webnovel

[ 12 ] Singa yang Tunduk

Jam istirahat pun tiba. Tiara, Dewan, Ghifari, Wira, dan Diman sudah berada di ruang sekretariat Bimbingan Belajar alias bekas laboratorium komputer. Sebagaimana yang sudah mereka semua duga, Badar tak hadir.

Sebetulnya, Ghifari dan Diman yang adalah siswa jurusan IPS tak punya andil apa-apa dalam Olimpiade Sains ini, tetapi Dewan memaksa mereka untuk hadir demi memenuhi tugas mereka sebagai penanggung jawab anggota (Ghifari) dan penanggung jawab kegiatan (Diman).

Para peserta tes seleksi sudah duduk di masing-masing kursi yang telah disediakan. Termasuk Tiara, Dewan, dan Wira. Pada dasarnya, mereka bertiga memang sejak awal hendak ikut olimpiade, terutama Wira. Dewan dan Tiara agak saling melirik canggung, karena mereka berdua sama-sama tahu bahwa kehadiran mereka di bangku ini formalitas belaka. Pak Burhan telah menjamin kelolosan mereka hingga ke tingkat provinsi.

Wira tengah sibuk membaca buku saku Fisika ketika Tiara ikut-ikutan mencari referensi materi Biologi di internet ponselnya, tak ubahnya Dewan yang berkomat-kamit meninjau ulang hafalan tabel periodik unsur kimia. Diman di hadapan semua peserta tampak menyimak lembaran kertas yang sedang dipegang Ghifari, pebasket jangkung itu serius berdiskusi dengan Diman. Diman mengangguk dalam bisu.

Ghifari pun melipir. Ia memanggil Tiara, membuat Tiara terkejut. “Minta kertas absen, Ti.”

Tiara menghentikan selancar internetnya sejenak dan berjalan menuju Ghifari, memberikan lembar formulir presensi. Ketika itu pula, seseorang tiba di ruangan. Sudah bisa ditebak, ia adalah Badar dengan busana acak-acakannya. Melihat satu kursi kosong, segera saja ia merangsek dan duduk di sana.

Tiara kembali dan mendapati kursinya dikudeta. “Dar, kursi gue!” bisiknya.

“Duh, lo pindah deh. Capek gue lari ke lantai tiga, butuh duduk.”

Tiara mendecak. “Gak lihat itu ada tas gue? Ini kursi gue, plis!”

“Selamat siang, Anak-anak.”

Suara Pak Burhan segera memenuhi ruangan. Ia masuk tanpa iringan sebagaimana sebelumnya. Tiara belum duduk, ia menarik kerah Badar dan memaksanya pergi.

“Badar!” Tiara memekik masih berbisik.

“Yah, Ti ….” Badar baru selesai mengupil dan memeperkannya di kolong meja. “Ada peninggalan gue, lo mau?”

Tiara mendelik jijik dan menggeram gemas, lantas meraih ranselnya. “Sialan, lo!”

Badar tertawa mengikik dan memberi kecupan jauh ala fakboi yang makin membuat Tiara ingin melemparnya dengan ransel berisi buku-buku pelajaran. Sayangnya, beberapa perempuan di sisi lain malah panas kegerahan, cemburu dan merasa tak suka manakala melihat sosok raja sekolah mencandai perempuan sebiasa Tiara.

“Tiara, ayo cepat duduk. Bapak akan memulai bicara,” sergah Pak Burhan.

“I-iya, Pak.” Akan tetapi Tiara belum juga menemukan kursi yang kosong. Ini salah Diman! Dia tidak menyediakan cukup kursi untuk—

Suara geruduk kaki kursi yang bergesekan dengan karpet mengalihkan perhatian Tiara. Diman yang semula di depan, kini sudah berada di tengah-tengah peserta dan menyediakan kursi untuk Tiara. Kemudian, membagikan lembar pertama panduan umum olimpiade sains padanya.

“Makasih, Dim,” ucap Tiara pelan. Tak dijawab Diman, ia melanjutkan membagikan lembar ke meja-meja lain.

Selagi Diman berkeliling, Pak Burhan memberikan arahan mengenai tes seleksi dan alur hingga pengumuman peserta lolos seleksi olimpiade tingkat kota. SMA Mandraguna mendaftarkan murid-muridnya pada mata pelajaran Matematika, Kimia, Biologi, dan Fisika. Masing-masing pelajaran menyerahkan dua perwakilan untuk olimpiade tingkat kota, sedang untuk tingkat provinsi, tidak dapat diprediksi siapa yang lolos dan tidak.

Setelah lembar jawaban selesai dibagikan, Pak Burhan memberikan arahan bahwa peserta duduk per banjar sesuai mata pelajaran yang ia daftarkan. Diman kembali bergerak untuk menempelkan mata pelajaran di meja-meja terdepan, lantas semua peserta bergerak ke mata pelajaran tujuan masing-masing. Tiara melihat Badar bergerak ke banjar Matematika. Cih, katanya tak jadi ikut!

Arahan pun dimulai. Pak Burhan membagikan selembar gambaran soal olimpiade untuk seleksi dan Tiara kesulitan bukan kepalang. Kalau bukan karena hadiah dari Pak Burhan, sudah pasti ia tak lolos. Tapi … bukankah ini tak adil bagi peserta lain yang jujur dalam berusaha keras?

***

“Eh, sini lo, Dar!” Tiara menarik tangan Badar sebelum lelaki gondrong itu kabur.

“Duh, gue mau cabut.”

“Jawab dulu, kenapa tiba-tiba dateng? Tadi katanya enggak mau!”

Badar mendecak. “Urusan lo banget, ya? Laper nih gue, butuh makan. Dah!”

Dan ia hilang.

Tiara bengong memandangi punggungnya sampai lenyap ditelan belokan dinding. “Orang itu agak-agak atau gimana sih?! Enggak jelas banget kelakuannya!” Tiara marah-marah.

Dewan masih tak terlalu mau memperhatikan Badar, tetapi sikapnya lebih baik dari hari kemarin. Daripada memanggil kembali berandalan itu, ia lebih memilih berdiskusi dengan Diman tentang rencana program yang akan datang. Program permintaan dari Pak Burhan.

Tiara dan Ghifari tidak ada urusan, maka mereka hanya bantu beres-beres ruangan. Tiara merasa ada yang memperhatikannya. Kemudian ia melirik ke arah Ghifari, benar saja cowok putih berambut kecokelatan itu tengah memandanginya cengengesan. Tiara buru-buru melirik tangannya sendiri, berharap semu kemerahan di pipinya tak begitu tampak. Ghifari meloloskan kekehan, lesung pipi terbentuk di kedua pipinya.

“Jadi, udah baikan, nih?” godanya pada Tiara.

“Emang siapa yang berantem?” balas Tiara masih enggan memandang wajah Ghifari.

“Oh, gitu. Jadi, jawabannya Badar berkepribadian ganda atau gimana?”

Tiara tak punya jawaban kali ini, jadi ia memilih tertawa.

“Habis ini ke mana?” tanya Ghifari

“Kantin.” Tiara lebih cepat merapikan barang-barangnya.

“Bareng ya, ke sananya.” Ghifari memanggil Dewan dan Diman. “Dim, Wan. Gue sama Tiara duluan, ya.”

“Yo! Makasih, ya!” Dewan melambai, lalu kembali fokus pada perbincangannya dengan Diman.

“Yuk,” ajak Ghifari.

Tiara masih kesulitan menahan debaran jantungnya ketika berjalan bersisian dengan Ghifari. Tiara bersyukur jarak dari laboratorium menuju kantin lumayan jauh, sehingga ia punya banyak waktu berbincang dan mengenal Ghifari lebih dekat. Kini Tiara tahu pebasket kesukaan Ghifari adalah Shaquille O’Neal, ia juga punya dua adik kembar perempuan yang berisik dan rusuh. Ghifari bilang, Tiara mengingatkannya pada mereka. Berbicara dengan Tiara terasa seperti berbincang dengan keluarga sendiri.

Tiara terkekeh. Perlahan kecanggungan yang ada di pundak Tiara runtuh, ia mulai terbiasa mengalahkan gugupnya kala berbicara dengan Ghifari, lalu mereka tiba di ambang gerbang kantin.

“Ghif!” Suara siswa laki-laki memanggil Ghifari di kejauhan, tampaknya kawan satu ekstrakurikulernya.

Ghifari balas melambai. “Ti, gue duluan, ya.”

“Oke, dah!”

Akhirnya, mereka pun berpisah. Persis ketika itu juga, Tiara melihat Kinan di salah satu meja, melotot. Tiara menghampirinya. Belum ia bicara apa-apa, Kinan sudah menyemprotnya, “Emang licik, lo! Jalan bareng Ghifari enggak bagi-bagi! Curang!” Kinan mencubiti lengan Tiara. Seketika itu pula Tiara terpaksa menoleh ke sana- ke mari dan baru menyadari berpasang-pasang mata mendeliknya dengan perasaan tak suka.

“Jangan kenceng-kenceng,” balas Tiara. “Anaya mana?”

“Tuh, lagi pesan mie ayam.”

Tak lama, Anaya pun datang dengan semangkuk mie ayam.

“Nay, pesenin gue juga dong!” Tiara memekik.

Anaya mendecak. “Telat!”

***

Badar melangkah cepat menuju ruang konseling sekolah. Ia tampak terburu, tetapi sebetulnya ia malas menuju ke sana. Hari ini, Badar ke ruang konseling bukan karena dirinya membuat onar. Malahan, ia yakin guru konseling tidak ada di sana karena ada sosok lain yang Badar tak ingin lihat wajahnya. Kurniawan sang komite sekolah, ayahnya sendiri.

Badar mengetuk pintu sebagai bentuk sopan santun. Tak lama, Pak Burhan di sana membuka pintu. Kemudian, tampak jelas sosok pria dewasa lain yang tengah duduk bersilang kaki, memandangnya dengan mata serigala yang amat Badar kenali.

Badar mengangguuk pada Pak Burhan, lalu salim mencium tangan ayahnya.

Beberapa menit selepas sosialisasi seleksi olimpiade sains, Badar mendapatkan telepon dari ayahnya untuk melipir sejenak ke ruang konseling. Badar tidak punya pilihan selain menurut.

Lagi pula, Badar sudah melihat mobil ayahnya itu terparkir di garasi sekolah sejak jam istirahat. Seketika itu pula Badar segera tahu bahwa dirinya sedang dipantau, oleh karena itu ia segera berlari menuju laboraturium komputer, ruang sekretariat Bimbingan Belajar. Kalau sampai ia ketahuan tidak hadir, entah kejutan apa yang akan diberikan oleh ayahnya.

Kurniawan adalah pria dengan ambisi yang teramat besar pada kedudukan dan kemakmuran keluarganya. Ia punya delapan anak. Tujuh laki-laki, satu perempuan. Pria itu menaruh harapan pada tiap anaknya untuk jadi orang besar: dokter, arsitek, politikus, tentara, ahli Geologi, dosen, dan pebisnis. Ketujuh anaknya berhasil mewujudkan itu, tersisa satu putranya yang termuda, masih duduk di bangku SMA, dan terkenal akan keonarannya seantero kota. Badarlah anak itu.

Menurut ayahnya, prestasi akademik Badar mampu menghapus reputasi buruk yang melekat. Untuk itulah Badar tidak diberi kebebasan memilih SMA, ia ditarik paksa untuk berada di SMA Mandraguna, sekolah yang dikenal karena pencapaiannya di ragam prestasi, institusi yang berada di bawah kendali Kurniawan sendiri. Mandraguna adalah wadah bagi Badar untuk unjuk gigi pada ayahnya. Akan tetapi, Badar tidak menginginkan semua itu, dan melawan Kurniawan sama sekali bukan perkara mudah.

“Badar hadir sosialisasi hari ini, Pak Kur,” jelas Pak Burhan—mata ayahnya di sekolah ini. “Yang artinya, Badar akan ikut olimpiade.” Pak Burhan tersenyum mencairkan suasana.

“Kalau lolos seleksi,” imbuh Kurniawan ketus.

“Waah, Badar ‘kan pemenang medali emas olimpiade Matematika di SMPnya. Pasti bisa, Pak!”

Kurniawan melirik Badar sengit. Badar diam saja. Kemudian ia tersenyum, sinis. “Kita lihat nanti. Apa bisa dia bertanggung jawab atas keonarannya sembari memperjuangkan kejuaraan ini.”

Hening yang canggung.

Kurniawan pun mengeluarkan sekotak makanan, meletakkannya di meja antara Badar dan Pak Burhan. “Aku kemari membawakanmu makan siang.”

Bohong, batin Badar. Ayah datang cuma untuk mengganggu Badar.

“Lalu ini, untuk Pak Burhan.” Kurniawan memberikan sekotak bolu kukus.

Kemudian, perbincangan bapak-bapak pun terjadi. Politik, adu cerita hebat, tawa palsu, sedikit kekonyolan, dan lelucon basi banget. Badar hanya menyimak sembari makan dalam diam. Ironis sekali, si Raja Sekolah, Singa Warung Bambu, penakluk dan penggebuk terdepan dalam pertempuran cuma bisa bertekuk lutut di hadapan ayahnya sendiri. Betapa hidup ini dipenuhi sandiwara.

***