webnovel

Hari Pertama

"Bintang!"

Gadis berambut hitam sepunggung yang sedari tadi berjalan lurus menyusuri koridor itu menoleh, mendengar namanya diteriakkan. Mendapati temannya berlari ke arahnya dengan nafas terengah-engah, Bintang mengernyit. "Kenapa lo?" tanyanya heran sembari menilik gadis yang kini mengatur napas di sampingnya.

"Dipanggilin daritadi!" sembur Thalia—gadis itu, sebal melihat reaksi cuek Bintang. "Lo budek, ya?"

"Sorry, nggak denger." Bintang menanggapi dengan enteng. "Kita sekelas?"

"Nggak," jawab Thalia. Mereka kini melanjutkan jalan bersisian, menyusuri koridor utama sekolah. "Lo kemana aja, kok nggak ikut MOS?"

"Males." Bintang mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Mereka telah mencapai ujung koridor utama, dan kini dihadapkan dengan pertigaan. Ini sekolah apa jalan raya sih? gerutu Bintang dalam hati. "Eh, kita ke papan informasi dulu, yuk. Papan informasinya dimana?"

Thalia memandang Bintang gusar. "Makanya ikut MOS."

"Heh, buat apa?" Bintang mencemooh. "Nggak guna juga."

Thalia tersenyum mengejek. "Tapi lo jadi buta tentang sekolah lo sendiri, kan?"

"Lama-lama juga pasti tahu sendiri kok. Nggak perlu acara pembodohan kayak begitu." Bintang berbelok ke kanan, melihat di sudut sana terpampang papan informasi yang cukup besar.

"Lo tuh ya—Eh." Thalia mencegat Bintang sebelum gadis itu sempat melangkah. "Mau kemana lo?"

"Ke papan informasi." Bintang menunjuk papan besar tersebut. "Di sana, kan?"

"Iya, tapi,"—Thalia masih menahan Bintang, meskipun gadis itu sudah mendeliknya tajam, meminta dilepaskan—"Jangan lewat situ."

"Apaan sih, lo?" Bintang menarik dirinya sekali lagi sampai berhasil terlepas dari Thalia. "Gue cuma mau lihat papan informasi doang, bukan ngebakar koridor itu."

"Iya, tapi—"

"Tapi apa?"

"Jangan lewat situ."

"Kenapa emang?"

"Nggak boleh!"

Bintang mengernyit sekali lagi. "Nggak jelas lo," ucapnya, sambil meneruskan langkah, tanpa peduli Thalia yang komat-kamit tidak jelas di belakangnya. Mata Bintang menelusuri koridor yang dilaluinya itu.

Koridor itu dijejeri oleh loker-loker satu pintu berwarna hijau tua, tampak serasi dengan dindingnya yang dipoles warna krem. Banyak siswa yang berdiri di sana, entah meletakkan tas, mengobrol, atau membersihkan loker mereka. Bintang memfokuskan pandangannya ke arah papan informasi, saat seseorang menjegal kakinya—membuatnya nyaris terjatuh kalau saja keseimbangan tubuhnya kurang baik.

Bintang menoleh untuk melihat jahanam mana yang berani mengusik hari pertamanya bersekolah. Tampak seorang murid laki-laki, berdiri menyandar di depan lokernya sembari menenteng tas hitam yang tampak ringan. Baju seragamnya dibiarkan menjuntai keluar dan dasinya tidak disimpul. Rambutnya acak-acakan, nyaris menutupi tatapan mata tajamnya yang menghujam Bintang.

Bintang balas menatapnya jijik.

"Ngapain lo di sini?" tanya cowok itu pongah.

"Kenapa emang?" Bintang balas bertanya, dengan nada yang diusahakan setenang mungkin.

"Gue nanya, ngapain di sini?" tanya cowok itu lagi.

"Sorry, tapi apa urusan lo?"

"Oh,"—cowok itu memposisikan tubuhnya menghadap Bintang, membuat gestur mengintimidasi—"Berani, ya?"

"Ngapain takut?" Bintang menatap cowok itu sengit. "Gue nggak salah, kan?"

Cowok itu menggertakkan gerahamnya. "Lo—"

"Maaf, Kak." Thalia menarik Bintang mundur, lalu memosisikan tubuhnya melindungi gadis itu. "Ini teman saya, nggak ikut MOS, jadi belum tau apa-apa. Maaf banget ya, Kak."

Bintang melotot pada Thalia.

"Pantesan." Cowok itu kini berbalik, membuka pintu lokernya, lalu melemparkan tasnya secara asal ke dalam. Setelah selesai, ia menutup—setengah membanting—pintunya, lalu kembali mengunci lokernya. "Ajarin tata krama, ya," pesannya.

Kata-katanya itu mungkin ditujukan pada Thalia, namun iris mata cowok itu terarah pada Bintang.

"Iya, Kak," ucap Thalia patuh.

Cowok itu berlalu dengan tenang, melewati Bintang dan Thalia seolah mereka berdua patung atau apa.

"Jijik," umpat Bintang, tidak lama setelah cowok itu beranjak. Mata Thalia melotot mendengar ucapan temannya itu, yang dilontarkan dengan agak terlalu keras.

Langkah cowok itu tiba-tiba terhenti. "Lo ngomong apa?" Dia menoleh, kembali melemparkan tatapan tajam pada Bintang.

"Jijik." Bintang memperjelas.

Thalia menggigit bibir bawahnya cemas. Dia memahami karakter Bintang dengan baik. Temannya yang satu itu memang gampang sekali tersulut emosinya dan tidak gentar melawan jika ia tidak merasa bersalah. Dan Thalia tahu, jika dia tidak segera bertindak, pasti akan terjadi perang dunia ketiga di sana.

"Udah, Bintang." Thalia menarik—setengah menyeret—Bintang menjauh dari koridor terlarang itu. Bintang berusaha melawan, tapi kekuatan Thalia yang ketakutan lebih besar daripada kekuatannya sendiri dan alhasil membuatnya pasrah diseret oleh Thalia.

"Udah." Setelah dirasa cukup aman, Thalia berhenti melangkah.

"Lo apaan, sih?" sembur Bintang ketika berhasil melepaskan diri dari Thalia. "Kenapa lo minta maaf coba? Kenapa juga lo nyusul gue?"

"Bintang, dengerin gue." Thalia menghela napas, mencoba sabar menghadapi Bintang yang keras kepala.

"Apa sih, Thalia?!" Bintang meledak. "Gue cuma mau liat papan informasi!"

"Bintang," Thalia masih berusaha meredam suaranya agar tidak ikut meledak. "Kita—anak kelas satu—nggak boleh lewat situ."

"Emang tertulis di peraturan sekolah? Nggak, kan?" Bintang mendengus. "Pembodohan."

Thalia mendecak sebal. "Susah ya, ngomong sama lo."

"Thal, gue cuma nggak suka tingkah dia." Bintang memberi alasan. "Jangan mentang-mentang kita murid baru, dia bisa seenaknya."

Thalia menghela nafas, lalu lagi-lagi berkata dengan sabar, "Bintang, kalau lo emang nggak peduli dengan peraturan yang lo anggap pembodohan itu, nggak masalah. Tapi, please, jangan nyari masalah."

"Gue nggak nyari ma—"

"Iya, gue tau lo nggak bermaksud nyari masalah. Tapi kita sebagai murid baru di sini harus ngehormatin yang lebih senior, dan lo nggak seharusnya nyolot kayak tadi," potong Thalia secepat mungkin.

Bintang memandang Thalia aneh, seolah gadis itu baru saja mengatakan bahwa sapi bisa bertelur. "Lo mau aja gitu nurutin kemauan dia, hanya gara-gara dia senior dan kita murid baru?"

"Gue mau main aman," ujar Thalia. "Kita ikutin aturan mainnya aja."

Bintang terkekeh mengejek, namun tidak mampu mengelak lagi alasan terlogis yang diberikan Thalia. Dia mengekori langkah temannya itu yang berbelok ke koridor yang di sebelah kiri, di pertigaan yang tadi.

"Terus gimana caranya gue tahu kelas gue yang mana, kalau gue nggak boleh lihat papan informasi?" tanya Bintang sarkastik.

"Lo kelas X-A, samping kelas gue. Kelas kita ada di lantai dua," jelas Thalia. "Dan ini kunci loker lo."

Bintang menerima kunci kecil berwarna hitam dari Thalia. Kunci tersebut sudah dipasangi sebuah gantungan mungil bergambar bintang. Bintang tersenyum melihatnya. "Kadang berguna juga ya, lo jadi teman gue."

"Yee." Thalia mendorong bahu Bintang pelan. "Bilang makasih kek."

"Makasih, Thalia!" Bintang memeluk Thalia sebagai ungkapan terimakasih. Thalia hanya geleng-geleng kepala, pusing dengan emosi temannya yang naik turun. Kurang dari 7 menit yang lalu dia nyaris menyulut perang dengan seorang senior, kini bisa-bisanya bertingkah manis begini.

Thalia menyentil dahi Bintang, lalu mendorongnya menjauh. "Denger gue, Bintang. Lo jangan sampe nyari masalah lagi, apalagi sama senior. Ngerti?"

"Iya, ngerti," ucap Bintang acuh tak acuh.

"Lo juga harus nurutin semua aturan, tertulis ataupun nggak," tegas Thalia. Melihat ekspresi Bintang yang tidak setuju, ia buru-buru menambahkan, "Kalo lo mau aman."

Bintang menghela napas. "Tergantung aturannya, deh. Selama nggak ngerugiin, gue ikutin."

Thalia mengangguk, lumayan puas dengan jawaban temannya itu. "Dan satu lagi," tambahnya. Melihat Bintang menaikkan alis seolah bertanya, dia berucap, "Jangan macam-macam sama senior yang satu itu."

"Ck, siapa sih dia?" tanya Bintang kesal. Namun, kekesalannya itu menguap ketika menemukan kekesalan lainnya. "Eh, jalan ke kelas yang mana?" tanyanya lagi, pusing tangga mana yang harus dinaiki. Dia dihadapkan oleh dua anak tangga yang mengarah ke dua arah yang berbeda.

"Yang ini," Thalia menunjuk tangga sebelah kiri. "Kalau yang itu ke koridor kelas dua belas," jelasnya, meskipun tidak yakin Bintang mendengarkan.

Bintang mendengus pelan. "Ini sekolah juga gedenya keterlaluan. Sebenarnya sekolah apa mall, sih? Gue, kan jadi susah ngingat jalannya," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Thalia tertawa mengejek. "Makanya ikut MOS."

***

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di kelas barunya, hanya satu hal yang terlintas di pikiran Bintang; dia ingin pulang sekarang juga. Suasana begitu ramai, tapi juga begitu canggung. Aneh tidak? Di satu sisi, kelas tersebut terasa bising karena obrolan dari teman-teman sekelasnya yang sudah saling mengenal. Di sisi lain, kelas itu juga terasa kaku karena suasana baru yang masih canggung dan terkesan jaim.

Bintang menghela napas lega ketika melihat Thalia berdiri di ambang pintu kelasnya begitu bell istirahat berbunyi. Dia sudah merasa cukup sial masuk ke kelas yang berbeda dengan gadis itu. Ditambah lagi Bintang tidak memiliki kenalan lain mengingat dia tidak mengikuti masa orientasi.

Dan seolah sialnya belum cukup, Bintang kebagian tempat di depan—tepat di depan meja guru, di samping seorang gadis berkacamata, tipe pemalu yang tidak bisa memegang kendali percakapan. How nice.

"Bintang!" sapa Thalia sembari melambaikan tangan. Seingat Bintang, dia tidak pernah sesenang itu melihat Thalia.

Bintang segera bangkit dari tempat duduknya lalu menghampiri temannya sejak sekolah menengah pertama itu. "Mau kemana?" tanyanya, sembari berjalan menyusuri koridor.

"Ke kantin, mau?" ajak Thalia.

"Boleh." Bintang mengalihkan pandangan, mengamati koridor tempat ruangan-ruangan kelas sepuluh dijejer ini. Mulai dari kelas X-A yang berada di pojok sampai kelas X-E di dekat tangga. "Tapi lo tahu jalannya?"

"Ya taulah," jawab Thalia yang sejurus kemudian terkikik geli.

Bintang memutar bola mata, merespon ucapan gadis itu. "Iya deh, yang ikut MOS." Melihat Thalia tidak kunjung berhenti menunjukkan senyum penuh kemenangannya, Bintang mendorong pundaknya pelan. "Udah ah, Thal, gue mau ke kantin sekarang."

"Eh, tapi gue ke toilet dulu ya? Kebelet nih," ujar Thalia. "Lo mau ikut atau nunggu di sini?"

"Ikutlah," jawab Bintang cepat. "Ntar gue nyasar, lagi."

"Yuk. Di toilet deket perpus aja, biar deket ke kantin," Thalia menginformasikan tanpa diminta. "Perpus sama kantin kan dekat. Jadi nanti tinggal belok kiri di koridor—"

"Ya ya ya, terserah!"

***

"Gue nunggu di sini aja, ya?" Bintang berhenti di depan pintu perpustakaan. Ia tidak mau menunggu di dalam toilet. Lagipula, perpustakaan dan toilet yang dimaksud Thalia benar-benar dekat—dari pintu perpustakaan hanya berjarak lima langkah besar untuk masuk ke dalam toilet.

Thalia mengangguk. "Jangan kemana-mana, ya. Tunggu disitu."

"Iya," ucap Bintang, malas diperlakukan seperti anak kecil. Seolah dia akan hilang jika melangkahkan kaki satu langkah saja dari tempatnya. "Lo jangan lama-lama."

Thalia menghilang ke dalam toilet. Bintang mengamati lagi sekelilingnya, sambil berusaha mengingat-ingat jalan yang tadi dilaluinya dari kelas.

Lurus, belok kanan, dapat mading belok ke kiri terus naik tangga. Bintang tersenyum, puas dengan ingatannya yang cemerlang. Eh, tapi tangga yang sebelah kiri atau kanan, ya?

Ck, tau ah.

Bintang lalu mengalihkan pandangan ke pot-pot yang terjejer rapi di depan toilet. Tumbuhan hijau di atasnya meliuk segar, tampak baru saja disiram air. Ukurannya kecil, namun susunannya yang berjejer dengan jarak yang pas membuatnya terlihat menarik. Fokus Bintang teralih pada sesuatu yang tergeletak di depan pot—tidak jauh darinya.

Sesuatu yang juga berwarna hijau dan menggeliat.

Ulat bulu.

"KYAAAA!" Bintang meloncat ke belakang, bertepatan saat pintu perpustakaan di belakangnya terbuka.

Bruk!

Dia merasakan punggungnya menabrak seseorang saat dirinya terjengkang ke belakang, sebelum akhirnya sukses terjerembab di ambang pintu perpustakaan.

Bintang meringis, campuran antara kesal dan malu. Dia mendongak dengan takut-takut, mencari orang yang tidak sengaja ditabraknya. "Sorry," ucapnya, sambil menunjukkan cengiran kaku sebagai tanda rasa bersalah.

Kali ini, dia siap menerima omelan. Toh ini memang salahnya.

Orang yang ditabraknya tadi sudah bangkit dari posisi jatuhnya. Dia menunduk, merapikan celana abu-abunya yang sedikit kusut. Mendengar suara Bintang, cowok itu menoleh sembari mengulas senyum—tampak lesung pipit samar di pipi kirinya. "Nggak papa," ujarnya.

Bintang mengerjap dua kali, tidak percaya. Tidak apa-apa, katanya? Padahal dia sudah siap mental untuk menelan caci maki apapun yang akan terlontar dari cowok itu.

"Lo sendiri nggak papa?" Cowok itu menghampirinya, lalu mengulurkan sebelah tangan untuk membantunya berdiri. Dari dekat, rambut hitamnya yang mencuat kesana-kesini tampak halus. Iris matanya memancarkan sorot damai, dinaungi oleh sepasang alis tebal yang menambah kesan penuh ketenangan di wajahnya.

Bintang hampir saja mematung di tempat saking takjubnya, jika dia tidak segera menyadarkan diri lalu menyambut uluran tangan cowok itu dan bangkit dari posisinya. "Nggak papa kok," kata Bintang. "Sori ya, gue nggak sengaja."

Cowok itu tertawa, menunjukkan deretan giginya yang rapi. "Iya, nggak papa kok. Tadi gue udah bilang, kan?"

Mau tidak mau, Bintang ikut menyengir.

Cowok itu membungkuk, memungut buku yang tadi dijatuhkannya. Fakta Alam: Galaksi dan Perbintangan—Bintang membaca judulnya. "Gue mau ke kelas," katanya, memberitahu.

Bintang menoleh ke kanan-kiri, untuk memastikan bahwa cowok itu sedang berbicara kepadanya. "Gue?" tanyanya ragu, sambil menunjuk dirinya sendiri. Sadar bahwa memang hanya ada mereka berdua di pintu masuk perpustakaan, Bintang segera mengangguk, menggumamkan balasan untuk lawan bicaranya.

"Sampai ketemu nanti…," Cowok itu menatapnya, memperlihatkan cekuk di pipi kirinya yang kini tampak jelas. "Bintang."

Dia berlalu begitu saja, meninggalkan Bintang yang terpana. Mata Bintang tidak lepas dari punggung cowok itu sampai ia menghilang di belokan. Bintang mengerjap beberapa kali sampai akhirnya tersadar akan sesuatu yang ganjil.

Cowok itu tahu namanya.

Next chapter