1 Maaf Aku Mencintaimu

"Aku mencintaimu, maafkan saja jika perasaan yang telah lama aku pendam baru kali ini mampu aku utarakan. Setidaknya, kamu mengetahui hal itu. Aku juga tak meminta balasan yang sepadan, setidaknya pada malam ini aku lebih merasa lega mampu aku utarakan,"

Sebuah pesan yang terbilang singkat untuk mengutarakan perasaan. Bodohnya, hal demikian tidak aku utarakan secara langsung dihadapan Drian. Wajar, selepas kami lulus, kami mempunyai jurusan berbeda. Dia melanjutkan kuliah, sedang aku melanjutkan mendalami ilmu agama dalam sebuah Asrama Pondok Pesantren.

Cukup hebat aku berjuang melawan siksa batin saat hendak berpamitan dengan dirinya. Lebih jelasnya, kami mempunyai hubungan kedekatan dengan dalih persahabatan. Tapi, apakah ada sebuah hubungan persahabatan antara perempuan dan laki-laki yang benar-benar murni? Ah, rasanya tidak. Bisa jadi, kalau bukan kita yang terjebak dalam hatinya, tidak menutup kemungkinan sebenarnya dia yang jatuh hati pada kita.

"Apakah kamu tega meninggalkan diriku?"

"Iya, bagaimana juga aku bisa bertahan? Sedang, kedua orangtuaku juga mengharapkan aku sesegera mungkin untuk berangkat ke asrama,"

"Kau beneran akan pergi?"

"Ya memang demikian, pergi untuk kembali,"

"Secepat inikah?"

Aku hanya menghela napas. Memandang wajah harap dari dirinya agar aku tetap tinggal. Tapi, bagaimanapun, aku tetap harus pergi. Bukan untuk meninggalkan dirinya. Bukan untuk melepas tali persahabatan yang baru saja terjalin diantara kami. Rasanya, harapan kedua orangtuaku sudah sangat jelas demi kebaikanku di masa yang akan datang.

"Hei, aku akan kembali. Tidak meninggalkan dirimu selamanya,"

Drian kembali menatap wajahku. Dalam pandangan kedua bola matanya memang tidak bisa dibohongi kalau saja Drian tidak merelakan aku untuk pergi. Aneh, seperti hendak kehilangan orang yang sangat penting saja aku melihatnya.

"Satu minggu sekali kamu bisa pulang, bukan?"

Aku menggeleng kepala. Menatap wajahnya kalau hal itu tidak akan bisa terjadi. Sebelumnya, aku juga tahu kalau nanti sampai di Asrama, sudah pasti untuk berkabar tentang keadaan diriku kepadanya akan sulit terjadi. Mengingat, peraturan pesantren juga sangat ketat dalam mengatur hubungan lawan jenis.

"Kalau berkabar, bisa, bukan?"

Harap demi harap rasanya selalu Drian utarakan. Menggoyahkan kemantapan diriku untuk berangkat dengan modal niat yang sebelumnya dengan mantap sudah aku tanamkan.

"Dengar ..." aku mencoba menarik perhatian Drian.

Dia kembali menatapku dengan wajah lesu. Ada air mata yang rasanya benar dirinya sembunyikan. Ada banyak sekali hal yang rasanya ingin dirinya ucapkan. Namun, raut wajah dari dirinya seakan sudah mewakili semuanya.

"Mungkin, aku hanya mampu memberimu kabar satu tahun dua kali. Libur pertengahan tahun, lalu liburan panjang selepas khataman,"

"Li, ternyata kamu jahat ya,"

"Jahat? Bagaimana maksudmu?"

"Bukankah baru kemarin kita menjalin sebuah hubungan persahabatan, dan sekarang dengan ringannya kamu hendak pergi meninggalkan?"

Aku kembali menghela napas. Mencoba menyakinkan dirinya, menegaskan kalau saja aku tidak akan pernah meninggalkan dirinya. Mungkin, aku tak bisa memberi kabar. Tapi, masih ada kekuatan doa yang mampu menguatkan, bukan?

"Ian, aku tidak meninggalkan. Siapa yang bilang aku meninggalkanmu?"

"Ini buktinya, kamu hendak pergi,"

"Ah, jangan salah paham. Kau percaya doa, bukan?"

Drian mengangguk pelan. Paham dengan apa yang aku maksudkan. Namun, masih saja mencari dalih agar aku tetap tinggal. Selalu mendengar keluh kelas yang dirinya rasakan. Sekadar menjadikan tempat berbagi cerita yang bodohnya, aku mengaitkan dengan rasa. Merasa hubungan ini istimewa, ternyata hanya dalih persahabatan semata.

"Iya, aku percaya. Tapi, nyatanya kamu akan meninggalkan diriku, bukan? Itu yang aku tahu sekarang,"

Jujur saja, sebuah dilema besar ketika rayuan permohonan untuk tetap tinggal terus aku dengar. Seolah aku adalah orang yang sangat berharga bagi dirinya. Ya, memang, cukup berharga aku bagi dirinya. Karena aku juga orang satu-satunya yang selalu ada untuk dirinya. Entah kapanpun, dimanapun, saat dirinya membutuhkan apapun. Terlebih permasalahan hubungan percintaan dirinya.

Walau sebenarnya, rasa sakit terasa menyayat aku rasakan. Ketika mana dia dengan tanpa sungkannya membeberkan segala permasalahan hubungan percintaannya. Aku menjadi pendengar, melihat wajah manis dari dirinya saat bercerita, melihat betapa bahagia dirinya saat hubungannya berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dan berubah menjadi orang yang paling tersakiti saat hubungannya mengalami permasalahan.

"Dengarkan aku, dengarkan. Kamu sudah mempunyai pacar, dan dia juga jelas lebih dekat dengan dirimu. Itu sudah pasti, apa yang kamu inginkan sebenarnya dari diriku?"

"Kamu sahabat paling dekat denganku. Dan tidak rela rasanya jika kamu begitu saja meninggalkanku, Li," ucapnya lirih.

Aku terdiam sesaat. Memang benar, aku saja yang terlalu mengaitkan sebuah rasa. Aku saja yang mengaitkan hal demikian dengan perasaan. Tidak, jika aku tinggal, berarti aku sudah menyerah sebelum berperang.

"Dri, masalah sahabat itu mudah untuk dicari. Besok di tempat kuliah, kamu akan menemukan orang lain yang mungkin lebih perhatian dengan dirimu daripada perhatian serta waktu yang pernah aku berikan,"

"Tidak, kamu tetap kamu. Tidak ada yang lain, aku tidak mengenal orang baik sebaik dirimu. Yang mampu memberikan sebuah nasihat dengan penuh kelapangan. Menjadi tempat keluh kesah tanpa sedikit saya mengeluh dan menyimpan rasa marah,"

Dalam pikiranku, apakah dia mengatakan hal demikian memang benar dari lubuk hati paling dalam? Atau mungkin, hanya sekadar pepantas sebelum perpisahan yang telah direncanakan. Hanya agar terlihat seperti orang yang tak rela untuk ditinggal.

Tidak, aku melihat tatapan jujur dari wajahnya. Senyum dengan pipi lesung yang aku kagumkan juga tak terlihat dalam pertemuan kala itu. Hanya ada kedua bola mata yang berkaca, serta permintaan yang sempat menggoyahkan hatiku untuk tetap tinggal.

"Persahabatan, ya?" tanyaku dengan nada sedikit meremehkan.

Mendengarkan pertanyaan yang rasanya memang sedikit agak tidak enak untuk didengar. Membuat Drian terperanjat. Bujuk rayu permohonan untuk tetap tinggal rasanya hilang lenyap begitu saja.

"Berangkat kapan memang, kamu?"

"Dua hari lagi,"

"Jaga kesehatanmu, pola makan juga. Jaga diri dengan baik saat disana. Pola tidurnya juga dijaga. Ingat-ingat saja tentang hubungan kedekatan kita. Kamu tetap akan menjadi sahabat paling dekatku untuk selamanya. Kalau ada kesempatan, jangan lupa untuk memberikan kabar,"

Entahlah, aku dibuat runyam dengan keadaan yang sedang aku hadapi. Drian telah benar-benar membuat hatiku tetap tinggal bersamanya. Permohonan yang sempat dirinya utarakan juga telah mensukseskan kemantapan yang jauh hari telah aku tanamkan pudar saat pertemuan itu juga.

Entah Drian yang memang telah lihai ketika bertemu dengan lawan jenisnya. Atau aku yang terlalu bodoh menanggapi semua yang ada.

"Ya, selalu. Aku akan mengingatmu, walau tak bisa aku kabarkan keadaanku, setidaknya ada doa yang selalu aku haturkan dengan mengikutsertakan namamu. Itu sudah pasti tanpa kamu memintanya,"

Drian hanya tersenyum. Seakan menyetujui ucapan dari diriku yang baru saja aku utarakan. Aku agak dibuat heran dengan perubahan sikap yang dirinya perlihatkan. Menegaskan, kalau saja itu hanyalah pepantas yang harusnya tidak aku anggap sebagai sebuah keseriusan.

"Terima kasih, hati-hati besok berangkatnya," ucap Drian dengan sebuah senyuman, seakan sudah rela melepas tanpa terdengar lagi permohonan agar aku tetap tinggal.

Tidak ada kebahagiaan lain kecuali mendengar perhatian yang Drian ucapkan. Aku mantap, dan aku akan benar-benar pergi untuk beberapa bulan kedepan. Pergi untuk kembali, lalu mencari kesempatan lain untuk saling bercengkerama seperti hari dimana terjadi pertemuan seperti kala itu.

avataravatar
Next chapter