webnovel

Kemarahan pada Diri Sendiri

Satu kelopak bunga, terangkat dan jatuh secara bergantian di atas mangkuk yang diisi air. Ming Zhu belum bisa mengontrol energi dari ujung jarinya untuk menggerakkan kelopak bunga tesebut tanpa menimbulkan riak air. Akan lebih mudah baginya untuk membuat semua kelopak bunga di tanah bergejolak terbang, lalu ia fokuskan pada satu titik. Kelopak bunga akan berubah menjadi sisi tajam pedang jika itu terjadi dan membelah apa pun di sekitarnya.

"Kenapa ini begitu sulit?" Ming Zhu mulai bosan. Ia merapatkan pipinya ke meja dan mulai bermain-main dengan bola-bola air yang melayang di antara mangkuk dan langit-langit ruang perpustakaan Pavilian Ying Hua. Kelopak bunga terperangkap dalam bola air tersebut. Dan bola air itu lebur ketika Ming Zhu melihat bayangan gurunya dalam gumpalan air tersebut.

"Laoshi!" punggung Ming Zhu menegak.

Wang Mo Ryu mendatangi Ming Zhu dan menatap muridnya itu cukup lama.

"Bagaimana kesehatanmu?" tanya Wang Mo Ryu kemudian.

Ming Zhu tidak menjawab. Ia seharusnya tahu kenapa gurunya bertanya seperti itu. Rambutnya yang berubah abu-abu, mengarah ke hitam.

"Aku akan meninggalkan darahku dan kau bisa meminumnya saat kau benar-benar merasa lemah!"

Wang Mo Ryu menarik mangkuk yang telah kosong dan ia mengarahkan pergelangan tangannya yang sudah disayat ke atas mangkuk. Tetes demi tetes cairan merah jatuh ke mangkuk keramik. Tetesan yang meski dirasa sangat nikmat bagi Ming Zhu, tapi menyisakan kesedihan yang tidak bisa dipahami sepenuhnya olehnya.

"Apa guru akan pergi lebih lama kali ini?" tanya Ming Zhu.

Wang Mo Ryu melirik ke Ming Zhu. Wang Mo Ryu mengira Ming Zhu akan sangat kesal kepadanya karena harus kembali ke bumi sebelum sempat mengajari Ming Zhu lebih banyak ilmu mengendalikan diri.

"Aku tidak tahu!" jujur Wang Mo Ryu. "Ini permintaan Baginda, aku tidak mungkin menolaknya."

"Lalu? Kapan guru akan pergi?"

"Mungkin lusa."

Ming Zhu tertunduk lesu. Ia teringat akan cerita Zhao Shen sebelum kedatangan Ming Zhu ke Yueliang Palace; Wang Mo Ryu begitu menyukai kehidupannya di bumi; bisa sampai tiga tahun Wang Mo Ryu tidak pulang ke istana. Namun, setelah Ming Zhu ada di istana, kedatangan Wang Mo Ryu menjadi sebuah keharusan. Sekadar meneteskan darahnya dan memastikan hewan peliharaannya baik-baik saja.

Di dalam sebuah botol kristal kecil Ming Zhu menyimpan darah gurunya. Setiap tetes darah Wang Mo Ryu yang sangat berharga.

"Laoshi! Boleh aku tidur di kamarmu malam ini?" tanya Ming Zhu.

"Memang selama ini kau tidur di mana?" Wang Mo Ryu tersenyum untuk pertanyaan yang diajukan murid sekaligus hewan peliharaannya itu. Sebegai hewan peliharaan, Ming Zhu memang bisa tidur dimana saja selama itu di Paviliun Ying Hua, bahkan di atas dahan ceri sekalipun.

Namun, semakin bertambah umur, Ming Zhu mulai merasa aneh dengan perasaannya sendiri. Ia jadi banyak berpikir, tentang hal pantas dan tak pantas, tentang berbagai alasan yang mendasari perilaku seseorang. Ia juga sempat bertanya-tanya kenapa Kakek Yin Dan menyediakan kamar yang luasnya tidak lebih dari seperempat kamar Wang Mo Ryu untuk ditempati oleh Ming Zhu. Namun, kemudian, itu menjadi tempat ternyaman bagi sang serigala, dibanding kamar gurunya yang selama belasan tahun ia tempati.

Cahaya lilin berpendar sepi. Yang terdengar hanyalah suara kertas yang dibalik secara periodik. Wang Mo Ryu hidup selama ribuan tahun, sejarah adalah apa yang pernah singgah di matanya dan tersimpan dalam memorinya, tapi orang itu masih suka membaca buku sejarah. Serigala putih mentap Wang Mo Ryu dari atas tempat tidur dengan hanya sedikit diselingi kedipan lambat. Waktu menjadi teramat berharga. Kerinduannya yang belum habis, kini kembali dirundung duka. Karena Wang Mo Ryu akan meninggalan Ming Zhu lagi, terkurung dan tak berdaya.

"Dia jahat seperti biasa!" Ming Zhu akhirnya berpaling juga. Menganggap percuma semua tingkah polahnya yang tidak jelas untuk apa. Di dunia ini, siapa yang berani melarang Wang Mo Ryu untuk tidak datang dan pergi sesuka hati? Tidak ada. Dan kemarahan di hati Ming Zhu, hanya membuat sendi-sendi tubuhnya terasa ngilu. Ming Zhu turun dari tempat tidur dengan wujud manusia. Berjalan ke arah pintu tanpa permisi kepada tuannya.

"Mau ke mana?" Wang Mo Ryu bertanya dengan sorot mata masih berada di atas kertas yang warnanya agak kecoklatan.

"Emm... aku akan buatkan teh untuk Laoshi!"

"Baiklah!"

...

Setelah secangkir teh yang disajikan di atas cangkir keramik bermotif naga tersaji di meja, Ming Zhu segera berbalik.

"Mau ke mana lagi?" tahan Wang Mo Ryu.

Ming Zhu terdiam sejenak, ia merasa aneh karena selama tiga jam mereka bersama di dalam kamar itu, Ryu Laoshi terkesan tidak peduli. Namun, sekarang, ketika Ming Zhu ingin keluar, Wang Mo Ryu bersikap selah-olah itu masalah yang perlu dipertanyakan.

"Aku akan kembali ke kamarku!" pelan Ming Zhu.

"Tidak jadi tidur denganku?"

Ming Zhu kembali diam. Dia lupa bahwa sulit untuknya berbohong. "Sebenarnya, Yin Dan bilang aku sudah terlalu dewasa untuk berbagi tempat tidur denganmu, Laoshi!"

Wang Mo Ryu tercekat seketika. Ia menengadahkan kepalanya, menatap Ming Zhu yang sepertinya telah memahami sesuatu.

"Ketika pagi, dia akan marah-marah karena melihatku tidur berjejal di kakimu. Aku mungkin membuatmu merasa tidak nyaman. Tubuh serigalaku tidak lagi sebesar ini," Ming Zhu coba menggambarkan dirinya dengan dua telapak tangannya. "Sekarang, panjangku sudah lebih dari satu meter, tempat tidurmu tidak akan muat!"

Wang Mo Ryu tiba-tiba tersenyum, sekaligus merasa lega dengan hal yang sebenarnya tidak ingin ia pahami. "Kalau begitu, besok aku akan meminta Zhao Shen membuatkan tempat tidur yang lebih besar."

"Tidak perlu," tolak Ming Zhu.

"Kenapa?"

"Karena lusa kau juga akan pergi!" Ming Zhu menarik kursi dan bertopang dagu dengan menunjukkan ekspresi kekecewaan.

"Oh, itu. Saat aku kembali nanti, akan lebih baik jika tempat tidurnya sudah selesai. Malam ini kamu tidur saja di tempat tidurku, aku bisa tidur di mana saja!"

"Aku juga bisa tidur dimana saja. Aku akan kembali ke kamarku!" Ming Zhu berdiri. Dia bersiap pergi. Namun,

"Apa kamu sudah meminum darah yang kuberi?"

Ming Zhu memperhatikan rambutnya yang berubah menjadi lebih pekat. "Aku merasa baik-baik saja. Jadi, kupikir aku tidak perlu meminumnya. Lagi pula, bukankah Laoshi merasa lebih aman melihat rambutku berwarna hitam. Dengan begini, aku tidak terlihat seperti seorang iblis," ceria Ming Zhu sambil membelai-belai rambutnya sendiri.

Beberapa langkah sebelum Ming Zhu keluar dari ruangan pribadi Wang Mo Ryu, angin kencang tiba-tiba datang dan membuat pintu terhempas, merapat, dan terkunci dengan sendirinya.

"Apa aku salah bicara?" lirih Ming Zhu yang kemudian berpaling ke belakang. Aura kemarahan Wang Mo Ryu yang ia rasakan saat itu.

Dengan langkah yang tak terlihat, Wang Mo Ryu telah berdiri di belakang Ming Zhu. Bebat luka di tangannya terlepas dan Wang Mo Ryu membuat luka yang baru di tangan itu. Wang Mo Ryu kemudian melingkarkan tangan kirinya ke leher Ming Zhu dari belakang, menghadapkan titik luka itu ke mulut Ming Zhu. "Sejak kapan kau tidak menurut? Kau harus minum ketika kusuruh minum!"

Ming Zhu merasa gugup sejak ia tidak menyangka suasana hati Wang Mo Ryu menjadi begitu mengerikan. Ia tidak punya pilihan selain mengisap darah Wang Mo Ryu langsung dari urat tangan orang itu.

"Isap lagi! Itu belum cukup!"

Air mata Ming Zhu menetes. Ia berbalik dan terkejut sendiri melihat mata Wang Mo Ryu yang tampak sayu. "Tidak. Aku tidak bisa terus-terusan meminum darahmu, Laoshi! Apa seumur hidupku aku harus selalu tergantung padamu?"

"Memang kenapa? Sejak lahir pun kau butuh aku. Ming Zhu, kau harus kuat. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu. Aku juga tidak akan membiarkan mereka mengambilmu dariku. Atau seluruh usahaku akan jadi sia-sia," Wang Mo Ryu memegangi kepalanya. Ia kira ucapannya hanya akan menyiratkan kebingungan di benak Ming Zhu. Tapi, apa boleh buat. Itu sudah terucap. Bentuk kelemahan Wang Mo Ryu terhadap apa yang ada di dalam hatinya.

"Laoshi! Anda kenapa?"

Wang Mo Ryu masih memegangi kepalanya. Rambut Ming Zhu berubah menjadi seputih salju, dan wajahnya mulai bercahaya lagi, membuat Wang Mo Ryu merasakan senang luar biasa, kemudian tertekan. Begitu terus secara bergantian. "Ada yang berdenging di telingaku," katanya hampir pingsan.

"Laoshi! Bertahanlah! Aku akan memanggil Kakek Yin Dan!" panik Ming Zhu.

Sekali lagi Wang Mo Ryu melihat wajah Ming Zhu yang bercahaya, "Kau memang benar-benar iblis!" batinnya. Wang Mo Ryu tidak ingin mengakuinya dan telah menahan diri sejak lama. Bukankah sudah jarang ia mengizinkan Ming Zhu meminum darah langsung dari tubuhnya. Dan malam itu, Wang Mo Ryu menyerahkan dirinya sendiri. Mungkin sedikit menyakitkan, tapi setiap isapan yang terjalin dari urat nadinya, membuat Wang Mo Ryu ingin dan semakin ingin memeluk Ming Zhu. Rasanya seperti sedang bercinta dengan orang yang benar-benar ia inginkan, kemudian setelahnya menyisakan rasa lelah luar biasa.

Seperti adiksi, Wang Mo Ryu ingin merasakan lagi perasaan seperti itu. Tapi, saat itu, Ming Zhu akan menolak meminum darahnya, dan itu membuatnya frustrasi. Wang Mo Ryu kemudian mencium Ming Zhu dan mulai bermain dengan rasa hangat yang menyusup ke seluruh badannya.

"Beginikah rasanya?... Ya. Seperti ini!" batin Wang Mo Ryu. Ciuman itu mampu mengobati rasa adiksinya terhadap Ming Zhu. Bahwa ada perasaan yang bertumbuh meski Wang Mo Ryu tahu tidak seharusnya perasan itu ada untuk Ming Zhu. Bahwa martabatnya telah jatuh sebagai seorang guru dan menyisakan dirinya yang jalang, juga tidak berguna.

"Kau tidak perlu memanggil siapa pun. Yang kubutuhkan hanya kamu! Tetaplah di sini!"