1 Prolog

HAL pertama yang aku sadari adalah bahwa aku sedang dalam keadaan di antara alam sadar dan tidak sadar. Aku dapat mendengar bunyi bip... bip... bip... yang konstan dan terus-menerus, seperti bunyi air menetes dari keran yang tidak ditutup rapat. Bunyi itulah yang membangunkanku. Kucoba berkata-kata dan meminta seseorang agar mengencangkan keran itu, tetapi lidahku terasa berat dan kelu. Aku mencoba membuka mataku, usaha yang juga tidak membuahkan hasil. Kutenangkan diriku dan berusaha membuka mataku sekali lagi.

Kali ini aku berhasil membukanya sedikit, tetapi aku harus segera menutupnya kembali karena ada sinar terang yang tiba-tiba membutakan penglihatanku. Ketika mataku tertutup lagi, aku baru sadar bahwa ada sesuatu yang menempel pada hidungku dan membuatku sulit bernapas.Sekali lagi kubuka mataku, tetapi kini lebih perlahan. Awalnya semuanya terlihat buram, namun lama-kelamaan aku dapat menangkap warna dinding di hadapanku. Putih keabu-abuan, ucapku dalam hati. Bunyi bip... bip... bip...yang tadi aku dengar menjadi semakin keras. Bunyi itu ternyata berasal dari sebuah mesin di sebelah kiriku. Garis hijau pada layarnya melonjak-lonjak setiap detik, menunjukkan aku masih hidup. Aku ada di mana ini?! tanyaku pada diri sendiri. Jelas-jelas ini bukan di apartemenku. Aku sadar, aku terbaring di atas tempat tidur yang biasanya ada di rumah sakit. Rumah sakit?! Aku di rumah sakit?! Otakku berteriak, tetapi aku tidak mendengar ada suara yang keluar dari mulutku. Kok aku bisa ada di sini?

Aku mendengar suara air dituang ke gelas. Tiba-tiba aku jadi merasa sangat haus. Aku mencoba menelan ludah dan membasahi kerongkonganku, tetapi mulutku terasa bagai ada pasirnya sehingga aku harus bersusah payah untuk menghasilkan air liur. Ketika mulutku sudah terasa sedikit basah, kugerakkan lidahku untuk membasahi bibirku. Samar-samar aku bisa mendengar suara orang bercakap-cakap, tetapi aku tidak bisa mendengar dengan jelas topik percakapannya. Kualihkan perhatianku untuk mengenali.

Ada jendela besar di sebelah kananku, dan rangkaian mawar putih, bunga favoritku, di atas satu-satunya meja yang bisa aku lihat.

Aku tidak bisa memastikan waktu yang tepat pada saat itu. Sinar matahari yang masuk dari sela-sela kerai vertikal berwarna putih menunjukkan hari masih siang atau sore, yang jelas bukan malam. Pelan-pelan kuangkat tangan kiriku dan terasa ada jarum menusuk pergelangan tanganku.

Selain itu, ada selang yang menghubungkan pergelangan tanganku itu dengan sebuah kantong cairan bening yang digantung pada tiang besi di samping tempat tidurku. Aduhhh, pakai ada jarum pula di tanganku!

Ketika aku sedang menggerakkan tangan kananku untuk mencabut jarum itu dari pergelangan tangan kiriku, tiba-tiba aku mendengar suara orang berbisik,

"She‟s awake."

Kualihkan tatapanku dari lenganku ke arah seorang wanita bule, yang dari pakaiannya jelas-jelas seorang suster. Tiba-tiba kulihat wajah Didi, adikku, yang terlihat cemas. Kemudian dia tersenyum lebar karena melihatku sudah sadar dan buru-buru berjalan menghampiriku.

Suster itu kemudian berdiri di sebelah kiriku, dan menggenggam pergelangan tanganku.

"How are you feeling?" tanyanya kepadaku, masih dengan suara berbisik.

Aku sebetulnya ingin berteriak kepadanya agar mencabut jarum yang menusuk-nusuk lenganku, tetapi yang keluar dari mulutku justru, "Wah... teh." Kata yang ingin aku ucapkan adalah water, tetapi lidahku tidak bisa bekerja sama. Untungnya suster itu langsung memahami apa yang aku inginkan. Dia segera menyodorkan satu gelas plastik air putih dengan sedotan di dalamnya. Aku berusaha mengangkat kepalaku sedikit agar bisa minum melalui sedotan yang bisa dibengkokkan. Didi yang melihat apa yang aku sedang coba lakukan membantuku dengan menopang kepala dan bahuku. Suster itu tetap memegang gelas di hadapanku. Pelan-pelan cairan dingin mulai membasahi kerongkonganku. Aku baru berhenti minum ketika gelas itu sudah kosong.

"Do you want more?" bisik suster itu, setelah menyingkirkan gelas kosong dari hadapanku.

Aku menggeleng kaku dan menyandarkan kepalaku kembali ke bantal.

"Saya akan beritahu Dokter Smith bahwa kamu sudah bangun." Suster itu lalu menghilang dari pandanganku setelah mengangguk kepada Didi.

Didi kemudian duduk di atas tempat tidur di sebelah kananku. Dia tersenyum sendu. Aku sebetulnya ingin bertanya, "Aku ada di mana?" Ketika aku mencoba berkata-kata, yang keluar dari mulutku hanya, "Gu...," dan aku kemudian terbatuk-batuk.

Didi buru-buru menuangkan air ke gelas plastik yang tadi, dan memintaku minum lagi hingga habis.

Wajahnya terlihat khawatir.

"Jangan dipaksa, Mbak. Istirahat saja dulu. Bicaranya nanti saja," katanya

Aku perhatikan Didi terlihat cukup tenang, tetapi aku tahu sebetulnya dia panik.

Aku bisa melihat kepanikan itu di matanya.

Kucoba tersenyum agar bisa menenangkannya. Kusentuh benda yang menempel pada hidungku, yang ternyata adalah infus. Didi menggenggam tanganku dan menjauhkannya dari selang itu.

"Tunggu dokter ya, Mbak. Kalau dia bilang nggak apa-apa, kita bisa lepas infusnya," jelasnya. Setelah yakin aku tidak akan menarik infus dari hidungku, Didi melepaskan genggamannya dari tanganku. Dia kemudian mengelilingi tempat tidur dan menyingkapkan tirai kain putih di sebelah kiriku.

Ketika aku menoleh, kulihat kami tidak sendirian. Ada seseorang yang sedang tidur di atas sofa. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tetapi yang jelas sofa itu tidak bisa menampung tubuhnya yang tinggi besar sehingga kedua kakinya menjulur keluar dari salah satu sisi sofa.

Melihatku memusatkan perhatian kepada orang yang tertidur di sofa itu, Didi berbisik, "Dia nggak mau pulang, padahal sudah aku katakan aku bisa jaga Mbak sampai dia balik." Didi tersenyum ketika mengatakannya. Suaranya terdengar lebih pasti, dan dari balik matanya aku bisa melihat ada kehangatan di situ.

Siapa orang itu? pikirku. Aku menarik napas panjang ketika tiba-tiba beberapa hal mulai melintas kembali dalam memoriku. Aku ingat, aku sedang mengendarai mobil super ngebut dari kantorku menuju Raleigh. Hal ini tentu saja sangat berbahaya mengingat kondisi jalan yang licin akibat hujan rintik-rintik yang jatuh selepas salju tadi malam. Aku tahu, ada kemungkinan aku akan terlambat dan dia sudah pergi. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku kalau itu terjadi. Kupaksa Mitsubishi-ku menembus angka 145 km per jam. Mesin mobil yang berusia hampir sepuluh tahun itu langsung protes atas perlakuan kejamku, tetapi untuk pertama kalinya aku tidak peduli.

Kulihat masih ada beberapa bongkahan es yang tersisa di pinggir jalan. Musim dingin tahun ini benar-benar parah di North Carolina. Salju yang turuh bahkan mencapai enam puluh senti. Belum lagi hujan es yang turun berkali-kali selama beberapa minggu belakangan ini membuat angin terasa menggigit jika bertiup dan mengenai bagian tubuh yang tidak tertutup baju dingin. Kuikuti tanda lalu lintas, yang menyatakan Airport Raleigh-Durham masih 1,6 km lagi. Aku segera mengambil jalur kanan, keluar dari jalan interstate itu dengan tidak memedulikan bunyi klakson mobil yang jalurnya aku potong dengan paksa. Roda mobil agak tergelincir sedikit ketika kubanting setir, tetapi aku tidak mengurangi kecepatan pada saat melewati tikungan.

Andaikan aku tidak lupa membawa telepon selular?! Saking terlalu terburu-buru, benda itu tertinggal di kantor. Seandainya pun aku membawa telepon selular itu, rasanya tidak akan bisa membantuku. Apa yang akan aku katakan? I‟m sorry for being so stupid, for thinking that you would leave me? Atau I love you, please tell me that you love me too? Kata-kata itu tidak bisa menggambarkan perasaanku yang sebenarnya. Aku tidak bisa bernapas jika dia tidak ada. Jika aku mencoba melihat masa depanku tanpanya, semuanya terlihat suram. Diriku tanpanya bagaikan satelit, yang planetnya telah hancur karena bencana alam besar, meninggalkanku melayang-layang tanpa arah. Mengapa aku terlalu bersikeras bahwa dia tidak mencintaiku hanya karena terpengaruh kata-kata orang yang telah membuat hatiku remuk? Dia tidak akan meninggalkanku seperti yang aku takutkan selama ini. Titik!

Bunyi klakson membangunkanku dari lamunan, ternyata aku sudah memasuki area airport. Aku harus mengangkat kakiku dari pedal gas karena batas kecepatan di area ini hanya 48 km per jam. Aku tidak punya waktu kalau harus ditilang hari ini. Setelah memarkir mobil, buru-buru aku berlari menuju bangunan terminal. Aku harus sedikit menunduk dan memeluk tubuhku ketika berlari karena angin kencang sedang bertiup, dan aku hanya mengenakan sweater turleneckwarna pink, yang terbuat dari cashmere. Aku tidak mengenakan jaket, topi ataupun sarung tangan. Aku baru bisa bernapas lagi setelah tubuhku terasa hangat di dalam bangunan terminal. Aku mengamati lokasi keberangkatan mencari counter check-inpenerbangan Delta Airlines. Kusempatkan melirik ke layar informasi keberangkatan pesawat. Pada layar terlihat status pesawat yang aku cari adalah LAST CALL. Panik karena tahu aku sudah terlambat, aku berlari menuju counter check-inDelta terdekat dan berbicara dengan ground crew-nya. Aku memotong beberapa orang yang sedang antre.

"Can you... contact your passenger... who is on the flight to JFK?" tanyaku terputus-putus di antara napasku yang masih terengah-engah.

Entah karena melihat wajahku yang panik atau karena tatapanku yang seperti orang gila, seorang penumpang yang sudah siap check-in mundur satu langkah dan memberikan aku ruang untuk berbicara lebih dekat dengan ground crew bernama Kate, yang menerima berondonganku dengan wajah pasrah.

"Thank you, Sir," ucapku, berterima kasih kepada bapak yang rela mundur dan memberikan aku ruang untuk melangkah lebih dekat dengan meja check-in.

Melihat bahwa penumpang yang sedang dilayaninya tidak marah walaupun antreannya aku potong, Kate pun segera menolongku. Dia menanyakan nomor penerbangan dan nama penumpang yang aku cari. Aku menjawabnya tanpa berpikir lagi. Kudengar Kate berbicara dengan seseorang menggunakan walkie-talkie. Dalam kepanikanku, aku hanya bisa menangkap kata-kata „departure‟ dan „gate‟ yang diulang-ulang. Kate kemudian menatapku dan menggeleng. "I‟m sorry, Ma‟am, but the gate‟s closed. The plane is heading for the runway as we speak.

"Daerah di sekujur tubuhku membeku. Melihat wajahku memucat, Kate langsung berkata, "Mungkin Anda bisa menghubungi orang yang Anda cari setelah pesawatnya mendarat di JFK dalam beberapa jam.

"Aku menggeleng. "Nggak, nggak bisa. Dia akan sudah dalam perjalanan menuju Charles de Gaulle," gumamku.

Kutinggalkan counter itu dengan orang-orang yang menatapku bingung dan penasaran. Kalau saja penerbangannya hanya akan berhenti di JFK?! Akan tetapi, aku tahu dia akan menyambung perjalanannya dengan Air France menuju Paris, lalu Nice. Asistennya memang mengatakan dia akan kembali dua bulan lagi, tetapi aku tidak bisa menunggu selama itu. Aku harus berbicara dengannya sekarang. Aku dapat merasakan hatiku yang sudah retak selama beberapa bulan belakangan ini kini hancur berkeping-keping. Mataku mulai terasa agak kabur, dan air mata mulai membasahi pipiku. Aku mencoba mengusapnya dengan lengan sweater, tetapi air mata itu tidak mau berhenti.

"Why is that lady crying, Mommy?" Kudengar seorang anak kecil, yang sedang menatapku, bertanya kepada ibunya.

"Jessica, tidak sopan menatap orang seperti itu. Look away," komentar ibunya, kemudian memalingkan wajah anak itu dengan paksa agar tidak lagi menatapku.

Beberapa orang yang berpapasan denganku menatapku dengan bingung atau khawatir. Ada pula yang menatapku dengan penuh rasa kasihan. Aku bisa membaca pikiran mereka melalui tatapan itu.

Oh look at that, she must be crying because she just say goodbye to her boyfriend, pikir seorang ibu. Seakan-akan dia siap memelukku dan menepuk-nepuk punggungku sambil berkata, "Sudah... sudah... jangan menangis. Dia akan kembali kok, sweetheart," untuk menenangkanku.

Sayang, dia terlalu cantikuntuk menangis seorang diri. Mungkin aku sebaiknya membantu menenangkannya, pikir seorang laki-laki yang sebenarnya cukup ganteng dan wajib didekati kalau saja aku tidak sedang merasa sesedih ini.

!@#$%^&*()?/, pikir dua orang anak kuliahan, yang aku yakin berasal dari Korea. Karena aku tidak mengerti bahasa Korea, maka aku juga tidak akan bisa memahami apa yang sedang mereka pikirkan.

Kupercepat langkah untuk menghindari mereka semua. Aku baru memperlambat langkah setelah berada di luar bangunan terminal, dan perlahan-lahan berjalan menuju pelataran parkir. Aku merasa terlalu limbung untuk merasakan dinginnya angin yang sedang bertiup kencang di sekelilingku. Ketika aku sedang menyeberangi jalan, tiba-tiba kudengar seseorang meneriakkan namaku. Suara itu?! Suara yang aku kenal di mana pun aku berada dan seberapa jauh pun. Semula aku mengacuhkan suara itu karena aku pikir itu hanya imajinasiku saja. Kuangkat kedua tanganku untuk menutupi telinga.

"Berisiii... kkkk!" geramku.

Kemudian kudengar suara yang sama meneriakkan namaku dengan volume lebih keras dan berkali-kali. Suara itu berasal dari belakangku. Perlahan-lahan aku menoleh dan harus memutar seluruh tubuhku agar bisa menatapnya. Aku langsung tersedak ketika melihatnya sedang berdiri di trotoar. Wajah gantengnya dengan hidung, kening, mata, dan garis-garis rahang yang sempurna terlihat bingung dan tidak pasti. Perlahan-lahan kemudian wajahnya mulai dihiasi senyuman hangat. Senyum itu semakin melebar sehingga aku bisa melihat gigi-giginya yang putih dan tertata rapi. Ya... Tuhan, aku benar-benar mencintai laki-laki satu ini, ucapku dalam hati.

Aku mencoba mengontrol tangisku, akan tetapi bukannya berhenti, air mata malah semakin membanjiri wajahku. Kali ini air mataku adalah air mata kebahagiaan. Aku mencoba tertawa di antara tangisku. Detak jantungku sudah tidak keruan. Aku harus meletakkan tanganku di dada untuk mencegah agar jantungku tidak loncat keluar dari tempatnya. Tanpa berpikir panjang lagi aku langsung melangkahkan kaki berlari ke pelukannya.

Tiba-tiba kudengar dia berteriak, "Titania, watch out!" sambil menolehkan kepalanya ke arah kananku, dan dengan menggunakan kedua tangannya mencoba menarik perhatianku. Wajahnya terlihat panik.

Awalnya aku hanya menatapnya bingung, tetapi ketika kutolehkan kepalaku ke arah yang ditunjuknya semua oksigen yang ada di sekitarku tiba-tiba menghilang dan aku tidak bisa bernapas. Aku langsung panik. Aku melihat sebuah Toyota Camry warna hitam melaju ke arahku dengan kecepatan tinggi. Mengapa tidak ada polisi yang menilang mobil ini? Jelas-jelas dia melanggar batas kecepatan yang tertera di area airport.

Semuanya bagaikan bergerak lambat. Pandanganku beralih dari Camry itu ke wajah orang yang aku cintai, yang sedang menatapku dengan mata terbelalak karena panik. Aku tidak bisa meninggal hari ini, apalagi karena ditabrak mobil. Tidak peduli mobil itu sebuah sedan mewah sekalipun. Terlebih-lebih baru tiga puluh detik yang lalu aku bisa menemukan kebahagiaanku lagi. Kuperintahkan kakiku agar berlari secepat mungkin menghindari mobil itu, tetapi tubuhku menolak mendengarkan perintah dari otakku. Aku hanya bisa berdiri kaku dan menutup mata, menunggu hingga sedan hitam itu menghantamku.

Ya... Tuhan, jangan sekarang! Tolong... jangan sekarang, pintaku dalam hati. Kalau aku dibolehkan hidup, aku akan tobat. Aku akan meluangkan waktu untuk membantu orang lain, meskipun aku sedang sibuk. Ketika aku menyadari bahwa aku sedang bernegosiasi dengan Tuhan, aku pun berhenti berlari. Akhirnya, aku hanya menggumam, "Berikanlah aku satu kesempatan lagi! Aku janji akan lebih berterima kasih atas segala sesuatu yang sudah aku terima dalam hidupku." Kemudian kudengar bunyi rem mobil yang sedang bersusah payah untuk berhenti.

Ciiiiiii... ttttttttttt... GUBRAK...!

Lalu, semuanya gelap

avataravatar
Next chapter