1 1

"Yang penting dalam sebuah pernikahan bukanlah seberapa cocok kalian,

tapi seberapa baik kalian bisa menyatukan segala ketidakcocokan."

Aku tidak pernah menyangka kalau semuanya akan jadi seperti ini.

Semua yang telah kususun dengan susah payah sampai saat ini jadi berantakan, semuanya karena kesalahanku sendiri. Seharusnya aku tidak sebodoh itu. Aku selalu menganggap bahwa diriku bisa berpikir jernih dan menggunakan logikaku, tapi apa boleh buat. Mungkin memang takdir sedang tidak berpihak padaku. Semua yang selama ini kuimpikan—yang seharusnya sedikit lagi bisa terwujud—hancur karena sebuah kesalahan konyol yang kulakukan. Meski pun aku enggan mengakuinya, tapi memang kali ini aku sangatlah bodoh.

Aku adalah seseorang yang selalu mengutamakan kesempurnaan. Sejak dulu tidak boleh ada yang salah dengan hidupku, semuanya telah kurencanakan dengan cermat. Aku belajar lebih giat dibandingkan dengan yang lainnya agar dapat diterima di universitas ternama, aku berusaha menjaga penampilanku agar terlihat menarik dan mendapatkan kekasih dari kalangan atas, aku berusaha lebih keras dari siapapun agar bisa bahagia. Aku memiliki target dan aku berusaha sangat keras untuk memenuhinya.

Sejak kecil aku selalu dipuji sebagai anak yang cantik dan pintar. Semasa sekolah aku populer di mata teman-teman laki-lakiku dan juga di mata guru. Kimberly Evans, gadis berambut coklat indah yang tidak hanya ketua tim pemandu sorak, tapi juga yang pemenang lomba karya tulis ilmiah yang diadakan universitas terbaik di negara ini. Setiap orang akan menatapku dengan tatapan iri atau memujaku. Begitu lulus sekolah aku melanjutkan ke sebuah universitas terkenal dan berkencan dengan pemuda berwajah tampan dari keluarga kaya yang juga merupakan seniorku di kampus. Hidupku seperti seorang putri di negeri dongeng. Seharusnya, seperti dongeng-dongeng lainnya, hidupku pun diakhiri dengan kalimat 'kemudian keduanya menikah dan hidup bahagia selamanya'. Seharusnya semua berjalan sesuai rencana...

Sebuah kesalahan yang kulakukan merubah semuanya menjadi mimpi buruk. Saat ini aku terpaksa harus berhenti sementara dari kuliahku, padahal seharusnya aku bisa lulus tahun depan. Aku juga terpaksa harus putus dengan pacarku yang sudah menjalin hubungan denganku selama dua tahun lebih. Tidak hanya itu, lebih parahnya lagi, aku harus menikah dengan orang yang tidak kucintai.

Kedua orangtuaku terkejut saat aku dan Ed memutuskan untuk menikah tapi mereka tidak keberatan. Kalau boleh jujur, mungkin dibanding orang tuaku, akulah yang lebih terkejut dengan keputusan ini. Aku tidak mencintai Ed. Tidak sama sekali.

Aku dan Ed melakukannya hanya sekali.

Kami melakukannya sekali saja, tanpa cinta. Saat itu kami berdua berada di bawah pengaruh alkohol dan pagi harinya kami tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi semalam. Yang terjadi malam itu adalah sebuah kesalahan besar yang sama sekali tidak pernah kurencanakan sebelumnya. Satu kesalahan yang menghancurkan hidup dan mimpiku berkeping-keping.

Malam itu kami melakukan dua kesalahan. Tidak hanya berhubungan seks, kami juga melakukannya dengan tidak aman, dan untuk menutupi kesalahan itu ironisnya kami menutupinya dengan kesalahan lainnya. Kami menikah.

Apa yang lebih menyedihkan dibanding mengikat janji sehidup semati dengan orang yang sama sekali tidak kalian cintai? Mungkin mengandung dan melahirkan anak yang tidak diharapkan bisa dibilang sebanding dengan kasus pertama. Sayangnya aku mengalami keduanya.

Aku tidak membenci Ed, tapi aku tidak mencintainya—tidak secara seksual. Kami berdua hanyalah teman sepermainan sejak kecil. Kami sudah lama saling mengenal dan tidak saling mencintai, itu saja! Aku selalu bermimpi untuk bisa menjalani sebuah kehidupan kelas atas seperti seorang putri dan Ed tahu itu. Dengan menikahinya, semua mimpi itu hancur begitu saja.

Ed tidak mencintaiku, tentu saja, ia sudah lama mengenalku dan tahu seperti apa diriku yang sesungguhnya. Ia tidak pernah menganggapku sebagai seorang wanita—seperti aku tidak pernah menganggapnya sebagai seorang laki-laki—kalau saja malam itu kami tidak terlalu mabuk, ini semua tidak akan terjadi. Aku bahkan tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya berciuman dengan Ed, apalagi kalau harus tidur dengannya.

Aku harus putus dengan pacarku, lebih tepatnya ia marah besar dan meninggalkanku begitu saja saat tahu apa yang telah terjadi. Tidak ada yang bisa kulakukan, aku tidak punya hak untuk mencegahnya pergi. Aku harus menikah dengan Ed. Aku tahu, Ed pun sangat marah karena hal ini tidak ada di dalam rencana kehidupannya, namun tentu saja ia tidak bisa menyalahkanku sebab kesalahan ini adalah sebuah kesalahan yang dilakukan dua orang dan kami berdua harus bertanggungjawab.

Pernikahan kami berlangsung sederhana tanpa pesta. Kami mendaftarkan pernikahan kami di kantor catatan sipil tanpa mengadakan resepsi atau bulan madu. Kami bahkan tidak melakukan apa-apa di malam pertama kami. Tidak ada dansa atau wine—boleh dibilang kami berdua cukup trauma setelah kejadian malam itu dan kami telah membuat sebuah kesepakatan tidak tertulis bahwa kami tidak boleh minum minuman beralkohol saat sedang berdua saja.

Kami menggabungkan seluruh tabungan kami untuk membayar uang muka sebuah apartemen dan tinggal bersama meskipun kami tetap tidur di kamar terpisah.

Kami tidak saling membenci, sebelum semua kejadian ini hubungan kami baik-baik saja. Dulu kami berteman cukup baik semasa sekolah tapi sekarang setelah menikah kami justru semakin menjauh. Sebuah pernikahan tanpa cinta adalah sebuah kesalahan besar, tapi melakukan hubungan seks tanpa alat kontrasepsi dengan seseorang yang tidak dicintai adalah sebuah bencana.

Tidur dengan teman sepermainan semasa kecil adalah satu hal. Menikah dengan orang yang tidak dicintai juga merupakan satu hal lainnya. Namun dibandingkan keduanya, ada satu hal yang jauh terasa lebih asing untukku: mengandung.

Aku tengah mengandung anak dari teman sepermainan masa kecilku dan buatku ini semua terasa aneh.

Aku tidak begitu menyukai anak kecil, bahkan aku tidak yakin aku menginginkan bayi seumur hidupku, dan kini di dalam perutku ada janin yang perlahan-lahan tumbuh menjadi seorang bayi dari laki-laki yang tidak kucintai. Aku tidak butuh Ed maupun anak ini. Aku tidak mencintai keduanya.

Aku terjerumus ke dalam lubang yang kugali sendiri. Usiaku baru dua puluh satu tahun tapi aku sudah menikah dan akan segera memiliki seorang anak. Kalau saja aku memiliki keberanian untuk menggugurkannya maka aku tidak harus terjebak dalam keadaan ini. Kami tidak perlu menikah dan Daniel tidak perlu tahu bahwa aku telah mengkhianatinya. Sayangnya aku terlalu takut untuk melakukannya. Sesuatu di dalam hatiku mengatakan bahwa itu tidak benar—bahwa menghapus kehidupan yang tumbuh di rahimku ini tidak akan menghapus kenyataan dan kesalahanku.

"Roti bakar lagi?" gumam Ed setengah menggerutu sambil menatap sarapannya dengan kerut di dahinya. Ia mendengus melihat sarapan yang kubuat untuknya pagi ini: roti bakar istimewa ala Kim. Roti bakar lezat yang dilapisi mentega yang gurih...

"Jangan banyak bicara," kataku ketus sambil menarik sebuah kursi dan duduk di hadapannya, "Bayi ini terus saja menendangi perutku saat aku akan memasak sesuatu. Coba kamu rasakan sendiri bagaimana memasak dengan bayi di perutmu. Aku bukan kangguru!"

Ed mendengus mendengarnya. Matanya yang tersembunyi dibalik kacamatanya menyipit saat ia menatapku dengan kesal.

"Jangan bercanda!" katanya ketus, "Usia kandunganmu baru empat bulan, mana mungkin bisa menendang rahimmu? Jangan membodohi guru biologi."

"Hah!" balasku sinis, "Kalau memang guru biologi yang baik, seharusnya kamu tidak melakukan kesalahan bodoh seperti ini," gumamku sambil menuangkan kopi ke cangkirku sendiri—aku tahu seharusnya aku menghindari kafein semasa hamil tapi dengan situasi seperti ini aku bisa gila kalau asupan kafeinku terhenti, "Aku tahu itu pengalaman pertamamu, tapi seharusnya kamu belajar banyak dari film porno. Kamu tahu apa itu kondom kan?"

"Cukup!" Ed berdiri dengan wajah bersemu merah menahan marah, ia mengencangkan dasinya dengan kesal, tubuhnya menjulang tinggi saat ia menatapku dari seberang meja, "Kalau kamu memang sudah berpengalaman seharusnya kamu siapkan pil KB atau alat kontrasepsi lainnya! Hanya wanita bodoh yang membiarkan dirinya dihamili pria yang bukan kekasihnya tanpa mencegah!"

"Kamu menganggapku murahan?"

Aku menghempaskan cangkirku yang kini sudah nyaris kosong dengan kasar ke atas meja. Sebagian isinya menciprati taplak meja warna pastel kesukanku. Aku aku berdiri dan menatap

Ed yang balas menatapku dari sisi lain meja makan.

Aku menghela napas dan memijit dahiku, "Sudahlah, perjaka memang membosankan. Pantas saja tidak pernah ada wanita yang mau berpacaran denganmu. Kalau saja kamu tidur dengan sepuluh wanita mungkin akan ada sepuluh wanita hamil yang akan datang menuntut pertanggungjawabanmu."

Ed menggebrak meja di hadapannya, mengejutkanku.

"Hentikan!" katanya dengan wajah benar-benar merah.

Ia berjalan meninggalkan meja makan sambil meraih mantelnya dengan kasar.

"Aku berangkat!" katanya masih terdengar marah, "Aku akan pulang telat. Tidak makan malam di rumah."

Ia melangkah keluar dan menutup pintu dengan kasar.

Aku menghela napas dan kembali duduk di kursiku sambil bertopang dagu. Meskipun wajahnya tergolong cantik tubuhnya tampah ramping, Ed selalu tampak mengerikan saat marah. Aku menatap noda kopi di taplak meja kesayanganku sambil mengerutkan dahi dan memikirkan bagaimana aku bisa menghilangkan noda itu.

'Yah,' pikirku sambil beranjak dari kursiku, 'paling tidak dia bilang dia tidak akan makan malam di rumah, aku tidak perlu repot-repot masak.'

Kejadian pagi ini adalah rutinitas sehari-hariku semenjak menikah dengannya. Kami selalu saja berdebat dan bertengkar, lama-lama aku merasa terbiasa dengan keadaan ini. Meskipun rasanya sedikit aneh mengingat dulu kami bersahabat cukup dekat, setelah menikah kami justru bertingkah seperti musuh bebuyutan. Mungkin, kami hanya belum bisa menerima kenyataan bahwa kami harus menikahi satu sama lain, bukan dengan orang yang benar-benar kami sukai.

Aku belum terbiasa menjalani kehidupan sebagai seorang ibu rumah tangga. Mungkin aku tidak akan pernah terbiasa. Selama ini aku selalu berambisi untuk menjadi seorang wanita karir, pekerjaan rumah seperti memasak dan membuang sampah.

Aku tersentak dari lamunanku dan segera melihat jam dinding. Aku mengerang saat melihat jarum pendek sudah berada di angka sembilan. Gawat! Aku lupa kalau hari ini adalah hari pembuangan sampah!

Di lingkungan tempat tinggalku ini, hari pembuangan sampah hanya ada seminggu sekali yaitu hari rabu setiap minggunya. Karena tidak ingin sampahnya diacak-acak burung gagak atau hewan liar maka kami hanya bisa mengeluarkan sampah di hari pembuangan sampah pada jam saat truk pengumpul sampah datang. Kalau aku tidak berhasil membuangnya hari ini maka artinya aku harus tinggal bersama sampah-sampahku minggu ini selama seminggu lagi. Ugh... memikirkannya saja aku tidak mau!

Aku menarik kantung plastik besar berwarna hitam berisi sampah dari dapur. Aku membawanya keluar dari apartemenku dengan susah payah. Kamar kami ada di lantai dua jadi aku harus menuruni tangga dengan membawa sekantung besar sampah, dan itu tidak mudah.

Sambil setengah berlari aku berdoa semoga saja aku tidak ketinggalan truk pengangkut sampah. Susah payah, aku menyeret sampah itu sepanjang jalan menuju tempat pengumpulan sampah dimana truk sampah akan menunggu.

"Ah, tunggu!" teriakku sambil berusaha mengejar truk yang mulai berjalan menginggalkan itu,"Tunggu!" teriakku sambil menyeret kantung sampah itu. Cukup lama aku mengejar truk itu sampai akhirnya supir truk itu menyadari bahwa seorang wanita sedang berlari mengejar truknya dengan menyeret kantung sampah besar dengan sekuat tenaga.

Setelah berhasil membuang sampah—yang dapat kuartikan juga sebagai olahraga pagi yang cukup mengeluarkan tenaga dan keringat—aku berjalan dengan letih kembali ke gedung apartemenku. Sejak dinyatakan resmi mengandung, entah mengapa kegiatan sekecil apapun mampu membuatku lelah. Dan juga marah.

Jam-jam seperti ini jalanan masih cukup ramai. Aku memandang sekitarku. Ada orang dewasa yang berangkat ke kantor, anak-anak berangkat ke sekolah, mahasiswa berangkat kuliah... Sedangkan aku harus kembali ke rumah. Ironis sekali. Nasib ibu-ibu rumah tangga memang seperti ini. Duniaku membosankan dan monoton. Aku masih terlalu muda untuk terjebak dalam neraka ibu-ibu.

Kalau mencoba berpikir positif mungkin ada beberapa hal yang menguntungkan dengan menikah muda. Di saat teman-teman yang lain mengantuk di kelas, mendengarkan omelan dosen dan memikirkan laporan yang harus dikumpulkan, aku dapat bersantai di rumah. Berbaring di depan TV sambil memakan sebungkus keripik kentang. Ah, tapi aku merindukan semua pelajaranku. Aku adalah calon pengacara yang hebat—dosen-dosenku selalu berkata demikian. Aku tahu aku akan menjadi pengacara yang hebat. Sayang aku telah kehilangan kesempatanku dan terjebak di neraka ibu-ibu.

Saat tiba di rumah aku memandang sekitarku dengan sedikit sedih. Inilah tempatku sekarang. Bukan di dalam ruang kelas atau di balik meja kerja...

Aku memandangi perutku, sekarang memang masih tidak terlalu besar, tapi empat bulan lagi aku pasti akan menggelembung sebesar truk kontainer. Kalau sudah begitu apa lagi yang tersisa pada diriku ini?

Aku menghela napas dan berjalan ke arah dapur. Secangkir teh dan sekantong keripik kentang pedas sepertinya cocok dengan suasana hatiku saat ini...

.

.

avataravatar
Next chapter