webnovel

Bab 6

Pantulan diri Shane cukup mengingatkannya betapa bosan ia menjalani hidup. Tentang wanita, tentang pekerjaan. Shane membenarkan posisi hem putih yang masih belum tertata dengan rapi. Dengan gerakan malas, ia mengancingkan lengan hem lalu menyisir rambutnya.

Shane menerawang dua hari belakangan ini. Menggantikan posisi kakaknya tidaklah mudah. Disamping ia 'tak merasa bebas dalam mengambil keputusan, Shane selalu merasa kelimpungan dihadapkan pada situasi hening di kantornya. Ia lebih bahagia berada di rumah, menghadapi laptopnya. Membaca beberapa cerita baru yang masuk ke emailnya. Namun entah mengapa hatinya berbicara perihal lain hari ini. Ia merasa hari ini begitu penting, sehingga membiarkan Lorne kembali pada posisinya akan membuat Shane menyesal berat.

"Shane?" suara lembut Rachel membuat telinganya berdengung.

Shane menoleh pada sumber suara. Matanya menangkap keanggunan Rachel. Ia menyipitkan kedua matanya, berusaha menyingkirkan gangguan wanita itu dalam kehidupannya. Sayanganya gagal. Rachel hanya tertawa lembut dan tetap melangkah ke arah Shane.

Rachel mengedarkan pandangannya guna menemukan barang-barang apa yang sekiranya Shane butuhkan. Selepas ia paham, tanpa berbasa-basi Rachel membuka lemari pakaian Shane. Ia mengambil jas dengan warna kopi. Langkah Rachel langsung mengarah pada tempat Shane yang berdiri sambil memandangi pantulan dirinya sendiri. Rachel menyampirkan jas yang ia bawa pada punggung Shane. Shane memasukkan kedua tangannya, sedangkan Rachel menunggu dihadapan Shane, menarik jas itu dengan hati-hati. Rachel mengancingkan jas itu dengan tempo yang begitu lama, berpura-pura tidak mahir dalam melakukannya.

Rachel tidak grogi, ia hanya berpura-pura. Rachel hanya ingin memperlama situasi menyenangkan itu. Matanya tidak lari dari kancing yang sedari tadi ia mainkan. Rachel menatap mata Shane sejenak, tersenyum, lalu berjalan mendekati meja tempat Shane menyimpan berbagai macam dasi yang sangat Rachel sukai. Ia meraih satu dasi yang memiliki warna senada dengan jas yang ia pakaikan pada Shane tadi, ditemani hiasan kupu-kupu yang sangat mungil yang bahkan hampir tidak terlihat bentuknya kecuali dilihat dari jarak yang sangat dekat. Rachel mengamati dasi itu sejenak, merabanya dengan penuh rasa bahagia. Senyumnya 'tak berjeda. Otaknya menerawang akan beberapa hal kecil yang begitu beruntung bisa ia dapatkan. Detik berikutnya, Rachel berjalan untuk mengambil posisinya yang semula. Dihadapan Shane, merapikan dasi pilihannya.

Shane hanya diam. Ia menerima setiap perlakuan Rachel. Dalam hatinya, ia bersyukur. Namun secara logika, ia ingin menolak. Bagaimana pun, Shane tetap kalah pada keadaan. Ia bergeming. Menikmati setiap sentuhan yang dihasilkan Rachel. Menikmati setiap senyuman yang benar-benar diarahkan padanya seorang. Tidak ada siapapun selain dirinya dan Rachel. Kali ini hati Shane benar-benar berharap bahwa Rachel dapat mengubah pandangannya tentang bagaimana membenarkan siapa yang pantas untuk dicintai.

"Sedang apa kau disini?" tanya Shane sambil memerhatikan Rachel yang sedang mengikatkan dasi pada lehernya.

Rachel masih fokus pada pekerjaannya. Ia hanya tersenyum semanis mungkin sambil berkata lirih, "Membantumu."

Shane memegang tangan Rachel, ia berusaha menarik arah mata Rachel dan memang berhasil. Rachel kini menatap tajam ke arah Shane. Tatapannya 'tak mengisyaratkan apapun. Benar-benar hanya sekadar menatap. Lembut, namun dingin. Entah apa maksud dibaliknya. Yang pasti Rachel tahu tatapannya cukup bersahabat.

Shane menangkupkan kedua tangannya pada kedua sisi kanan kiri pipi Rachel. Rachel memiringkan kepala sedikit, menikmati kehangatan lelaki itu. Namun dalam sedetik tatapan Rachel sudah kembali seperti semula. Shane mempersingkat jaraknya dengan wanita itu. Rachel terdiam. Ia 'tak memiliki kata apapun. Ia memilih diam. Bodohnya Shane sama. Diam. Apa-apaan ini?!

"Apa keyakinanmu itu masih sama, Rachel?" tanya Shane kemudian.

Rachel menurunkan kedua tangan Shane dari pipinya lalu melanjutkan pekerjaan merapikan dasi yang sempat tertunda. "Kau 'kan kakakku. Mana mungkin aku jatuh hati padamu."

"Kau kira Lorne itu siapa, hah?!" sentak Shane.

Rachel mengambil langkah mundur mendengar kekuatan suara Shane yang mendadak meninggi. Namun pada detik berikutnya, Rachel buru-buru membekap mulut Shane. Ia melangkah agar jaraknya dan Shane tidak terlalu jauh. Agar bisikannya lebih nyaring didengar.

"Kau diamlah. Jangan begitu. Jangan sampai Lorne dengar," bisik Rachel.

Shane terdiam lagi. Ia menyingkirkan tangan Rachel dari mulutnya lalu membenarkan dasinya sendiri. Shane memilih untuk duduk selagi merapikan penampilannya. Shane tersinggung. Selalu Lorne yang mendapatkan semuanya. Semua yang ia cintai. Hati mereka selalu berlari pada Lorne. Shane selalu kalah. Entah apa kemauan wanita-wanita itu. Ia dan Lorne adalah kakak adik. Berbicara tentang harta, Shane juga mampu memberikannya. Mengenai penampilan, bahkan wanita-wanita itu pun selalu mengakui Shane lebih tampan. Lorne hanya menang kewibawaan. Shane mendengkus kasar. Ia berdiri sambil memasang raut 'tak nyaman akan keberadaan Rachel juga pemikiran-pemikiran yang baru saja terlintas.

"Shane, maafkan aku," desah Rachel.

"'Tak apa. 'Tak usah kau pikirkan," sahut Shane dengan nada malasnya.

"Shane, kau paham. Hati 'tak bisa memilih. Jika boleh memilih aku pun akan memilih dirimu. Tapi aku 'tak bisa," ujar Rachel lirih. Sangat lirih.

Rachel terduduk pada kursi paling dekat dengannya berdiri. Setitik air mata mengalir dan jatuh pada telapak Shane. Rachel mendongak. Shane menghapus butiran yang masih terdapat pada pipi Rachel menggunakan ibu jarinya. Rachel hanya bisa menatap lelaki itu. Tatapan bersalah, tatapan menyesal, tatapan penuh ketakutan dan tatapan 'tak tahu harus apa. Ia menunduk tiba-tiba, membiarkan air matanya jatuh lagi. Namun Shane berlutut tepat dihadapan Rachel, menyetarakan pandangan mereka. Shane menatap mata cokelat itu. Mata yang kini penuh dengan luka akibat kecerobohannya.

Shane memeluk Rachel. Mendekatkan bibirnya pada telinga Rachel. Rachel bergeming. Ia membiarkan Shane melakukannya. Ia tahu bahwa 'tak ada yang dapat mengobati kekosongan hati Shane selain membiarkannya. Rachel tetap meneteskan air mata itu. Menikmati setiap hembusan napas Shane yang menyentuh ujung telinga hingga leher indahnya. Rachel menarik napas panjang. Ia 'tak berani menoleh. Dalam hati, Rachel takut Lorne tiba-tiba melihat adegan ini. Tapi ia juga takut untuk memerintahkan Shane menjauh darinya. Astaga.

"Hatiku tetap milikmu," bisik Shane lembut. "Kapanpun kau siap untuk kembali padaku, aku akan selalu berada disini. Memelukmu. Memberimu kebahagiaan. Tentukan saja tanggalnya."

Rachel meneteskan air matanya lagi. Ia tahu cintanya kepada Lorne 'tak berbalas. Tapi ia juga 'tak mencintai Shane. Hatinya hancur. Ia bimbang. Rachel harus memilih yang mana? Seseorang dengan ribuan janji untuk membahagiakan atau seseorang yang telah merebut seluruh cintanya? Bagaimana jika akhirnya hanyalah kekecewaan?

"Aku mencintaimu, Rachel."

**

Sepotong roti melesat pada lidah Lorne. Matanya terpejam; gemingnya mengesankan betapa lezat roti-roti itu. Lorne menikmati beberapa potongan rotinya sebelum ia benar-benar menyadari ada sesuatu yang hilang dari pandangannya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru, namun ia tetap tidak menemukan sosok Rachel. Lorne mengernyitkan dahinya, bertingkah menahan gelisah. Ia tetap mengunyah sambil sesekali tersenyum ke arah Karla dan Rena, berpura-pura menyimak pembicaraan keduanya.

Tatapan Lorne sungguh jatuh pada titik yang salah. Lorne meletakkan rotinya yang masih tersisa; selera makannya hancur mendadak. Kedua matanya menangkap Rachel yang tengah bergandengan tangan dengan adik lelakinya itu; keluar dari kamar Shane. Bukan sentuhan itu yang mendadak membuatnya ngilu. Melainkan sembab mata Rachel yang semalam bahkan penuh dengan senyuman. Lorne berdiri perlahan, menarik perhatian Rena dan Karla. Lorne melangkah ke arah Rachel, mengaitkan tangan kiri Rachel pada lengan kanannya.

"Kupinjam dia sebentar," bisik Lorne.

Shane tidak langsung melepaskan genggamannya. Ia menatap mata Lorne sedalam yang ia bisa, membiarkan segala macam umpat kekesalan meluncur melalui koneksi hati antar saudara. Namun Lorne memalingkan wajahnya, seolah tidak tahan mendapatkan tatap itu. Shane mengakhiri ketegangan itu dengan sedikit desahan yang dipaksakan. Shane menepuk lembut tangan Rachel lalu melangkah menghampiri Rena dan Karla yang masih asyik berbincang-bincang.

Lorne menuntun Rachel menuju taman belakang, membiarkan kenyamanan menjadi milik Rachel seorang. Lorne mempersilakan Rachel untuk duduk terlebih dahulu. Tatapan Lorne mengarah lurus ke depan. Ia tidak tahu darimana harus memulai untuk mempertanyakan keadaan Rachel.

"Ada apa?" tanya Rachel.

"Hmm," gumam Lorne sambil menggeleng-geleng kecil.

Keheningan terjaga cukup lama. Pikiran Lorne mengambang pada situasi yang dihadapi Rachel sebelum ia keluar dari kamar Shane. Lorne takut gadis itu terluka, tapi ia sendiri 'tak memiliki alasan mengapa ia setakut ini. Lorne mendesah, Rachel memerhatikan.

"Ada apa denganmu? Aku mau makan," ujar Rachel kesal.

"Oh," gumam Lorne.

"Oh?!" sentak Rachel. "Ada apa denganmu?!"

"Kau yang ada apa?"

"Ada apa, apanya?" tanya Rachel kebingungan.

"Matamu sembab," kata Lorne lirih. Hatinya serasa terkoyak mengulang memorinya ketika menatap mata itu. Mata Rachel yang masih sama saat ini.

Sontak Rachel memegangi kedua matanya. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas lalu menatap Lorne. Rachel tidak mengerti mengapa itu sangat penting bagi Lorne. Ia saja tidak terlalu memedulikan sembab yang timbul akibat kejadian tadi.

"Lantas ada apa dengan mataku?" tanya Rachel berusaha berpikir positif.

Lorne menghadap Rachel. Ia memegang mata Rachel dengan kedua ibu jarinya. Lidahnya seakan kehabisan kata. Lorne hanya memiliki dua tangan, dua kaki, dua mata, satu hidung, satu mulut dan dua telinga. Lorne bingung. Ia bimbang. Ibu jarinya terus meraba kedua mata Rachel, menimbulkan kerutan pada dahi wanita itu.

"Lorne?"

Lorne masih terdiam. Ia menimbang-nimbang. Isi kepalanya acak. Hatinya ragu. Lorne mengambil gerakan singkat. Mendekatkan jarak diantara dirinya dan Rachel. Mengecup puncak kepala Rachel, mata kanan, kemudian mata kiri Rachel.

Rachel menganga. Lorne mendadak aneh hari ini.

"Shane melukaimu..."

"Tidak, Lorne," kata Rachel lirih. Ia memeluk Lorne kuat-kuat. Rasanya nyaman, Rachel 'tak bisa menyangkal. Matanya ia pejamkan, tarikan napasnya 'tak seberat yang awal. "Shane mencintaiku."