webnovel

Broken wedding

18+ Yang selalu Amara bayangkan dari sebuah pernikahan adalah laki-laki yang mencintainya, rumah tangga yang harmonis dan ... anak-anak yang menggemaskan. Tapi, bayangan itu semua hancur saat dia harus menikah dengan laki-laki dingin bernama Daneil Brown. Karena hutang budi, Amara tak dapat menolak saat kedua orang tua laki-laki itu memintanya untuk menikah dengan anak mereka. Sedari awal Amara tahu, pernikahan yang ia jalani adalah sebuah pernikahan yang rusak. Ia tahu pondasi awal pernikahan mereka sudah salah lebih dulu, jadi hanya menghitung waktu untuk bangunannya roboh. Tapi, Amara tak ingin pernikahannya benar-benar rusak. Ia terus berusaha untuk memperbaiki pondasi bangunannya. Ia terus berusaha mempertahankan pernikahannya meskipun ia tahu dirinya berjuang sendirian. Tapi, setelah berjuang yang tak ada artinya bagi sang suami. Pada akhirnya Amara menyerah. Dia biarkan bangunan itu roboh. Siapa sangka, ditengah keputusasaan Amara. Daneil malah berbalik arah, menginginkannya. Dia menahan Amara disaat wanita itu akan pergi. Tapi, semua sudah terlambat. Amara sudah pernah berjuang dan memberikan lelaki itu kesempatan, tapi lelaki itu menyia-nyiakannya. Dan kini, waktu yang Amara berikan sudah habis. Tak ada lagi kesempatan untuk laki-laki itu. Inilah pernikahan yang rusak.

CucokStory · Urban
Not enough ratings
160 Chs

lima belas

Amara tersenyum melihat bagaimana Adik, Bibi dan Pamannya tertawa. Tanpa sadar mata gadis itu sudah berkaca-kaca, terharu. Ketiga orang itulah yang menjadi semangat bagi Amara selama ini.

Amara memejamkan matanya erat, mengingat percakapannya tadi dengan Bibinya. Ia mulai berpikir apa yang akan terjadi jika Ia memberitahukan tentang bagaimana sikap Daneil yang sebenarnya kepadanya? Apalagi selain sedih. Oh, dan Amara tak akan sanggup melakukannya. Membuat ketiga orang itu merasakan kesakitan yang Ia rasakan.

Daneil

Ah, lelaki itu tak terlalu kejam. Buktinya Ia sudi untuk membantunya dalam menutupi kerusakan pernikahan ini. Padahal, Ia tahu lelaki itu sangat muak.

"Amara, makan ini!" Mengerjap, Amara memandang pamannya yang menyodorkan piring berisi kue buatannya tadi.

"Paman saja," ujarnya tersenyum, mendorong pelan piring itu kembali pada Pamannya.

Banu mengangguk. Meletakan piring itu kembali ke atas meja, setelah Ia mengambil sepotong untuknya makan.

"Jangan begitu mainnya bodoh!" Banu memukul pelan kepala David, saat merasa David akan membuatnya mati dalam pertandingan PS mereka.

"Hahaha... Lihat Paman, sebentar lagi Paman kalah." Ejek David, semakin bersemangat dalam memencet-mencet stik PS-nya.

"Hei, jangan mau kalah dengan bocah ingusan!" Teriak Siska pada suaminya.

"Tidak akan sayang, kamu tenang saja." Sahut Banu, tak mengalihkan pandangannya dari layar di depan sana yang menampilak permainan antara dirinya dan David.

"Awas saja sampai kalah,malu-maluin!"

"Kakak semangati Aku! Paman sudah disemangati Bibi, jadi Kakak harus memberikan aku semangat untuk mengalahkan Paman!" ujar David melirik Amara disela-sela permainannya. 

Mendengar itu, Amara tersenyum tipis. "Males, Kakak lebih memilih menyemangati Paman. Semangat Paman!" Serunya sengaja menggoda Adiknya.

"Bagus, Kamu memang keponakanku!" Banu tersenyum sambil mengacungkan jari jempolnya pada keponakan perempuannya.

David berdecak. "Kakak ini menyebalkan," gerutunya, tapi tetap fokus pada permainannya.

"Sudah cepat main saja!" Sepertinya Siska juga mulai penasaran siapa yang akan menang dalam permainan ini.

"HEI!" Teriak Banu saat layar lebar 21 inci itu menunjukan jika Ialah yang kalah dalam pertandingan PS melawan keponakannya sendiri itu.

"YEY! AKU MENANG, AKU MENANG, AKU MENANG..." sedangkan itu David langsung bangkit berdiri dan mulai berjoged kesenangan sembari bernyanyi.

"Kamu ini bagaimana, kenapa bisa kalah dengan anak kecil hah?!" Decak Siska galak pada suaminya.

Banu menggaruk tengkuk belakangnya yang tak gatal, sedikit banyak Ia merasa mali. "Itu hanya keberuntungan, sayang." ujarnya kemudian.

"Sudahlah Paman, akui saja permainanku memang lebih baik dari Paman."

"Diam! Ini hanya keberuntungan Aku bilang,"

"Halah, sudah kalah kok nggak terima." cibir David kembali duduk, kemudian mengambil kue di piring dan mulai melahapnya.

"Anak ini," gemas Banu meraih kepala David lalu Ia bawa ke ketiaknya. Membuat si empu berteriak tak terima.

"Paman! Lepas, Paman! Bau, Paman!" teriak David, memukul-mukul lengan pamannya berharap melepaskan kepalanya.

"Biar saja, pingsan saja Kau!"

"Heh! Lepaskan, bisa mati nanti itu bocah." Siska memberikan pelototan tajam pada Banu. Memberikan peringatan agar suaminya itu melepaskan kepala David, keponakannya.

Mendengar peringatan dari istrinya, Banu dengan segera melepaskan pitingannya. Ia tersenyum cengengesan pada Siska. "Tidak akan mati, itu tadi hanya pelan."

Plak!

Banu mendesis saat lengannya mendapatkan geplakan dari David. Lelaki muda itu menatap Pamannya dengan mata kesal dan nafas yang memburu. Mengusap-usap lehernya yang  terasa ngilu.

"Pelan apanya, rasanya leherku mau patah!" Kesal David.

"Ah, kau ini lebay David."

Amara menggeleng-geleng melihat itu. Ia hanya tersenyum tipis, Paman dan Adiknya itu memang selalu bertengkar. Bahkan dulu ketika Ia masih tinggal di rumah Paman dan bibinya mereka berempat kerap sekali seperti ini. Tentu saja Adiknya, Davidlah yang menjadi objek bulanan.

"Mau tanding lagi?" Tawar David setelah berhasil menormalkan deru nafasnya, Ia memandang Pamannya dengan kerlingan mata mengejek.

Banu mengibaskan tangan. "Capek Aku, kamu main sendiri saja." ujarnya.

David menyibir. "Bilang saja takut kalah lagi,"

"HEI! NGOMONG APA KAMU?! TIDAK ADA SEJARAHNYA PAMAN TAKUT KALAH, DIBILANG KAMU TADI HANYA BERUNTUNG KOK NGEYEL!" teriak Banu tak terima saat mendengar cibiran pelan dari keponakannya.

David tersenyum. "Iya Paman, iya. Gitu saja kok marah,"

"Kalian ini bertengkar terus memang tidak capek apa? Bibi yang lihat sampai bosan sendiri," kini Siska berucap.

"Sudah mainnya, Bibi mau nonton tv!" Siska mengambil remot. Mengganti saluran menjadi saluran tv. Membuat David berdecak tak terima.

"Tapi Bibi, Aku masih mau main." ujar David memohon.

Siska terlihat tak acuh. "Mainnya nanti lagi, sekarang gantian Bibi."

"Tap--"

"Pantas saja nilai kamu nggak pernah bagus, ternyata pinternya cuman main PS ya."

Mendengar ucapan itu, David menelan ludah. Ia kemudian memilih diam daripada harus semakin banyak mendapat omelan dari wanita empat puluh tahunan itu. Bisa-bisa sampai malampun Bibinya belum selesai marah-marahnya.

"Sudahlah, bagaimana kalau berenang?" Banu berucap pada David, tahu jika Keponakannya itu kesal karena permainannya yang berhenti karena ulah istrinya.

"Males ah Paman,"

"Kenapa?" Tanya Banu heran.

David menggeleng. "Males aja," Ia mulai berbaring di tikar bawah dengan kepala di sofa.

"Masih muda kok pemalas," cibir Banu.

David tak menimpali, memilih memejamkan matanya. Ia mendongak menatap Kakaknya yang memang sedari tadi tak banyak bicara. Kakak perempuannya itu hanya sesekali tersenyum atau tertawa pelan.

"Eh, Mara!"

Amara langsung menoleh pada Bibinya, ketika wanita itu memanggilnya. Ia menaikan alisnya seolah bertanya 'ya, ada apa?'.

"Kamu tidak mengantar makan siang untuk suamimu?" Tanya Siska dengan alis menukik.

Amara terdiam untuk beberapa saat. "Masih sebentar lagi untuk jam makan siang Daneil Bi," balasnya.

Siska mengangguk. "Bawakan juga brownis buatanmu tadi, pasti dia suka. Masih ada satu loyangkan tadi di belakang?"

Amara mengangguk pelan. "Masih,"

"Nah, bagus. Nanti bawakan juga untuk suamimu,"

Tiba-tiba saja David menegakkan tubuhnya, duduk. Menatap Kakaknya penuh harap. "Aku mau ikut dong Kak,"

Mendengar itu, Amara langsung menoleh pada adiknya. "Mau ngapain kamu ikut?" Tanyanya bingung.

"Aku mau melihat perusahaan Kakak ipar, Aku penasaran dengan perusahaannya yang besar. Hehehe... Barangkali setelah lulus Aku diajak kerja di sana, jadi Aku sedikit sudah tahu." ucapnya menaik-turunkan alisnya.

"Heh, Bocah gemblung! Harapanmu tinggi juga ya," Banu melempar wajah David dengan bantal sofa.

David tersenyum culas, menanggapi komentar pamannya. "Tidak apa-apalah Paman, apa gunanya punya Kakak ipar kaya dengan perusahaan besar dan banyak kalau Adik Ipar sendiri tidak diberi masuk ikut bekerja di perusahaannya."

Siska yang juga mendengarkan, mencebikan bibirnya. "Kakaknya yang dapat suami kaya, tapi adiknya yang matre."

"Aku tidak matre Bi, astaga!" Ia tepuk jidatnya kesal sendiri.

"Yasudah, kalau Kamu mau ikut tidak masalah." ujar Amara akhirnya.

Senyum David semakin merekah lebar. "Ah, sayang Kakak." ucapnya lebay dengan wajah berseri-seri.

Amara hanya menggeleng pelan mendengar itu. Ia kemudian memutuskan untuk bangkit berdiri melangkah ke dapur. Menyiapkan makanan untuknya nanti antarkan ke kantor Daneil, suaminya. 

"Cepat ya Kak, Aku sudah tidak sabar ini!" Teriak David yang melihat Kakaknya berlalu ke dapur.

***

Daneil menatap kosong ke depan. Terlihat jika laki-laki itu saat ini tengah memikirkan sesuatu hal. Hingga, membuatnya mengabaikan tumpukan dokumen di hadapannya. Dokumen yang bernilai milyaran itu.

Sinis, tiba-tiba saja Daneil tersenyum sinis. "Awas saja jika sampai dalam waktu tiga hari, keluarganya belum pergi." Gumamnya mengingat perjanjiannya dengan Amara. Yah, sedari tadi yang lelaki itu pikirkan adalah tentang Amara dan keluarga gadis itu.

Jujur saja, Daneil tak menyukai sandiwara. Menurutnya itu adalah hal yang sangat memuakkan. Di mana kita harus berpura-pura yang bertentangan dengan yang sebenarnya. Andai tak mengingat jika Amara tak memberitahukan tentang keadaan rumah tangga mereka pada Ibunya, mungkin saat ini Daneil sudah mengusir keluarga dari istrinya itu dari rumahnya. Tapi sayang, Daneil masih sangat ingat saat bagaimana Amara membela pernikahan mereka di depan Ibunya.

"Daneil..."

Mendengar suara pintu yang dibuka lalu ditutup kembali kemudian disusul suara perempuan yang mendayu manja. Membuat Daneil mengalihkan pandangannya. Lelaki itu memandang tanpa ekspresi pada wanita yang kini berjalan mendekat ke arahnya dengan berlenggak-lenggok.

Alexa

Dengan rok mini setengah paha dan sebuah blouse ketat yang menyembulkan sedikit payudaranya, Ia berjalan berlenggak-lenggok mendekati meja Daneil. Jangan lupakan senyum di bibir bergincu merah terang itu, oh sangat sengaja ingin menggoda. Sampai di samping Daneil, dengan segera Ia memeluk lelaki itu dari belakang.

"Apa kamu sibuk?" Tanyanya pelan, tepat di sebelah telinga Daneil. Kemudian dengan sengaja Ia meniup cuping telinga laki-laki itu, menggoda.

Daneil mendesis pelan.

"Apa kamu tidak merindukan aku? Kalau Aku sangat merindukan kamu," masih membungkuk di sebelah lelaki itu, Alexa semakin menjadi-jadi dengan mengelus jakun Daneil sensual.

"Apa maumu Bitch?" Desis Daneil.

Alexa menegakan tubuhnya, kemudian memutar kursi Daneil hingga mereka berhadapan. Wanita itu kemudian mengusap dada bidang Daneil yang terbungkus kemeja, lalu tangan lentiknya melepaskan jas milik lelaki itu.

"Kamu, Aku mau Kamu." ujarnya lalu mengambil duduk di pangkuan lelaki itu.

Ia mengusap rahang Daneil pelan. Menatap dengan mata polos. "Kamu juga mau Akukan?" Tanyanya masih setia mengusap rahang kokoh Daneil.

Daneil tak menyahut, tapi juga tak menolak sentuhan wanita itu. Pandangannya sudah penuh kabut menatap wanita di pangkuannya.

Alexa tersenyum miring melihat itu. Ah, memang tak sulit untuk menggoda Daneil sedari dulu. Lelaki itu tak akan mungkin tahan dengan godaannya. Hal itu jugalah yang membuat Alexa tak ingin mundur dari kehidupan Daneil.

***

Buat yang udah rindu berat!!!

Tapi aku belum ngajuin Premium, mungkin masih bulan depan:'(

Nb. Jangan lupa untuk selalu mendukung Amara, Daneil dan memberikan semangat unyukku selaku penulis, dengan cara memberikan power stone dan komentar di setiap Paragrafnya. Aku menunggu power stone dan komentar-komentar kalian oke:')

Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!

Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius

Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!

CucokStorycreators' thoughts