9 Berita Tidak Benar

"Nanti sebelum kamu pulang, sisa makanannya tolong wadahin ke kantong kresek terus buang ke tong sampah yang ada di depan," pinta Nyonya Livia. Biasanya ia tak perlu meminta, tapi karena Anna masih baru di sini maka ia harus melakukannya.

Anna hanya mengangguk. Dalam hati sangat menyayangkan makanan segitu banyaknya harus dibuang percuma.

Gadis itu berinsiatif membungkus semua makanan yang ada di dapur untuk dibawa pulang lalu separuhnya akan dikasihkan ke anak-anak pinggir jalan yang biasa ngamen.

Sebelum membereskan semuanya, Anna tampak gugup saat mendapati Juna yang tiba di dapur.

Pria itu membuka lemari es. Kemudian mengembali botol yang berisi air mineral, lalu meneguknya setengah habis.

"Lo gak pulang?" Juna duduk di atas meja. Ia memerhatikan Anna yang sedang mematung di pojokan.

"Belum, kak. Eh, Tuan. Saya masih banyak kerjaan." Mata Anna mengedar pada tumpukan piring kotor dan beberapa makanan yang masih berantakan.

"Panggil gue Juna." Wajahnya datar tanpa ekspresi. Cowok itu pergi begitu saja setelah mengatakan hal tersebut.

Sesaat kepergian Juna, tibalah Prince di sana. Anna kaget dan langsung cepat-cepat bersembunyi. Ia pikir anak itu sudah pulang bersama dengan yang lain.

***

"Duduk! Papa mau bicara."

"Apa lagi? Mau membandingkan Dewa sama Juna dan Prince?" Dewa duduk dengan malas.

Memang benar di antara Juna dan Prince, Dewa adalah anak yang paling tidak bisa dibanggakan dari segi apa pun. Meskipun Dewa adalah pewaris tahta Tuan Amartha, namun anak itu tak menunjukkan hal kecil yang bisa membuat Tuan Amartha  bangga padanya. Justru malah sebaliknya, Tuan Amartha sering dibuat geleng-geleng oleh sikapnya.

"Papa pun sudah bosan membandingkan kamu dengan mereka. Papa membandingkan kamu, agar kamu bisa bercermin. Sudah, Papa tidak mau membahas ini."

"Jadi apa yang mau Papa bahas?"

Ajudan yang setia mengikuti Tuan Amartha ke manapun dengan sigap memberinya tablet dan menunjukkan sebuah video berisi wajah Dewa di sana.

Tuan Amartha memberikannya pada Dewa.

Anak itu membulatkan matanya bak bola basket. Tidak menyangka dirinya akan menjadi viral dalam waktu sekejap.

"Kamu harus menjalani perawatan. Papa tidak mau kamu menjadi gay. Atau merubah jenis kelamin!"

"No! Aku normal!" Dewa membanting tab itu.

"Bisa kamu buktikan?"

"Video ini adalah kesalahpahaman! Bra itu bukan milik Dewa," tegas Dewa tidak terima. Dewa tak menduga jika videonya akan sampai pada papanya sendiri.

"Bagaimana bisa papa berpikiran seperti itu!"

"Tentu saja bisa! Karena kamu tidak pernah memperkenalkan pacarmu. Papa juga tidak pernah mendengar kamu berkencan."

Dewa mematung mendengar kalimat yang baru saja keluar dari pria paruh baya itu. Benar juga, selama ini ia tak pernah tertarik dengan siapa pun, padahal banyak gadis cantik yang mengejarnya. Ia pun tidak tahu, rasanya malas berurusan dengan para gadis. Tapi hal ini tidak harus dijadikan alasan ia tidak normal. Ia normal, hanya saja masih belum menemukan tambatan hatinya.

"Nanti bawa pacar kamu ke ulang tahun sekolah. Perkenalkan dia ke hadapan papa dan papa akan percaya kalau kamu normal dan ... kamu tidak akan papa paksa untuk menjalani perawatan jiwa," papar Tuan Amartha.

Dewa menjawab secara spontan.

"Ok! Dewa akan bawa cewek dan membuktikan bahwa anak papa ini normal!"

***

Anna membangunkan Saga yang tengah meringkuk di lantai beralaskan permadani. Sejak saat Pak Mahesa koma, semuanya berubah. Termasuk sikap ibu dan saudara tirinya yang semakin menjadi-jadi.

Tidak hanya barang-barang Anna yang disebut, tapi kamarnya juga disebut dengan paksa. Mereka menyuruh Anna dan Saga tinggal di gudang.

Rasanya sakit, menjalani hidup perih di rumah sendiri. Jika Anna melawan, Saga yang akan jadi sasaran mereka membuat Anna harus diam, karena ia tak mau terjadi apa-apa pada adik kecilnya.

"Saga, bangun, dek." Anna menepuk pelan pipi lembutnya.

"Dek, kakak bawa makanan buat kamu."

Sekali lagi Anna menepuk bahu Saga dan akhirnya anak itu terbangun.

"Kakak kok baru pulang? Saga nungguin Kak Anna dari sore. Saga laper banget." Pria kurus itu meremas perutnya.

Mata Anna berkaca-kaca. Entah sampai kapan hidup ia dan Saga akan seperti ini.

"Maafin kakak ya, Ga. Ini, kakak bawa makanan banyak buat kamu."

"Ini buat Saga semua, Kak?" Anak itu membukanya satu per satu dan langsung memakannya dengan lahap.

"Makan yang banyak ya." Anna mengusap puncak kepala sang adik dengan penuh perhatian.

Ia melihat jam dinding tua, masih ada waktu beberapa menit untuk duduk belajar. Hari ini Anna masih belum membuka buku untuk persiapan olimpiade pertamanya.

Anna sengaja membuka jendela, agar angin malam dan sinar sang dewi malam dapat menemaninya dalam menyelesaikan rumus-rumus rumit malam ini.

***

Pagi-pagi sekali, Juna sudah ada di sekolah lantaran ada beberapa hal yang musti ia lakukan sebelum jam pelajaran di mulai.

Cowok itu sebetulnya sudah muak dengan hadiah; mulai dari bunga, cokelat surat dan lainnya yang memenuhi mejanya.

Mereka menaruh hadiah-hadiah yang menurut Juna unfaedah itu saat Juna tidak ada.

Setiap pagi Juna harus sibuk membuangnya ke tong sampah. Atau sesekali iseng menaruh ke laci meja teman sekelasnya.

"Ya elah, mubazir tau Jun."

"Ambil kalau mau, gratis," sahut Juna pada Ken yang baru sampai.

"Ogah!" Ken mengikuti langkah Juna masuk ke dalam kelas.

Beberapa menit kemudian siswa kelas unggulan berdatangan, untung saja meja Juna sudah bersih.

Mereka yang kedapatan hadiah mulai heboh. Juna tak tertarik dengan kelebihan tersebut, karena sejatinya sampah-sampah itu dari Juna.

Beberapa saat kemudian terdengar suara ponsel secara bersamaan. Semua orang mendapatkan notifikasi yang sama, begitupun dengan Juna. Mereka cepat-cepat melihatnya.

Di sisi lain, Anna merasa tak nyaman dengan pandangan orang-orang terhadapnya. Sedari tadi, di sepanjang koridor semua tampak menyorotinya dengan tatapan yang tak bisa ditebak.

"Gak salah si, dia kan dari kalangan anak beasiswa."

"Gak bersyukur banget!"

"Harusnya dia jaga nama baik sekolah, bukan malah ikut rusak ya ga sih?"

"Najis banget, diem-diem jadi jalang!"

Dalam sekejap semua orang melemparinya dengan kertas yang sudah dibulat-bulat.  Seketika Anna berlari menjauh. Gadis itu masih tidak paham atas apa yang terjadi.

"Aneh banget, emang salah gue apa?" Anna masuk ke toilet untuk menghindari dari orang-orang.

Sebelum masuk, Anna mendengar celotehan dari siswi-siswi di dalam sana. Lagi-lagi mereka membicarakan Anna.

"Gila gak si, akal beasiswa yang namanya Anna ternyata hamil!"

Degh!

Antara ingin marah dan tak percaya dengan apa yang baru saja masuk ke gendang telinga Anna. Bisa-bisanya ada orang yang membuat berita tidak benar mengenai dirinya.

Anna menerobos masuk dengan berani dan merampas ponsel mereka. Ia melihat wajah dirinya sedang memegang tespact terpampang jelas di sana.

avataravatar
Next chapter