webnovel

Bab 9

Lorne menggandeng tangan Rachel, menuntunnya melalui beberapa gedung tinggi khas Berlin. Rachel tidak peduli dimana ia berdiri sekarang. Ia juga tidak peduli kemana kakinya melangkah. Ia hanya peduli jika Lorne ada disisinya. Menyisihkan ribuan masalah demi dirinya, untuk mengajaknya menikmati siang dan malam bagian dunia lainnya. Setidaknya Rachel bersyukur mengenai Shane yang mendadak bicara omong kosong, yang pada akhirnya membuat lelaki yang ia cintai ini menjaga dirinya jauh-jauh dari rumah.

"Lorne," panggil Rachel.

"Mmmmh?"

"Mengapa aku tidak pernah merasa, kau pernah mencintai seseorang?"

Lorne menghentikan langkahnya. Ia memandangi wajah Rachel. Wajah yang masih polos dan masih dengan lelah manja yang berlebihan. Wajah Rachel adalah apa yang dapat ia nikmati. Mengingat mengapa ia berhenti sekarang, ia mengerang dalam hati. Mengapa bisa pertanyaan sadis itu keluar dari mulut Rachel?

"Berhentilah membuatku merasa ingin untuk menikahimu," kata Lorne sembari melanjutkan langkahnya.

Rachel menatap usil Lorne. Ia tahu Lorne tidak sedang bersungguh-sungguh. Lelaki itu tidak terlihat seperti mencintainya. Walau kadang Lorne bersikap aneh. Terkadang ia marah 'tak jelas atau murung ketika melihat Rachel menangis. Atau seperti sekarang, melarikan diri dari dimana seharusnya ia berada.

"Kau tidak mungkin benar-benar ingin menikahi anak dibawah umur, 'kan?" goda Rachel.

Lorne melirik Rachel. "Kau tahu otakku tidak waras," sahutnya asal. "Darimana kau berpikir aku tidak pernah mencintai seorang pun?"

"Entahlah, mungkin karena aku 'tak pernah melihatmu benar-benar memandang seorang wanita."

"Kalau begitu kau lelaki."

Rachel merasa aneh mendengar jawaban-jawaban Lorne. Jawaban-jawaban 'tak masuk akal. Jawaban yang membuat hatinya kembali memuncak. Namun Rachel juga tersadar, ia juga membutuhkan lelaki itu untuk mencintainya. Lorne sudah terlalu jauh membuat dirinya terasa dicintai dan kadang tidak begitu. Setidaknya jika ada satu saja jawaban sederhana dari Lorne, ia bisa lebih berhati-hati dalam bersikap kepada Lorne.

"Kau mencintaiku?" tanya Rachel ragu.

"Kau 'kan adikku," sahut Lorne tanpa basa-basi.

Hati Rachel mencelos tepat ketika kalimat itu mengudara. Kalimat serupa yang ia lontarkan kepada Shane tadi pagi dihantamkan kembali padanya oleh orang yang sangat ia cintai. Rachel sangat mengerti akan tindakan bodoh Shane berikutnya adalah hal yang wajar. Karena ini begitu menyakitkan.

"Kau bilang kau memandangku. Kau ini bagaimana?" gerutu Rachel.

"Dan kau kira aku mencintaimu?" Lorne mengacak rambut Rachel dengan sangat lembut, penuh kasih sayang. Lalu Lorne mencium punggung tangan Rachel. "Aku memandangmu 'tak sama seperti wanita lain. Kau memang berbeda, Rachel. Tapi bukan berarti aku mencintaimu."

Rachel mengurungkan niatnya untuk menunjukkan rasa pedih dalam dadanya. Matanya panas. Dadanya bergemuruh menolak jawaban itu. Hatinya teriris, namun ia lebih senang menyembunyikan perasaannya. Seperti sebelumnya, Lorne tidak perlu tahu. Lorne hanya harus seperti ini untuk selamanya. Rachel sudah tahu ia tidak dicintai. Tapi cinta sebagai adik, itu 'tak apa. Disayangi, dilindungi layaknya seorang adik, sungguh Rachel 'tak keberatan sama sekali. Ia sudah cukup dengan perhatian Lorne yang berlebihan. Yang terpenting hanyalah perasaannya 'tak mati di tangan yang salah.

"Kalau begitu aku 'tak perlu khawatir," ujar Rachel dengan nada yang dipaksakan terdengar riang.

"Khawatir untuk?" tanya Lorne bingung. Biasanya Rachel 'tak pernah membingungkan.

Rachel mengikatkan tangannya pada lengan Lorne; begitu kuat dan penuh cinta. Kepalanya disandarkan secara manja pada pundak Lorne, melekatkan hatinya agar 'tak kentara. Senyuman yang dipaksakan. Air mata yang menetes, untung Rachel cukup kuat hati untuk menyembunyikannya. Ia lekatkan air mata itu pada lengan yang masih ia peluk dengan erat. Lorne hanya tersenyum, setengah menikmati.

"Jadi?" tanya Lorne mengingatkan.

Rachel menatap mata Lorne, merasa harus untuk menjawab. Yang tentunya akan menyakitkan batinnya karena harus berbohong kepada Lorne. Rachel mengambil tindakan yang mungkin cukup adil untuk saat ini. Menepukkan tangan kanannya pada dada Lorne secara pelan, memberi kesan menguatkan. Seolah Lorne yang kali ini akan terluka.

"Aku tidak perlu khawatir karena harus menolak dua kakak-beradik dalam satu hari," ujar Rachel penuh kebohongan.

Lorne tersenyum; mengacak rambut Rachel sekali lagi lalu tertawa kecil melihat penampilan wanita disampingnya kelewat berantakan. Tangannya yang bebas ia gunakan merapikan rambut wanita itu.

**

Lorne kembali menghentikan langkahnya tepat di muka gang sempit yang terlihat sedikit tidak bersahabat. Rachel mengeratkan pegangannya, merasa ingi dilindungi. Sedangkan Lorne mengerang dengan sangat dalam. Ia menggerutu dalam hati. Bergumam 'tak jelas namun cukup untuk menarik perhatian Rachel.

"Ada apa?"

Lorne mengerang sebelum akhirnya benar-benar menanggapi Rachel. "Aku benar-benar lupa gang mana yang harus kita lewati."

"Mungkin yang ini?" tebak Rachel.

"Darimana kau tahu?" tanya Lorne bingung.

"Karena kau berdiri disini. Um, tidak-tidak. Karena kau berhenti disini," koreksi Rachel.

Lorne kembali mengerang. Membuat Rachel menatapnya bingung. "Aku lapar. Berhenti disini 'tak membuatku kenyang."

"Tunggu sampai aku ingat," sahut Lorne dengan nada kesal.

Lorne menatap Rachel dengan penuh sesal lalu kembali memerhatikan gang mana yang harus ia pilih.

"Kau benar-benar lupa? Kukira kau becanda," goda Rachel.

Lorne mendekatkan bibirnya pada telinga Rachel. "Aku tidak pernah ingat yang mana gangnya."

Rachel menepuk dahi Lorne dengan sedikit keras. Dalam hatinya ia sedikit bersyukur karena ia tidak pendek. Lorne mengaduh cepat, mengelus dahinya lalu menepuk dahi Rachel sama kerasnya.

"Kau ini kenapa?" gerutu Rachel sembari memijat dahinya. "Coba saja gang yang ini."

"Aku yakin gang kedua."

"Sebelum ini juga ada gang."

"Tidak, tidak. Pasti yang depan."

"Kau terlalu yakin."

"Gang kecil yang kedua maksudku," ujar Lorne meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia benar.

Rachel hanya bisa mengikuti arah langkah Lorne, mendecak kesal karena ditengah kelupaannya, Lorne masih bisa bersikap sok benar. Lorne berjalan menuju gang berikutnya. Ia kukuh sekali, batin Rachel. Langkah keduanya hampir sampai pada gang yang dimaksudkan oleh Lorne, sebelum telinga mereka dihantam sebuah suara yang begitu halus.

"Weinston?"

Sontak Lorne dan Rachel menoleh bersamaan. Wanita cantik dengan parasnya yang begitu anggun dan memesona. Badannya sama bagus dengan tubuh Rachel. Tapi yang ini, jauh lebih tinggi. Wanita itu berjalan mendekati Rachel dan Lorne. Rautnya tidak menunjukkan kesan yang baik saat bertanya dengan nada datar yang menghangatkan hati itu.

"Sedang apa kau disini?" tanyanya.

"Well, rumah bibi Grasia," jawab Lorne cepat. "Sedang apa kau disini?"

Wanita itu menodongkan jarinya melewati jalanan dibelakang Lorne. Sebuah gang. "Lalu apa yang kau lakukan di gang itu?"

"Well, rumah bibi Grasia," ulang Lorne.

Wanita itu tersenyum lebar ketika kalimat yang sama terucap dari bibir Lorne. Ia menahan tawanya sendiri. "Gangnya yang ini Lorne."

Rachel melempar pandangan bahagia merasa menang, sedangkan Lorne hanya diam mendapatkan tatapan seperti itu. Rachel dan Lorne mengikuti dibelakang wanita asing bagi Rachel, yang tampaknya cukup dikenal oleh Lorne. Mengingat sikap Lorne yang sekenanya, 'tak bisa mereka dibilang dalam radar dekat.

"Sudah kukatakan gang tempat kita berhenti tadi. Jangan sok benar saat bersamaku," tutur Rachel bangga dan penuh percaya diri. "Kalau mau kemari lagi, ajak aku. Aku pasti akan mengingatnya untuk dirimu."

"'Tak usah tersenyum seperti itu, nanti kau kutinggal," goda Lorne asal.

Rachel mempererat pelukannya pada lengan Lorne. Ia masih bisa bahagia. Walau hatinya terluka sedemikian rupa oleh Lorne. Ya, beberapa saat yang lalu. Rachel juga tahu jika godaannya barusan tidak berarti apa-apa. Tapi 'tak apa. Lorne memang begitu menantang. Rachel terima.

Tangan Lorne yang bebas meraih tangan Rachel yang memeluk lengannya. Lorne memindahkan pada posisi yang lebih nyaman. Menggenggam jemari wanita disisinya. Itu terlalu kuat. Seperti ada secercah perasaan dilemparkan dalam satu sentuhan. Membuat Rachel sedikit meringis, hanya saja Lorne tidak melihat reaksi dadakan tersebut.

Wanita yang terasa asing bagi Rachel itu memasuki sebuah rumah yang tampak sangat sederhana, namun nyaman melekat disana. Rachel mengedar pandang ketika kakinya tiba di ruang tamu; menemukan beberapa foto Lorne dan juga Shane tergantung di dinding rumah itu. Namun matanya jatuh hati ketika sesosok anak lelaki bekisar umur 3 tahun duduk manis sambil memangku bayi yang begitu mungil. Senyumnya terbingkai, membiarkan Lorne mengamati. Lorne selalu kalut melihat senyuman Rachel. Senyum yang selalu lugu dan penuh dengan kehangatan, kebahagiaan, rasa tenang yang membuat Lorne 'tak bisa jauh dari senyuman itu.

"Hei, kau tampak sangat manis." Rachel mengangkat sebingkai foto dan menunjukkannya pada Lorne. Rachel perlu untuk memecahkan keheningan. Lagipula ia tertarik pada foto mungil itu.

Lorne berjalan ke arah Rachel. Mendekatkan pandangannya pada foto yang ditunjukkan oleh Rachel. Senyum Lorne mengambang. Sedikit geli, sedikit panas. Hatinya masih bingung sekarang terletak pada ranah mana. "Itu Shane."

"Oh," desah Rachel 'tak enak hati. Ia malu sekali telah salah mengenali foto kakak-beradik Weinston. "Lalu siapa bayi yang dipangku Shane?"

Lorne memutar tubuhnya, melingkarkan kedua lengannya pada tubuh Rachel. Memeluk Rachel dengan sangat mesra. Oh, jika aku yang disana pasti aku sudah salah paham. Lorne membenamkan wajahnya pada lebat rambut Rachel. Membisikkan kalimat merdu dengan begitu lirih, membuat Rachel bergidik ngeri.

"Kau." Begitu. Memang cukup begitu untuk membuat Rachel terpesona bahwa dirinya dekat dengan Shane bahkan semenjak ia bayi. "Kau hampir terjatuh dari pangkuannya."

Tepat ketika Rachel bergidik mendengar ucapan Lorne, seorang wanita berusia sekitar 45 tahun keluar sambil membawa senampan kue kering yang baru saja keluar dari oven. Tatapannya merasa aneh menatap pelukan itu sangat tidak sopan dilakukan di rumahnya. Grasia berjalan menawarkan kue hasil buatannya kepada Lorne dan Rachel. Lorne mengambil dua kue. Satu untuknya, dan yang satu diberikan kepada Rachel. Lorne membentuk sudut 'terima kasih' dalam kecupan yang ia layangkan dengan gesit. Lorne memeluk Grasia penuh dengan kasih sayang.

"Apa kabarmu?" tanyanya.

"Baik, Bi. Kau tampak sangat sehat."

"Begitulah, Nak," ujarnya sambil meletakkan nampan itu pada meja tamu.

Lorne memeluk Grasia sekali lagi. "Syukurlah. Karena aku kemari untuk menumpang makan. Aku dan gadisku sudah sangat lapar, Bi."

Wow, Lorne. Gadisku? Mungkin itu sedikit berlebihan untuk mengungkapkan jika Rachel adalah adik jarak jauhmu.

Grasia mencubit lengan Lorne dengan keras hingga Lorne menggosok kulitnya guna menahan sakitnya. "Kalau ada maunya, kau baru kemari."

Lorne menggaruk tengkuknya yang 'tak gatal. Menebar senyum yang tidak perlu. Detik berikutnya, Lorne meraih pinggul Rachel. Menariknya untuk mendekat kepada Grasia. Pandangan Lorne 'tak henti-henti memuji keindahan wajah Rachel, membuat Grasia begitu tertarik. Begitupun dengan wanita pertama yang mereka temui diujung gang.

"Rachel," ujar Rachel sambil mengulurkan tangannya. Namun Grasia lebih memilih untuk memeluk Rachel dan mengabaikan uluran tangan Rachel.

"Weinston," tambah Lorne.

Grasia menjauhkan tubuhnya dari Rachel. Sejenak mengamati, kemudian memandang Rachel dari atas hingga bawah. Gelagat Grasia tidak dapat ditebak oleh Lorne. Hanya saja ia sangat penasaran karena selepas ia menjauhkan tubuh Rachel dari tubuhnya, Lorne kembali melekatkan tangannya pada punggung Rachel dengan sikap sopan yang 'tak ia kurangi.

"Rachel Weinston?" Nada rancu mengudara namun membuat Lorne mengumbar senyumnya dengan penuh girang, membuatnya memeluk Grasia dan Rachel dalam satu dekapan.

"Akhirnya kau ingat, Bi."

"Ingat?" tanya Grasia bingung. "Ingat apa?"

Lorne mengernyitkan dahinya. Begitupun Rachel. Juga wanita yang bersandar menanti jawaban Lorne. Namun kernyitan ketiganya memiliki makna yang sangat bersimpangan.

"Kau ingat padanya 'kan, Bi?" Lorne ragu, namun ia tetap mengucapkan kalimat itu.

Kini Grasia yang mengernyitkan dahinya. Rachel mendekatkan tubuhnya dengan Lorne, berkata dengan sangat lirih. "Aku belum pernah bertemu dengannya."

**

Grasia menatap Lorne tanpa mengelurkan suara. Ekspresinya tidak dapat ditebak. 'Tak sadar Lorne menarik Rachel mundur guna menjauhi Grasia. Namun Grasia menahan kedua tangan Rachel tetap dalam genggamannya. Kernyitan di dahinya menebal. Matanya masih mengamati Rachel, sesekali melihat Lorne yang tampak takut dengan apapun ekspetasi bibi kesayangannya.

"Tenanglah. Aku 'tak akan melukai istrimu, Lorne." Rachel terhenyak dari pelukan Lorne. Rachel juga mampu melihat perubahan ekspresi wanita yang ia temui tadi. "Lagipula bagaimana aku bisa ingat jika dirimu 'tak pernah membawanya kepadaku. Dimana Shane?"

Sesaat Lorne berhasil melupakan Shane. Rachel juga 'tak begitu spesial dalam mengenang memorinya dengan Shane. Keduanya menegang secara bersamaan. Oleh 3 pernyataan yang tanpa basa-basi diucapkan oleh Grasia.

"Aku akan memarahinya karena tidak memberitahukan kepadaku kau telah menikah. Kau mungkin sibuk bermesra dengan istrimu, tapi setidaknya Shane bisa berbaik hati kepadaku. Apa aku tidak penting?" tambah Grasia.

Lorne dan Rachel menganga serempak. Lorne hendak membuka mulutnya untuk menepis kesimpulan dari Grasia, namun perhatiannya teralihkan ketika Grasia mengeluarkan ponselnya dan hendak menghubungi Shane. Dengan gesit Lorne mengambil ponsel Grasia dan menunjukkan ekspresi memelasnya. Ini kali pertama Rachel melihat puppy face ala Lorne.

"Tolong jangan beritahu Shane kami disini. Aku sedang kabur darinya."

"Well," Sebuah tangan terulur menjamu Rachel dengan sikap yang tenang. "Kita belum berkenalan dengan benar. Renatta Sheany."

"Rachel."

"Weinston?" Senyuman Renatta seakan dipancing untuk dapat tampil seindah itu. "Baiklah katakan mengapa aku harus tutup mulut agar tidak memberitahu Shane."

Lorne hening. Ia hanya menatapi Rachel. 'Tak menatap Renatta sedikit pun. Memalingkan wajah pada Grasia saja ia tidak. Jika lelah menoleh, Lorne lebih memilih memejamkan mata. Keheningan ini tampak sangat menggelikan bagi Rachel. Membuat kerongkongannya terasa gatal.

"Ah, kalau aku bilang tentang hati, apakah make sense?" tutur Rachel sambil menggantungkan senyumnya.

Grasia menggantikan posisi lengan Lorne. Ia menuntun Rachel menuju ruang makan. Lorne mengikuti setelah Renatta. Grasia menyambut kehadiran Rachel tidak dengan sesuatu yang istimewa, namun cukup mencairkan kesalahpahaman yang sedang terjadi diantara mereka.

"Kau tidak datang di waktu kami makan. Tapi aku mempersiapkan sesuatu yang nikmat untuk dirimu," ramah Grasia.

"Untuk dirimu," ulang Lorne. "Baiklah, bagaimana denganku, Bibi?"

Renatta menuangkan jus jeruk ke dalam gelas sambil tersenyum memerhatikan Lorne. "Biasanya kau puas dengan selai jahe."

"Selai jahe?" tanya Rachel penasaran. Ia memiringkan kepalanya untuk menatap mata Lorne yang masih mengarah kepadanya. "Kau bilang kau membenci selai jahe."

"Oh?" tanya Renatta peduli dengan reaksi Rachel. "Padahal Lorne setiap hari merasa kenyang berkat selai jahe yang sering kubuatkan."

"Dulu. Kurasa tidak untuk sekarang." Sebuah senyuman mengakhiri kalimat Lorne.

Rachel disana. Jelas menangkap nada canggung diantara mereka. Mereka tampak asing, tapi mereka pasti pernah dekat. Ada apa? Perlukah Rachel tahu? Mengingat ia hanyalah adik jauh Lorne, apakah ia berhak tahu? Dia bukan siapa-siapa. Tidak seperti apa yang saat ini diketahui oleh Renatta dan juga Grasia. Jadi? Ia harus bertindak bagaimana?

Renatta memandangi Lorne dengan tatapan yang sulit ditebak. Setidaknya, Rachel tidak bisa menebak. Senyum singkat itu, juga sulit dibaca oleh Rachel. Hanya Grasia yang tidak begitu memperhatikan kejanggalan disisi ini. Atau Grasia pura-pura tidak memperhatikan.

"Biar kubantu," ujar Rachel pada Renatta. Rachel meraih piring Lorne. Mengambil tiga serangkul nasi, beberapa potong daging dan menuangkan saus merah pada nasi Lorne. Lalu ia berjalan pada posisi Lorne yang tampaknya kursi disebelah Lorne telah terisi oleh Renatta.

"Kau tahu, Bi? Lorne hampir memutari dua gang untuk menemukan rumahmu," ucap Renatta tiba-tiba. "Jika aku tidak tiba tepat waktu..."

"Sebenarnya Rachel sudah memintaku untuk mencoba gang kecil pertama. Namun aku menolak. Bi, menikmati Berlin dengan berjalan kaki bersama orang yang tepat serasa menyenangkan. Aku 'tak apa jika harus memutari dua gang hanya untuk sampai kemari," potong Lorne.

"Walau kau kelaparan?" tanya Renatta.

Kali ini Lorne memaksakan matanya menatap Renatta. "Ya, walau menahan lapar."

Sedari tadi Rachel belum duduk. Ia masih berdiri di tengah-tengah Lorne dan Renatta. Bukan karena ia 'tak ingin duduk. Tapi Lorne menautkan jemari keduanya. Ia juga memberanikan diri untuk menatap Renatta sekali lagi. "Maafkan aku, Nat. Sepertinya Rachel akan tetap duduk disisiku."

Rachel mengamati reaksi aneh Renatta. Ya, wanita itu tidak suka. Keberatan. Terluka oleh perkataan Lorne. Tapi apa haknya? Disaat Renatta tahu Rachel adalah istri Lorne? Rachel menepuk pipi Lorne lembut dengan tangannya yang bebas lalu mengulum bisik yang cukup keras. "'Tak masalah. Bibi Grasia sepertinya menyenangkan."

"Oh, Sayang," desah Grasia mendengar kalimat pujian terlontar untuk dirinya.

Renatta 'tak berkutik. Ia tidak menanggapi perkataan Lorne. Hingga Lorne terpaksa berdiri secara mendadak, meraih piringnya lalu menggandeng Rachel menuju kursi disebelah Grasia. Renatta hanya menatap miris kejadian yang baru saja ia lewati. Matanya tahu. Hatinya tahu. Renatta bukan siapa-siapa di mata Lorne.

"Jadi," Grasia angkat bicara setelah keheningan. "sudah nyaman?"

"Maaf, Bi. Aku hanya merasa dimana pun tempatnya, seorang putri harus selalu berada disisi pangerannya," tanggap Lorne akan sindiran Grasia.

"Oh, sungguh aku 'tak keberatan. Kau bisa makan, Lorne, Rachel." Grasia mempersilakan.