webnovel

Kehadiran Orang Asing

Pintu pun terbuka. Seraya tersenyum lebar, Alana berseru. "Mengapa Ayah pulang terlambat?" Matanya sedikit terbelalak. Di samping ayahnya terdapat seorang wanita dan seorang gadis. "Ayah, siapa mereka?" Gadis itu bertanya seraya menatap heran kedua orang asing di dekat ayahnya.

"Mereka adalah keluargamu, Alana." jawab Erik.

Petir kembali menyambar bertepatan dengan penuturan Erik. Bagaikan disambar petir, gadis bermata cokelat kehitaman itu hanya bergeming di ambang pintu. Matanya menatap pria di hadapannya. Pria itu memiliki mata yang sama dengannya.

"Ayah, kejutanmu sangatlah tidak lucu." ujarnya lirih.

"Ayah tidak sedang bercanda, Alana. Ayah benar – benar serius saat ini." Sorot tajam pada mata cokelat kehitaman milik Erik membuat jantungnya berdegup cepat. Keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. Lidahnya terasa kelu.

"Alana, mengapa Ayahmu tidak disuruh masuk?" Mareta menghampiri putrinya itu. Dirinya merasa heran mengapa Erik, suaminya tak kunjung masuk. Ditarik pintu rumahnya agar terbuka lebar. "Mengapa kamu tidak menyuruh Ayah masuk?" Mareta bertanya seraya menatap lurus ke depan. Mata hitamnya membulat sempurna.

"Wina?" gumamnya seraya menatap tidak percaya sesosok wanita di hadapannya. Alana yang berada tepat di sampingnya menatap Mareta dengan terkejut. Pikirannya bertanya – tanya, mengapa Bunda mengetahui nama wanita asing itu?

"Hai, Mareta." Wina, wanita itu menyapanya. Keterkejutannya semakin bertambah ketika telinganya mendengar wanita itu mengucapkan nama sang bunda.

"Bunda, apakah Bunda mengenal wanita itu?" tanya Alana cepat. Gadis itu membutuhkan sebuah penjelasan saat ini juga.

"Mengapa kamu berada di sini, hah?" tanya Mareta dengan dingin. Wanita itu bahkan mengabaikan pertanyaan dari putri semata wayangnya. Mata hitamnya masih tetap terpaku pada seorang wanita dengan gaya rambut bob.

Wanita itu menyeringai. "Tanyakan saja pada Mas Erik."

Mareta langsung melempar pandangannya pada seorang pria yang berdiri di samping Wina. Erik, pria itu hanya terdiam seraya menatapnya. "Mengapa kamu membawa Wina ke rumah ini, Mas?" tanyanya dengan penuh penekanan. Mata hitamnya menatap tajam mata hitam kecokelatan milik Erik.

"Wina adalah istriku."

"Apa?" Matanya terbelalak, mulutnya pun ikut terbuka. "Apa maksudmu dengan Wina adalah istrimu, Mas?" sambung Mareta dengan lirih.

"Aku telah menikahi Wina sejak tahun 2000." ujar Erik seraya membuang wajahnya ke arah lain.

Tangis Mareta pecah. Wanita itu meraung seraya memukul dada bidang Erik. Sementara Erik, pria itu hanya terdiam seraya menerima semua pukulan dari istri pertamanya. Mareta mencecarinya dengan pertanyaan, namun hanya keheningan yang menjawabnya.

Mareta benar – benar terpukul. Wanita itu tak kuasa melampiaskan emosinya melalui air mata. Sementara seorang gadis yang berdiri di samping Mareta hanya bergeming. Matanya menatap lurus lantai rumahnya dengan tatapan kosong. Otaknya terasa lambat untuk mencerna semua rentetan peristiwa ini.

***

"Wina, bawa Astrid ke dalam kamar. Aku akan segera menghampirimu dan juga Astrid." perintah Erick ketika mereka bertiga telah memasuki kediaman rumahnya.

Wina mengangguk paham. "Baiklah Mas, aku tunggu kedatanganmu." ujarnya seraya menarik sudut bibirnya. Sebuah senyuman tercipta dari bibirnya yang merah merona. Bibir itu berhasil membuat Erik ingin mencicipinya kembali.

Erik mengangguk.

"Ayo sayang, kita ke kamar." ajak Wina pada seorang gadis yang berada di sampingnya.

"Lalu Ayah?" gadis itu bertanya seraya menatap Erik sekilas.

"Ayah akan menghampiri kita, sekarang kita harus ke kamar terlebih dahulu." jawab

Wina seraya membelai surai rambut anak perempuannya itu.

"Baiklah, Bu." Gadis itu menuruti perintah sang ibu. Digeretnya sebuah koper yang sedari tadi dibawanya. Dilangkahkan kakinya mengikuti langkah Wina, gadis itu berjalan mengekori sang ibu.

Erik menghela nafas. Ketika dirinya hendak melangkah, sebuah tangan telah mencekal lengan kirinya. Dirinya menoleh ke belakang, terdapat Mareta dengan wajah sembabnya tengah menatapnya tajam. "Kamu berhutang penjelasan padaku, Erik." Wanita itu telah memanggilnya dengan nama. Erik kembali menghela nafas. Sepertinya malam ini akan sangat melelahkan.

***

Erik membawa Mareta ke halaman tengah rumahnya. Pria itu melepaskan genggaman tangan istrinya dengan sedikit kasar. "Apa yang ingin kamu ketahui?" tanyanya tanpa berbasa – basi.

Mareta mendesis. Mata hitamnya menatap sinis pria di hadapannya. "Bagaimana bisa kamu bertemu kembali dengannya? Bukankah wanita itu telah pergi jauh?" cecarnya.

"Saat itu dia berada di Cirebon, jadi kami—"

"Oh!" Mareta memasang wajah terkejutnya. Erik bahkan belum selesai dengan penuturannya, namun ia telah menyelanya terlebih dahulu. "Jadi, kamu sengaja datang ke Cirebon saat itu karena mantan kekasihmu itu berada di sana, Mas?"

"Wah! Sungguh mengejutkan bahwa ternyata kalian berdua masih berkomunikasi selama ini," Mulutnya menganga. Sebelah tangannya mengibaskan wajahnya yang memanas. Bahkan angin malam yang berhembus tidak membuatnya terasa sejuk.

"Kalian berdua benar – benar ditakdirkan untuk bersama." sambung Mareta dengan sinis.

Erik menghela nafasnya. Diusap wajahnya dengan kasar. "Tidak seperti itu, Mareta." Pria itu hendak menjelaskannya.

"Apa? Apa lagi yang ingin kamu katakan, Mas? Benar 'kan perkataanku barusan, kalian berdua masih saling berkomunikasi bahkan setelah kita menikah!" seru Mareta keras seraya menutup kedua matanya. Wanita itu benar – benar marah, urat - uratnya pun terlihat di leher putihnya. Nafasnya pun terengah – engah.

"Pantas saja Ibumu tidak merestui hubungan kalian," Mareta kembali mendesis.

"Wanita itu benar – benar murahan." sambungnya seraya berdecak.

Sebuah tamparan mendarat di pipi kanannya. "JAGA UCAPANMU, MARETA!" suaranya meninggi. Matanya nyalang menatap sang istri.

Mareta menyentuh pipi kanannya yang terasa panas. Dirinya kembali berdesis. "Bahkan kamu berani menamparku hanya untuk wanita murahan itu, Mas." Suaranya sedikit lirih. Kepalanya sedikit terangkat, kembali ditatapnya sang suami dengan tajam. "Apakah selama ini kamu masih mencintainya, Erik?"

Erik hanya terdiam. Matanya masih menyalang menatap Mareta. Nafasnya pun sedikit terengah. Wajah putihnya kini telah merah padam. Pria itu tampak tengah menahan emosinya.

"Ternyata benar dugaanku, selama ini kamu masih mencintai wanita murah itu." cibir Mareta.

"MARETA!" Erik kembali tersulut. Wajahnya semakin merah padam. Pria itu benar – benar tidak suka jika wanitanya disebut dengan kata "murahan."

"Apakah anak wanita itu juga adalah hasil dari benih cinta kalian?" Mareta tidak mengindahkan bentakan Erik. Dirinya semakin memancing sang suami.

Erik sedikit terkejut mendengarnya, namun tak urung dirinya menjawab pertanyaan Mareta. "Benar, gadis di samping Wina adalah anakku." Erik membenarkannya.

Jantung Mareta kembali berdegup cepat. Kepalanya sedikit tertunduk. Tangannya segera menyentuh kepalanya yang terasa pusing. Dirinya hampir saja jatuh terkulai. "Sejak kapan?" lirihnya seraya menatap rumput yang sengaja ditanam di tamannya.

"Sejak tahun 1999 Wina telah mengandung anakku."

Setetes air mata kembali jatuh dari pelupuk matanya. Pandangannya sedikit kabur, tubuhnya pun semakin lemas. Tiba – tiba saja semuanya terasa gelap.

"Mareta!" Erik segera menangkap tubuh Mareta ketika istrinya itu telah kehilangan seimbang. "Mareta, sadarlah! Mareta!" Erik menepuk beberapa kali pipi istrinya itu. Namun wanita itu tak kunjung membuka matanya.

Sementara di sisi tangga, terdapat dua gadis tengah menyaksikan. Seorang gadis diantaranya menyentuh pundak gadis lainnya yang berada di sampingnya. "Alana." ujarnya pelan.

"Ayahku benar – benar memberikan kejutan yang sangat spesial untukku, Sa." gumam Alana seraya menarik sudut bibirnya membentuk senyum tipis. Gadis itu hanya bergeming di tempatnya. Bahkan ketika ia melihat Mareta jatuh pingsan pun, dirinya tetap bergeming. Dunianya kini telah hancur.

***