagia bisa mengurusnya.

"Kamu nggak kontrol ke dokter kandungan?" tanya Tommy saat aku duduk dihadapannya sambil menyuapi makanan. "Sudah berapa bulan usia kandunganmu? Suamimu nggak pernah menghubungi kamu? Ayah macam apa yang nggak peduli sama anak."

Aku tak menjawab, hanya mampu menunduk memandangi jari-jari kakiku.

"Hai, lihat aku kalau diajak bicara. Ada apa sih di lantai sampai kamu asyik banget lihat ke bawah."

"Ah, maaf pak. Nggak ada apa-apa."

"Kamu belum jawab pertanyaanku. Walau suami kamu nggak ada, bukan berarti kamu nggak peduli dengan kandunganmu."

"Saya baik-baik saja. Nanti saja saya kontrol ke dokter kandungan."

"Nanti saat saya terapi, kamu periksa ke dokter kandungan. Kamu kan bekerja disitu, jadi kamu tahu siapa dokter yang bagus. Kamu pilih saja."

"Tapi pak...."

"Jangan khawatir kalau kamu nggak punya uang, aku akan bantu membayar biaya pemeriksaan kandunganmu. Ya, hitung-hitung sebagai balas budi karena kamu sudah mau membantuku." Aku mengangguk dan tak ingin membantah perkataan suamiku. Hatiku merasa bahagia, Tommy sudah mulai menerima kehadiranku walau hanya sebagai perawatnya.

"Terima kasih, ka.... pak Tommy. Nanti saya akan sesuaikan jadwal kontrol saya dengan jadwal terapi pak Tommy." Aduh, hampir saja aku keceplosan memanggilnya kang Tommy.

"Kamu tahu, Cha. Aku ingin sekali punya anak, tapi sayang istriku keburu meninggal karena kecelakaan," Hatiku masih terasa sakit karena Tommy masih mengingat Tantri. Aku tak menyahuti ucapannya. "Atau, aku adopsi saja anak dalam kandunganmu?"

"Oh... eh... apa pak? Adopsi?"

"Iya, kalau memang suamimu tidak kembali biar aku adopsi anakmu."

"Tapi pak...."

"Kamu boleh tinggal disini sebagai perawat anak itu nanti, sebagai babysitternya." Oh my god, dia mau memintaku tinggal sebagai babysitter anakku sendiri. Aku tak tahu harus bersedih atau bahagia mendengarnya. Suamiku ingin mengadopsi anaknya sendiri. Kalau bukan karena dia amnesia, aku pasti sudah tertawa akibat lelucon yang tak lucu ini.

⭐⭐⭐⭐