1 Peristiwa di Malam Bulan Purnama I

Saat ini siang hari. Panas matahari terasa begitu menyengat kulit. Untunglah rasa panas itu bisa sedikit berkurang karena hembusan angin gunung yang menerpa ke seluruh penjuru.

Jauh di bawah sana adalah daratan Tionggoan. Sawah ladang terbentang sangat luas. Warna hijau yang menyala dibawah tempaan sinar matahari itu, tampak seperti permadani yang sangat indah menawan.

Sungai Kuning yang panjang dan lebar tampak seperti seekor ular naga. Arus air sungai beriak. Menciptakan suara deburan gulungan ombak yang mendampar ke pinggiran sungai.

Bintik-bintik permukaan air yang tertimpa sinar matahari terlihat jauh lebih indah lagi. Menciptakan warna kerlap-kerlip seperti berlian. Beberapa helai daun maple tiba-tiba jatuh ke air lalu terbawa oleh arus sungai.

Beberapa ekor burung tampak sedang terbang ke sana kemari sambil terus memperdengarkan suaranya yang merdu dan nyaring.

Suasana seperti itu sangat menangkan hati dan pikiran. Setiap orang yang mengalaminya pasti merasa bahagia.

Apalagi, sebentar lagi akan tiba musim semi. Musim yang paling dinanti-nantikan oleh orang-orang Tionggoan. Di mana ketika musim semi tiba, tidak ada lagi kesedihan. Tidak ada lagi kedukaan.

Saat musim semi tiba, semua orang akan merasa gembira. Semua orang akan merasa bahagia. Siapapun itu orangnya.

Tapi, benarkah demikian?

Lalu bagaimana dengan seseorang yang sedang berjalan sendirian di jalan setapak Desa Fujian yang penuh kerikil dan debu itu? Apakah dia merasa gembira? Benarkah dia bahagia?

Tapi sepertinya tidak.

Orang yang sedang berjalan sendirian itu masih terlihat muda. Usianya mungkin baru sekitar dua puluhan tahun. Dia mengenakan pakaian berwarna merah menyala. Rambut panjangnya yang hitam diikat oleh sehelai kain berwarna merah pula.

Wajahnya terlihat tampan. Hidungnya mancung. Mulutnya mungil. Kulit tubuhnya pun berwarna putih. Dilihat sekilas, dia tidak ada bedanya dengan orang lain.

Tapi kalau dilihat lebih teliti lagi, siapapun orangnya, pasti akan langsung bisa melihat perbedaannya dengan sangat jelas.

Yang membuatnya berbeda dengan orang lain adalah matanya.

Bola mata pemuda itu berwarna kelabu. Sekilas mirip seperti bola mata orang buta. Tapi dia jelas tidak buta!

Selain warnanya yang kelabu, dibalik bola mata itupun tidak terlihat adanya aura kehidupan. Tidak ada pula sinar kebahagiaan. Yang terlihat hanyalah aura kehampaan dan sinar kesedihan.

Apakah orang-orang yang hidupnya penuh dengan kehampaan dan kesedihan, akan mempunyai bola mata seperti itu?

Siapa si pemuda berpakaian merah itu? Kenapa dia tampak begitu dingin? Dan kenapa pula, bola matanya bisa berwarna demikian?

Kisah ini bermula sekitar sepuluh tahunan yang lalu. Tepatnya terjadi ketika di malam bulan purnama.

Kentongan pertama baru saja lewat. Semilir angin malam berhembus dengan mesra. Hawa dingin terasa menyusup tulang. Di sebuah jalan setapak yang terdapat di Desa Fujian, seorang bocah berusia sekitar sepuluh tahun sedang berjalan dengan seorang kakek tua.

Keduanya berjalan sambil bercanda tawa. Si bocah tertawa karena si kakek menceritakan hal-hal jenaka kepadanya. Sedangkan si kakek, dia tertawa karena mendengar suara tawa si bocah itu sendiri.

Meskipun masih bocah berumur sepulihan tahun, tapi suaranya terdengar sangat lantang dan nyaring.

Bocah yang penuh semangat itu bernama Li Yong.

Li Yong adalah seorang bocah yang bernasib malang. Dia sudah dibuang oleh kedua orang tuanya sejak masih bayi. Entah, siapakah kedua orang tua Li Yong yang sebenarnya, sebab sampai sekarang tiada seorang pun yang mengetahuinya.

Untunglah dirinya ditemukan oleh si kakek tua itu. Karena tidak punya sanak saudara dan hidup seorang diri, akhirnya kakek tua tersebut memutuskan untuk mengambil dan merawatnya. Malah dia sendiri yang memberikan nama Li Yang kepada bocah itu.

Nama tersebut diberikan karena kebetulan dia mempunyai marga Li dan bernama nama Beng.

Kakek Li Beng bukan seorang pendekar. Bukan pula seorang tokoh terkenal dunia persilatan. Dia hanyalah seorang petani sederhana yang hidup di kaki gunung. Kehidupannya sehari-hari hanyalah mengurus sawah ladang yang tidak seberapa luasnya.

Walaupun hidup serba kekurangan, tapi Kakek Li tidak pernah lupa untuk bersyukur. Baginya, kaya dan miskin sama saja. Yang penting adalah, apakah kita mau bersyukur, atau tidak?

Begitulah, sejak kehadiran Li Yong, kehidupan Kakek Li terasa lebih hangat dan ramai. Sehabis pulang bertani, mereka selalu bercanda tawa. Kadang-kadang keduanya memandangi rembulan dan bintang-bintang yang bertaburan di atas langit.

Malah terkadang pula, keduanya sering bepergian. Berjalan-jalan di tengah malam di sebuah jalan setapak. Meskipun tidak punya tujuan, tapi mereka sangat senang melakukannya.

Termasuk juga saat itu, ketika peristiwa yang tidak disangka-sangka itu bakal terjadi dan menimpa mereka berdua.

Seperti yang diceritakan di atas, sebelum terjadinya kejadian tersebut, Kakek Li dan Li Yong sedang bercanda gurau. Mereka berdua seolah-olah adalah manusia yang paling bahagia di dunia ini.

Suara tawanya yang nyaring, semangatnya yang bergelora, semua itu seakan-akan telah mengusir kesepian dan kesunyian di malam tersebut.

Namun siapa sangka, tidak berapa lama setelah itu, dari semak-semak mendadak muncul beberapa orang bercadar. Kalau dihitung, jumlahnya ada sekitar lima orang.

Mereka semua bersenjatakan golok. Golok yang hitam itu tersoren di pinggangnya masing-masing.

"Berhenti!!!" kata salah seorang.

"Si-siapa kalian?" Kakek Li terkejut. Dia langsung menghentikan langkahnya dan bertanya dengan gugup.

"Kau tidak perlu tahu siapa kami. Kau cukup serahkan harta yang dimilikimu sekarang," ucapnya dengan lantang.

"Aku … aku tidak punya harta apapun. Aku bukan orang kaya," jawab Kakek Li.

"Hemm," orang bercadar itu mendengus dingin. Kemudian dia memandangi Kakek Li dari atas sampai bawah.

Setelah dilihat lebih teliti, sekarang orang bercadar tersebut menjadi yakin bahwa kakek tua itu memang bukan orang kaya.

Di dunia ini, memangnya ada orang kaya yang mau memakai pakaian jelek seperti itu?

Lagi pula, mana ada orang kaya yang dekil dan terlihat berpenyakitan?

Orang bercadar itu mendengus kembali setelah menyadari kalau dirinya telah salah sasaran. Sebenarnya dia ingin pergi, tapi manusia seperti mereka, bagaimana mungkin mau pergi tanpa hasil?

Tidak lama setelah itu, orang tersebut melirik kepada Li Yong. Sinar matanya tiba-tiba bercahaya. Namun dibalik cahaya tersebut, terselip kekejaman yang sulit dilukiskan.

Setelah terdiam cukup lama, kembali dia berkata, "Kalau begitu, serahkan saja bocah ini kepada kami," ujarnya sambil membentak. Bocah yang dimaksud tentu saja Li Yong adanya.

"Tidak, aku tidak akan menyerahkan dia. Dia adalah cucuku satu-satunya. Selama ini kami hidup berdua, kalau aku memberikannya kepadamu, bagaimana dengan hidupku nanti?" tukas Kakek Li.

Di kedua matanya sudah terlihat ada air mata yang mengembang. Jelas, dia telah membayangkan hal-hal buruk yang kemungkinan akan terjadi tidak lama lagi.

"Itu urusanmu, bukan urusanku. Dan itu pun hidupmu, bukan hidupku," ujarnya dengan nada tinggi. Setelah berhenti sejenak, orang itu kembali membentak, "Serahkan bocah itu sekarang juga!"

avataravatar
Next chapter