1 perempuan dengan pesona kesedihan (1)

Perempuan itu berjinjit kecil keluar dari biliknya yang sempit. Tak ada yang ia takuti. Malam terlalu malam. Karena itu ia berani. Bunyi kayu yang berdenyit dengan hati-hati ia membuka agar pintu itu tak bersuara tapi sialnya sudah bubruk. Meskipun pelan tetap saja bunyinya terdengar. Perempuan itu terus mengendap-endap tak mungkin berlari katanya dalam hati. Sebab seisi ruang akan bangun. Ini pukul dua pagi. Sebentar lagi pagi, ucapnya sekali lagi. Ia tak tahu ke mana perginya kali ini. Ia hanya terus berjalan dengan penuh percaya pada dirinya sendiri. Tak ada yang tahu ia pergi ke mana setiap malam. Setiap melangkah diucapkannya segala, seperti sedang berdoa. Mulutnya berbicara apa-apa yang tak diketahui. Namun, entah mengapa malam ini ia pergi membawa seluruh dirinya yang basah. Bau keringatnya basah, pipinya basah, dahinya pun ikut basah. Ia seperti ketakutan, tapi ia percaya diri, ia tak takut. Di mana seseorang? tak seorangpun yang diharapnya datang, menemukan jalan atau cara keluar yang dilakukan bersamaan. Ia hanya seorang diri. Sudahlah, ucapnya "tak apa, ini mudah" celaka ia telah berdoa agar tak seorangpun mengetahui ke mana ia akan pergi. Sebab itu ia pergi dan tak diketahui. Perempuan itu sungguh berani. Ia tak takut pada apapun, siapapun. Lantas pada siapa ia sedang berdoa?

Ia terus menangis, tanpa sadar dirinya sudah basah. Tiba ia di tengah sunyinya malam. Ditemukannya kelokan yang sunyinya lebih dalam. Lebih malam dari apapun. Kautahu? katanya dalam hati. Aku tak akan kehilanganmu sekali lagi. Siapapun kau tunggu aku di sana dan jika kau ingin mati maka, matilah saat itu aku tiba di depan matamu. Ingin rasanya mulut meneriaki kupingku sendiri. Tapi bagaimana? Perempuan itu menyebut dirinya aku, tapi bagaimana? bukankah aku telah menjadi orang lain. Biarlah. Terserahnya mau menyebut siapa dan siapa, sekarang baiklah. Mari mulai menyebut nama perempuan itu; aku.

Akhirnya, aku keluar dari rumah itu. Rumah yang disebut-sebut tempat kembali pulang sehabis kau pergi, tempat segala lelah dan cerita bisa kau bagi di dalamnya. Aku tak sanggup menyebutnya sebagai rumah, di sana yang tinggal hanya masalah demi masalah. Pertengkaran dan semua orang yang tak mau mengalah. Bagaimana mungkin aku terlahir dari ketakutan-ketakutan ini sepanjang hari, sepanjang tahun ke tahun dan waktu berjalan menjadi panjang. Tak ada yang singkat di dalamnya. Kenangan buruk menempel di dinding dan tembok luar di pagar. Kutukan berdiri sebagai tiang. Masa kecilku begitu indah namun sayang. Sejak dua orang yang ku cintai itu berpisah kemudian melanjutkan diri kembali bersama dengan bodohnya mengulang kesalahan yang sama, berkali-kali tanpa kian pasti, laki-laki yang selalu menyebut dirinya adalah Ayah maunya menang sendiri. Perempuan yang ku sebut Ibu itu egois, apatis, bawel, tak peduli sama siapa dia marah pasti membenci. Kapan kita akan selesai, kapan kita menjadi keluarga yang benar-benar bahagia bukan hanya karena tersenyum di depan banyak orang karena Ayah seorang politikus terkenal dan Ibu hanya istri rumah tangga yang setiap harinya memendam cemburu.

Aku tak tahu ke mana waktu membawaku selarut ini. Tapi biarlah, aku ingin tenang dan mengenang masa kecilku. Ku lihat di ingatan yang tinggal sedikit, Ayah dan Ibu begitu mencintaiku. Bahkan nyamuk tak boleh menggigitku. Tuhan, bilang padaku Ibuku; sebenarnya aku ingin dilahir dengan harapan yang bagaimana. Mengapa hidup begitu berat. Aku tak mau meletakkan tanda tanya dalam setiap pertanyaanku agar tak semakin menyakitkan, ku kurung dalam diriku sendiri dan biarlah. Sampai di ujung jalan yang sunyinya lebih parah dari diriku. Sial ! benar-benar tak ku temui siapapun di sini. Angkutan umum tak lewat, tukang ojek juga tak menawari tumpangan. Tuhan ingin aku berjalan sejauh ini. Entah apa yang direncanakannya namun aku harus terus berjalan.

Siapa tadi ia yang ku janjikan untuk ku temui. Kukatakan sejak tadi bila kami akan bertemu. Apa aku semudah itu melupakannya. Aku berniat mendatangi seseorang itu tapi darimana mulanya aku pergi. Ia tak memberi alamat, di mana, haruskah ku cari lebih jauh lagi. Ke mana kakiku berjalan. Aku lelah. Siapapun kau cepatlah ke mari. Temui aku di mana pun kau ingin aku. Ya. Aku ingat namamu, Kelana. Entah mengapa saat mengingat namanya kembali, deras air mata dibuat. Ia akan datang, sebentar lagi. Pukul empat pagi, ya pukul empat pagi. Kelana akan lewat di sini. Menemuiku. Bergegaslah Na, tak ada lagi yang harus kita tunggu. Ku mohon, kayuh sepedamu lebih kencang, biarkan aku melihat matamu sekali lagi. Na, di sini sunyi. Tak ada sunyi yang lebih dingin dari apapun saat ini. Cepat Na.

-----------------------------------------------------------------------------------------------

Kau cahaya di dalam diriku Na, darimanapun kau tetaplah sinar. Meski dari sudut gelap manapun kau tetap Kelana, cintaku. Terlalu banyak yang telah kita lewati. Tak ada satupun yang ingin ku lupa. Dengan sepedamu yang lucu akhirnya kau temukan aku di sini. Buru-buru kau jatuhkan sepedamu lalu memelukku tanpa menyadari betapa tenangnya aku sekarang

"Bi, kamu gapapa? kamu kedinginan Bi, ayo kita ke rumahku. Bi"

"sssssst diem Na, aku gak mau dengerin kebawelanmu, bawa aja aku ke manapun"

"iya" dikayuhnya sepeda itu, aku di depan, duduk di atas setang yang keras. Kelana bilang nanti waktu dia lulus wisuda dan punya pekerjaan dia akan beli motor untuk kami. Katanya supaya aku gak lama lagi menunggu.

"Na, kamu tau gak dari tadi aku liat kamu kayak super Hero. huh"

"Mirip siapa dong The avanger. Captain America ya gak sih?"

"Gatot kaca Na" hahahaha tawa kami pecah di perjalanan, aku sudah lupa kejadian sebelumnya di mana aku keluar diam-diam setelah sunyi. Pukul tujuh malam sebelum semua siap tidur, Ayah dan Ibu bertengkar lagi. Semua barang-barang melayang ke udara, aku gak bisa melakukan apapun. Selain berdoa semoga Ibuku tak kenapa napa.

"Seneng liat kamu bisa ketawa Bi. Aku selalu khawatir kalo bibirmu itu berhenti melakukan apapun." aku kembali tersenyum. Aku suka keadaan malam ini. Malam yang terlalu malam menjadi tenang sambil mengenang masa kecilku yang indah. Bersama seseorang yang selalu menemaniku. Kelana bilang padaku, kami akan menikah saat usiaku nanti seusianya. Biarkan saja dia bermimpi seperti apa, aku cukup tenang mendengar semua perkataannya. Sekarang yang ingin ku minta pada Tuhan hanya satu, agar Dia melindungi Kelana di manapun supaya kehadirannya selalu untukku. Supaya Kelana bisa mewujudkan mimpinya, aku akan terus berdoa untuk itu.

"Na, kita ke rumahmu kan"

"Iya, rumah Ibuku Bi"

"Dia gak pernah nanyak Na aku ngapain?"

"Ibu tau aku sama sepertimu, jadi dia gak akan nanyak apa-apa, bedanya Ibuku udah bebas Bi, dia berani melepaskan dirinya, aku gak berharap Ibumu melakukan hal yang sama seperti Ibuku. Kita doakan yang baik-baik saja ya"

"Oh ya Bi, selamat pagiiiiiiiiii" hehe...

Senyum itu Na, mata itu Na, jangan biarkan berpaling ke manapun. Rasanya aku selalu bisa bercermin ke dalam matamu. Kacamata itu, meski buram mengembun udara pagi yang dingin, tapi di sana masih ada aku kan. Biarkan kami terus seperti ini Tuhan. Jangan lakukan hal yang sama persis seperti kedua orang tua kami. Amin. Menyala lah hal-hal baik. Amin. Amin.

avataravatar