1 Dua Insan, Dua Dunia

"Miaaaa ...," seru Bima berteriak mencari putrinya. Mia melongokkan kepala dari ruang garasi lama yang terpisah dari rumah utama mereka.

"Ya Pa?"

Wajah Mia tampak belepotan dengan cat minyak warna warni. Bima menggelengkan kepalanya. Dia menyusul putrinya yang kembali melanjutkan aktivitas semula.

"Papa, mau jalan bentar lagi. Tante Nunik sama Om Gatot udah dalam perjalanan. Kamu jangan habisin waktu ngelayap nggak jelas ya!" seru Bima disertai ancaman tegas. Mia segera tolak pinggang.

"Maksud Papa ngelayap ke kuburan Mama?" sambar Mia sewot. Bima menghela napas.

"Apa sih yang kamu cari, Mia? Mama udah tenang dan damai. Nggak perlu bukti. Kita jalani hidup yang baik, biar Mama bangga sama kamu, sama kita. Ok?" ucap Bima akhirnya. Mia melengos dan melanjutkan lukisannya di canvas. Bima merasa bersalah.

Istrinya meninggal setahun setelah Mia lahir karena penyakit lupus yang akut. Sejak saat itu, Bima memutuskan hidup sendiri. Membesarkan putrinya dan mendedikasikan hidupnya untuk membantu orang lain.

Bantuan yang dimaksud adalah karena Bima dan sepupunya, Nunik, memiliki kemampuan khusus. Kebanyakan orang menyebut dengan istilah saat ini: Indigo.

Rasa bersalah yang mendukung mereka untuk melakukan hal tersebut. Setelah istrinya pergi, Bima baru mengetahui jika bukan hanya lupus penyebab istrinya meninggal. Melainkan karena sumpah mertuanya yang terlanjur terlontar untuk memberikan Marina, istrinya, pada sosok makhluk yang mereka sembah untuk pesugihan.

Bima dan Nunik telah mencari tahu dan Marina berhasil lepas dari kutuk keluarganya. Walaupun dengan perjuangan keras, akhirnya Bima mampu memberikan kedamaian pada istri tercintanya. Meski begitu, Mia masih memastikan itu berulang kali dengan mengunjungi makam ibunya hampir setiap hari.

Nunik, sepupunya, memang memiliki kemampuan mengatasi serangan dari beberapa makhluk halus. Selain dari bakat, Nunik juga menguasai tenaga dalam yang dia dapatkan dari berlatih dan menempa diri. Bima mengikuti kemudian dan semakin terasah seiring mereka menangani kasus demi kasus. Rata-rata kasus yang mereka hadapi berupa teror rumah berhantu ataupun seseorang yang merasa diikuti sosok tidak kasat mata karena kejadian tertentu.

Setelah Gatot, yang notabene sahabat Bima, bergabung dan menikahi Nunik, mereka mengembangkan teknologi untuk mempermudah mereka mendeteksi kehadiran makhluk halus tersebut.

Tiga orang tergabung dalam satu tim, berkelana membantu orang-orang yang membutuhkan. Mia memang jarang ikut serta. Tapi gadis tersebut memang memiliki bakat yang sebenarnya Bima tidak berharap mewariskan bakat khusus ini pada putrinya.

Temannya, Wuri, adalah wanita yang memiliki ilmu kanuragan tinggi dan sering membantu tugas Bima beserta timnya. Wuri mengatakan jika Mia memiliki bakat istimewa. Namun hingga detik ini, kemampuan Mia hanya sekedar memiliki mata terang dan mampu melihat sesuatu yang belum terjadi lewat mimpinya.

"Ini gambar siapa?" tanya Bima yang akhirnya urung meninggalkan Mia saat melihat lukisan pada canvas yang baru selesai putrinya gambar.

Mia yang masih menggarap canvas yang satunya lagi, menoleh sekilas.

"Aku lihat dia tadi malam," jawabnya tidak acuh dan meneruskan coretannya. Bima tertegun.

Lukisan itu berupa wanita berkebaya hitam sedang duduk membelakangi dan menghadap ke sebuah cermin. Keseluruhan lukisan tampak suram dan mengerikan.

"Apa kamu diganggu oleh makhluk ini?" tanya Bima gusar dan mulai khawatir. Mia menarik napas panjang.

"Anehnya enggak, Pa. Dia cuman dateng dimimpiku dengan posisi kayak gitu, nggak ada omongan atau teror yang lain," jawab Mia sambil menyelesaikan lukisannya.

Bima sedikit lega atas jawaban putrinya. Kini dia menoleh pada canvas yang Mia masih kerjakan. Sontak keningnya berkerut dan bibirnya maju.

"Cowok mana yang kamu gambar itu?" tanya Bima. Mia terdiam dan menghentikan kuasnya. Dia mundur dan tampak tersenyum.

"Hehehe ... ini pangeranku, Pa," jawab Mia sambil terkekeh senang.

"Belum tujuh belas tahun udah mikirin cowok, sekolah dulu yang bener!" tegas Bima dengan cepat. Mia melirik kesal dan meletakkan semua peralatan melukisnya.

"Ini itu nggak boleh, lama-lama kayak hidup di jaman siti nurbaya aja," protes Mia sambil meninggalkan ayahnya yang masih menatap lukisan. Bima penasaran, siapa pria aneh dengan mata biru dan rambut panjang keperakan-agak pirang, yang putrinya lukis ini? Ah, paling ini bagian dari obsesi karena terlalu sering nonton film, batin Bima. Dalam hati ia menyesal telah melemparkan aturan terlalu banyak pada putri semata wayangnya.

"Mia, sebenarnya Papa bukan ngelarang tapi ...,"

"Sudahlah ...!" seru Mia dari luar memotong kalimat Bima. Terdengar suara air keran menyala. Mia mencuci tangan sambil bersenandung kuat-kuat. Gadis tersebut tidak ingin berargumen dengan ayahnya yang masih menganggap dirinya gadis berusia lima tahun.

Sementara di dalam garasi, Bima memandang sekali lagi lukisan pria itu.

"Mata biru?" gumamnya heran. Dengan mata terbeliak Bima bergegas keluar.

"Kamu mau punya pacar bule dan ninggalin Papa, terus pergi jauh-jauh?"

Bima berseru dengan lantang. Mia yang sedang mengeringkan tangannya membuka mulut siap menyanggah.

"Bimaaaa!" suara Nunik dari luar memanggil Bima dan Mia lega karena tidak lagi harus berdebat dengan ayahnya yang super protektif.

"Kita lanjutin ini setelah Papa pulang besok," pungkas Bima sambil mengacungkan telunjuknya. Mia menghembuskan napas kuat-kuat dengan kesal namun pasrah. Mustahil melawan ayahnya. Bima mengecup kening dan mengacak rambut ikal gadis remajanya yang panjang.

Begitu ayahnya pergi, Mia memilih masuk kamar dan menonton film yang telah dia nantikan. Ini akan menjadi momen paling tenang tanpa gangguan.

▪︎▪︎▪︎

Clod membungkukkan tubuhnya dan mengambil kain bercorak unik tersebut. Rasanya dia pernah melihat tapi di mana?

Kain yang ternyata adalah kain batik tersebut adalah oleh-oleh dari salah satu punggawanya. Dia menbawa dari tanah manusia yang mereka sebut dengan Yoyakarta.

"Menurut laporan terakhir, disanalah kekuatan itu terakhir terdeteksi. Memang tidak begitu jelas, namun rasanya patut diselidiki," ucap anak buahnya yang sangat bisa ia dipercaya tersebut. Akhirnya, setelah pencarian yang panjang dan rumit, kini ada titik terang.

"Terima kasih Vermont, kau boleh melanjutkan tugasmu," jawab Clod. Vermont mengangguk dan berlalu dari ruangan.

Rahang Clod mengeras. Jika saja bukan karena permintaan rajanya, maka Clod tidak akan mencari benda tersebut.

Clod merasa berada dalam satu situasi yang tidak ia harapkan terjadi sebelumnya. Terikat dan tidak mampu berkutik.

"Kenapa kamu terima semua jika berat hatimu?" tanya Arlow, sahabatnya.

"Mungkin berat awalnya, tapi akan ringan jika aku mencoba untuk tulus," tukas Clod sambil merapikan semua bukti. Arlow menghela napas.

"Semoga berhasil. Aku tahu, bukan dia yang menundukkanmu. Ada seseorang yang akan memiliki hatimu seutuhnya," ucap Arlow, kemudian melirik menunggu respons dari Clod.

Sia-sia. Clod yang berwajah dingin dan raut datar, tidak nenunjukkan ekspresi apapun. Pria tampan itu masih terlihat fokus memandang satu persatu petunjuk dari anak buahnya.

"Aku harus mulai mencari," tanggap Clod dan mengangkat wajahnya. Arlow menggedikkan bahu.

"Pakailah aksesku supaya lancar perjalananmu," tawar Arlow dan melempar sebuah lencana perak pada Clod.

"Terima kasih!" sambut Clod dan senyumnya mengembang.

avataravatar
Next chapter