webnovel

Bayar Utang Judi

"Bayar utang ayahmu segera!"

Mata Sandra masih merah saat seorang penagih utang judi ayahnya datang siang ini. Sandra tak bisa berkata-kata mengingat hatinya masih terlalu sedih karena kematian sang ayah.

Ayah Sandra meninggal karena tabrak lari oleh sebuah mobil mewah di jalan sepi area Alam Sutra seminggu yang lalu. Pelakunya memang tak tertangkap namun karena kematian sang ayah kini Sandra dan adiknya harus pusing mengurusi wariasan utang yang tak pernah mereka ketahui sebelumnya.

"Berapa utang ayahku?" tanya Kiran, Adik Sandra memberanikan diri.

"Lima belas juta! Aku beri waktu dua minggu atau rumah ini akan aku bakar!" ancam penagih utang itu ketus.

"Percuma kau marah, toh kami sedang tak memegang uang yang kalian mau!" jawab Kiran.

"Aku tak mau tau, aku kasih waktu dan saat aku kembali kalian harus melunasi utang judi ayahmu."

Brak....

Pintu rumah Sandra di banting dengan keras penagih utang membuat Sandra dan Kiran terdiam sesaat.

"Teganya Ayah membuat kita terjepit begini," gerutu menahan tangisnya.

"Sudahlah, jangan salahkan Ayah, dia juga tak akan membantu kita?" tegas Sandra mulai memikirkan jalan keluar.

"Iya, aku tau Kak, kita harus bagaimana sekarang?" Wajah Kiran mulai ketakutan lalu menggoncangkan bahu kakaknya.

"Mmm, Biar aku minta tolong HRD, siapa tau mereka butuh perawat!"

Sandra Ananda memang seorang perawat khusus orang kaya dengan gaji yang tak sedikit, dia memilih pekerjaan ini selain karena gajinya besar merawat secara pribadi membuatnya tak usah mengikuti jam kerja rumah sakit yang padat.

Namun sayang beberapa bulan belakangan, dia tak mendapatkan pekerjaan karena banyaknya pesaing di pekerjaan ini yang lebih cantik, mahir dan pasti lebih berani dalam melayani tuannya. Hal yang paling haram untuk gadis muda ini.

"Kau yakin akan dapat kerja secepat itu? Waktu kita hanya dua minggu!" gerutu Kiran yang tak yakin.

Sandra menangguk, "Pasti! Temanku pasti akan membantuku!" ujarnya yakin lalu bersiap menuju agen perawat tempatnya bekerja.

**

Agen Perawat.

"Permisi!" sapa Sandra lalu memasuki ruang HRD.

"Sandra, kebetulan sekali kau datang," sapa Bianka senang melihat kedatangan Sandra sore itu.

Sandra menarik garis senyumnya lalu mulai menghela nafas untuk mulai bicara, "Aku..."

"Iya, aku tau. Kau butuh pekerjaan, kan?" tanya Bianka ringan lalu menyodorkan sebuah surat kerja kepada Sandra dan mempersilahkannya membaca terlebih dulu,

"Begini, jadi ada orang kaya yang sedang sakit, tapi tak ada perawat yang kuat bekerja di tempat ini. Aku rasa kau akan sanggup bekerja di sini?" jelas Bianka sambil menunjukkan nama pasien yang harus di rawat oleh Sandra.

"Siapa? Brian Diono?" Sandra mencoba membaca nama yang tertera.

"Iya, dia CEO. Katanya dia kecelakaan hingga kakinya retak. Tapi dia rewel dan tak ada perawat yang sanggup menghadapinya, bisa ya kau bekerja untuknya," pinta Bianka sambil menggenggam tangan Sandra.

Sandra terdiam, dia teringat akan nama pria yang dulu pernah di pacarinya sejak SMA namun kemudian memutuskan cinta mereka hanya gara-gara keluarga Sandra adalah keluarga paling miskin di sekolah itu.

"Aku..." Kata-kata Sandra terhenti, dia ingin sekali menolak tapi dia tak sanggup jika sampai penagih utang kembali ke rumahnya.

"Mau, ya. Aku sudah tak ada orang lagi, gajinya besar kok, 2 juta sehari. Aku rasa itu cukup untukmu dan adikmu!" jelas Biarnka yang tau ayah gadis ini baru saja meninggal.

"Mau!" ucap Sandra tak yakin.

"Bagimana?" tanya Bianka lagi memastikan keputusannya.

"Iya, saya mau. Saya akan bekerja di tempat ini," janji Sandra dengan senyum yang lebar.

"Baiklah, kalau kau sampai bisa bertahan di tempat ini aku akan sangat berhutang budi kepadamu." Bianka tersenyum lalu mulai memberitau detail pekerjaan Sandra,

"Perlu kau ketahui, kau harus bekerja mulai besok dan Ini alamatnya!" Biankan lalu menyodorkan sebuah kartu nama berisi alamat Brian Diono, pasien Sandra saat ini.

Dengan mata masih sedih, Sandra meraih kartu nama itu lalu mengucapkan terima kasih berkali-kali pada Bianka lalu meninggakan kantor agensinya.

**

Keesokan Harinya.

Rumah Brian Diono.

Setelah berpamitan dengan Kiran, Sandra bergegas menuju rumah Brian dengan ojek online pagi ini.

Rumah Brian terletak di salah satu sudut perumahan mewah Alam Sutra-Tangerang yang tak jauh dari tempat kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya.

"Permisi.." sapa Sandra lalu masuk ke halaman rumah mewah yang luasnya menyerupai lapangan sepak bola.

Seorang pria tinggi besar yang merupakan petugas keamanan yang kemudian menghampiri Sandra, "Siapa?"

"Saya Sandra Ananda dari agen penyalur perawat!" Sandra menyodorkan map berisi perintah kerjanya.

"Kau yang akan merawat, Tuan?" tanya petugas keamanan itu basa basi, "Mari masuk!"

Sandra tersenyum lalu berjalan mengikuti penjaga rumah itu ke dalam rumah mewah berlantai tiga yang nampak sangat megah sehingga membuat Sandra sangat takjub.

Mereka berdua terus berjalan memasuki lorong-lorong di rumah itu hingga terhenti tepat di pintu kamar belakang yang khusus untuk para pekerja.

"Ini kamarmu!" ujar pria paruh baya itu lalu membukakkan pintu kamar untuk Sandra.

"Terima kasih!" tutur Sandra dengan lembut, "Boleh saya tau keadaan, Tuan?"

"Tuan, tak bisa berjalan. Kakinya digibs jadi kau harus selalu di sampingnya," jelas penjaga rumah itu.

"Kenapa dia sampai terluka parah?"

"Dia bertengkar hebat dengan tunangannya, hingga tak bisa mengontorl laju mobil dan kabarnya menabrak seseorang di jalan hingga meninggal dunia, tapi entahlah. Aku juga tak tau persis apa yang terjadi!"

"Apaa?" Sandra membolakan matanya, "Kapan?"

"Seingatku seminggu yang lalu di area Alam Sutra dekat rumah sakit!" tegas pria itu lagi, "Kau istirahat dulu saja, nanti kita bicara lagi. Rumah ini tak punya banyak petugas keamanan hingga aku harus bulak balik!" jelas pria itu lalu berlalu.

Mata Sandra masih membola, dia kini menduga Brian adalah orang menabrak ayahnya hingga meninggal minggu lalu di area Alam Sutra-Tangerang persis dengan letak kejadian yang diceritakan penjaga rumah.

"Ah, tidak. Ini masih belum pasti. Mana mungkin dia yang melakukannya! Jangan buruk sangka dulu, Sandra" bisiknya dalam hati lalu mulai memasuki kamar untuk membereskan pakaiannya.

Kreek...

Sandra menutup pintu lalu berjalan masuk ke dalam kamar, satu stel baju perawat dengan warna pink muda sudah di letakkan di atas tempat tidur dan tanpa banyak bertanya gadis muda ini segera mengenakannya.

"Bagus juga bajunya!" ujar Sandra sambil berdiri di depan cermin yang terpajang cantik di dinding.

Merasa sudah terlalu lama berdiam di dalam kamar, Sandra lalu berjalan keluar untuk sekedar memperkenalkan diri dengan penghuni rumah.

"Selamat pagi?" sapa seorang wanita paruh baya yang melihat Sandra keluar dari kamarnya.

"Pagi, saya, Sandra!" sapa Sandra ramah lalu menarik senyumnya lebar.

"Kau perawat, Brian?" tanya pelayan senior itu yang bernama Bani.

Sandra tak menjawab, dia hanya mengangguk.

"Ikuti aku," Bani lalu menuntun Sandra menaiki anak tangga berbahan kayu berwarna coklat tua dan berjalan menyusuri lorong hingga tiba pintu kamar Brian.

"Ini kamar, Brian!" ujar Bani membuat jantung Sandra berdegup sangat cepat, tak terbayang olehnya bisa kembali bertemu dengan mantan kekasihnya jaman sekolah dulu dalam keadaan seperti ini.

"Aku lupa bilang, mata Brian juga masih di tutup kain kasa karena terkena pecahan kaca saat kecelakaan, jadi usahakan kau membantunya melakukan apapun tanpa banyak berbicara karena dia sedang sangat sensitif!"

Sandra tersenyum, tentu dalam kondisi mata tertutup kecil kemungkinan Brian akan mengenalinya.

Kreeek...

Bani memasukki kamar tuannya lalu mengabarkan kedatangannya, "Brian, ini perawat barumu,"

"Masuk!" jawab Brian lirih.

Sandra lalu melangkah masuk tanpa banyak bicara seperti pesan Bani.

Kondisi CEO muda itu dalam keadaan Mata Brian tertutup kasa dan kakinya di gips. Sangat menyedihkan.

"Sebutkan namamu!" pinta Brian membuat jantung Sandra kembali berdegub kencang.

"Nama saya..." Sandra memejamkan mata mencari nama samaran.

"Siapa?" tanya Brian meninggikan nada bicaranya.

"Saya, Sasa, Tuan!" jawab Sandra dengan lantang.

Suara Sandra tak asing di telinga Brian, namun Brian tersenyum karena dia tau suara seperti milik Sasa banyak dimiliki banyak wanita.