62 61. Perempuan di Halte Bus

Beberapa bulan yang lalu ...

Awan-awan hitam terlihat menghiasi langit sore kota Jakarta. Banyaknya rintik hujan yang jatuh membuat seluruh bagian-bagian yang tidak memiliki atap dan tidak tertutup basah begitu saja. 

Seorang gadis malang yang tengah memeluk dirinya sendiri guna menghalau rasa dingin berkali-kali melihat ke ujung jalan. Menunggu angkutan umum ataupun mobil sang kakak datang untuk membawanya lekas pulang ke rumah.

Dalam hatinya Gina sangat menyesali keputusannya untuk tidak membawa mobil. Handphonenya juga mati karena kehabisan baterai. Gina mengulum bibir, membayangkan seberapa khawatirnya Gian dan Gino jika mengetahui bahwa ia belum pulang sampai sekarang.

Suzy, satu-satunya yang ia percayai di sekolah meminta izin pulang terlebih dahulu dikarenakan ada urusan mendadak yang membuat gadis itu tidak bisa pulang bersama Gina seperti biasa.

"Halo."

Gina menoleh. Menatap seorang perempuan yang duduk di kursi cukup jauh dengan dirinya, sama-sama berteduh di dalam halte bis. 

Tidak ingin sampai adanya interaksi antara dia dan perempuan itu, Gina dengan segera menutup kepalanya dengan tudung jaket yang sedari tadi ia pakai.

"Gua ada kabar baik buat lu," ujar si perempuan yang terlihat sedang berkomunikasi menggunakan handphone. 

Beberapa kali Gina menggerakan kakinya menghalau rasa dingin, meski ucapan seseorang di sebelahnya masih dapat terdengar jelas padahal hujan jatuh lumayan besar, Gina tetap memilih tidak peduli.

"Gua udah pernah bilang, kan? Kalau cowok baru ngerasain jatuh cinta pertama kali itu, bisa jadi bego banget? Apalagi cowok yang famous di sekolah. Lu pasti tau kan segimana banyaknya cewek yang suka sama cowok kayak gitu?"

Mendengar itu, Gina sedikit menyunggingkan sebuah seringai. Ia menggeleng kecil, tidak menyetujui apa yang dikatakan oleh perempuan yang duduk di sebelahnya.

"Hahaha ... Jangan pernah tanya ini udah cowok yang keberapa. Yang pasti cuma satu yang harus lu tau," tutur si perempuan kepada orang di seberang telepon. 

Seringai Gina semakin lebar, ia paham apa yang perempuan itu katakan. Dirinya sendiri tidak percaya akan bersampingan dengan seorang perempuan seperti ini di sebuah halte bis dekat sekolah.

Namun, dirinya tidak dapat menyangkal bahwa rasa takut secara perlahan merasuki tubuhnya.

"Kali ini, gua dapet anak konglomerat. Kalau soal tampang, jangan ditanya. Jackpot cowok gua yang sekarang kaya, ganteng, sama satu lagi pinter," perempuan itu terdiam sejenak. Kekehan sarat akan nada meremehkan keluar dari mulutnya.

"Ups ... hampir lupa. Buat yang ini, cowok yang pinter materi. Bukan pinter soal kehidupan, apalagi cinta," lanjut perempuan itu disertai tawa puas setelahnya.

Mendengar itu semua dengan jelas, ditambah lagi dengan hujan yang perlahan reda dan hanya menyisakan gerimis kecil, Gina mengepalkan tangan. Mencegah dirinya agar tidak takut dengan perempuan yang duduk di sampingnya.

Orang jahat. 

Gina sedang duduk bersama orang yang menyeramkan. 

Sungguh, ia takut.

Beberapa detik kemudian, sebuah taksi terlihat akan melintas di depan halte yang Gina tempati. Sontak saja gadis itu segera menjulurkan tangan agar taksi tersebut berhenti lalu ia bisa pulang. Jauh-jauh dengan perempuan di sampingnya.

Gina berjalan cepat menuju ke arah pintu taksi. Namun, sebelum gadis malang itu masuk ke dalam mobil, Gina sekilas menengok ke arah perempuan yang masih duduk tenang seraya memainkan hp-nya terlihat seperti mengirim pesan kepada seseorang.

Tubuh perempuan itu dibalut oleh jaket cokelat besar yang menutup tubuhnya hingga ke bawah lutut. Kepala perempuan tersebut ditutup oleh tudung jaket dan dengan keadaan menunduk. Gina tersentak kaget ketika perempuan itu dengan cepat mendongak.

Netra khas asia yang sama dengannya itu menatap lekat ke arah Gina. Membuat nafas Gina perlahan mulai memburu karena rasa takut. Gadis itu dengan segera masuk ke dalam taksi dan mencoba untuk melupakan apa yang baru saja terjadi.

Hanya satu yang Gina bisa ingat selain ucapan perempuan itu yang terus terngiang di benaknya.

Garis wajah hingga sorot mata, hampir sebagian dari muka perempuan itu bisa Gina lihat. Terekam jelas di otaknya bagaimana wajah si perempuan tersebut. 

Dan pada saat itu juga, Gina terus berharap dalam hati. Semoga salah satu dari kedua kakak kembarnya tidak jatuh cinta lalu terperosok kedalam perangkap mengerikan perempuan itu.

*****

Tapi, terlambat.

Perempuan yang beberapa bulan lalu duduk bersebelahan dengan Gina di halte bis, ternyata menjadi kekasih salah satu kakak kembarnya.

"Viona," gumam Gina lirih. 

Gadis itu tanpa sadar mengeluarkan air mata yang terus saja mengalir tanpa henti di pipinya. Di depan meja rias, saat ini Gina berniat mengambil benda yang diberi oleh Viona kepadanya. Yang ia sebut-sebut sebagai hutang janji.

"Kenapa juga waktu di toko baju, gua nggak nyadar sama sekali kalau itu dia!" Gina menjerit. 

Perempuan yang sama, orang yang sama dengan sifat yang terlihat berbeda di dua tempat dimana mereka berdua tanpa sengaja bertemu.

Kenapa bisa? 

Kenapa bisa orang seperti Viona seakan mempunyai dua kepribadian yang amat mengerikan?

Viona yang berada di halte bis bersamanya waktu itu, dengan Viona yang berada di mall bersama dua laki-laki yang berbeda. Disitulah Gina dapat menyimpulkan sesuatu.

Perempuan ini mengerikan. 

Dari semua tampang polosnya, perempuan itu sangat hebat memainkan peran bagaikan aktor untuk menjerat banyak lelaki. 

Termasuk Gino. Kakak kembarnya.

Dan Gina tidak akan membiarkan itu semua, dilihat dari sorot mata penuh cinta dari Gino kepada Viona, membuat Gina terus saja dihantui bayang-bayang bagaimana hancurnya sang kakak jika mengetahui sendiri seperti apa sebenarnya kekasih yang laki-laki itu cintai.

"Nggak bakal gua biarin itu semua terjadi."

Dengan tekad yang bulat, Gina membawa beberapa obat penenang di dalam bungkus plastik kemudian menyimpannya di saku. Gadis itu mengambil kasar kotak lavender berisi skincare yang Viona berikan kepadanya.

Cih, tidak sudi sekali ia menerima sesuatu dari seorang pelacur.

Gina membuka pintu kamar, berlari keluar berharap kakak kembarnya terutama Viona masih ada di taman belakang. Ia ingin mencegah semuanya sebelum perasaan Gino terhadap Viona semakin membesar tiap harinya.

Ia juga sekuat tenaga akan membantu Gino agar tahu bagaimana Viona yang sebenarnya. Gina tidak yakin bahwa ini semua akan mudah, tapi dia akan mencoba semaksimal mungkin.

Walau menggunakan cara kasar sekalipun, akan Gina lakukan.

"Lu harus kuat demi kakak lu, Gina. Demi orang yang lu sayang. Kak Gino, Kak Gian, Suzy. Bakal gua selametin satu-satu." Sejenak, Gina menghela nafas, sadar bahwa semua ini berawal dari cinta-cintaan ala remaja. 

"Cinta memang gila," gumam Gina mengakhiri monolog yang sudah biasa ia lakukan. 

Ketika kedua matanya sudah menangkap Viona dan Gino yang masih berada di taman, Gina secara paksa menyunggingkan senyum manisnya. Senyum manis yang biasa ia lemparkan kepada orang-orang yang ia sayang.

"Gina," panggil Gino senang melihat adik kembarnya itu datang ke taman menemuinya dan sang kekasih. 

Gina yang terpanggil hanya melirik sejenak ke arah sang kakak, dengan senyum manis yang masih tersungging, ia mendekat ke arah Viona sembari memegang benda yang perempuan itu beri untuknya.

Viona balas tersenyum ke arah Gina, menatap kotak lavender itu sebentar lalu berganti memandang ke arah wajah cantik milik Gina.

"Gin--" Belum sempat Viona melanjutkan ucapannya, kotak lavender yang ia beri untuk Gina dilempar begitu saja ke arah dirinya. Tepat mengenai perut Viona sebelum jatuh mengenaskan ke lantai.

Viona maupun Gino menatap tidak percaya sekaligus terkejut ke arah gadis yang baru saja datang tersebut. Bahkan Viona sampai memekik kecil dibuatnya.

"Makasih buat hadiahnya ... " Gina menggantungkan perkataan. Senyum manis yang sedari tadi tersungging langsung sirna digantikan oleh wajah datar nan dingin yang khas milik gadis tersebut.

" ... pelacur."

avataravatar
Next chapter