21 Chapter 21

"Mr. Gilbert, belum sadarkan diri. Akan tetapi, Anda tidak perlu merasa khawatir. Mr. Gilbert, sudah melewati masa kritis dan akan segera di pindahkan ke ruang perawatan. Saya permisi."

--

Austin tidak dapat lagi menutupi kesedihannya bermanjakan rekan bisnis sekaligus sahabat yang dia sayangi layaknya saudara sendiri telah terbaring lemah dalam kondisi koma.

Wajah pucat, kedua mata memejam rapat telah membuat Austin terasa terlemparkan ke dalam jurang kegelapan.

Digenggamnya jemari kekar dengan tangan bergetar. "Laki-laki sekuat dirimu, bagaimana bisa mengalami kecelakaan tragis seperti ini, huh? Pasti semua ini karena wanita masa lalumu yang tidak tahu diri itu kan? Menyedihkan! Tidak aku sangka Darren Ewald Gilbert - sang billionaire - bernasib sangat menyedihkan." Cibirnya.

"Seharusnya sudah sejak lama wanita hina tersebut ku lenyapkan." Geramnya beriringan dengan suara gemeletuk gigi.

Entah sudah berapa lama menghabiskan waktu dengan Darren, yang jelas Austin melupakan janji meeting bersama rekan bisnisnya. Beruntung, Kenzie mengingatkan.

Seulas senyum tampak mengukir di bibir kokoh. "Thank you, Kenzie."

Sebelum berlalu meninggalkan ruang perawatan Darren, dia pun menepuk pelan pundak lelaki tersebut. "Jaga, Mr. Darren. Segera kabari saya jika sesuatu terjadi."

"Baik, Sir."

🍁🍁🍁

AUSTIN COMPANY

London, Britania Raya

Saat ini Austin sedang terlibat meeting dengan rekan bisnisnya. Perbincangan demi perbincangan telah mengarah pada topik peluncuran produk baru yang akan segera Austin Company luncurkan dalam waktu dekat.

"Jadi, bagaimana keputusan anda, Mr. Austin?"

Yang ditanya tidak langsung menjawab, akan tetapi memutar bola matanya seolah sedang berpikir keras. Saat ini Austin sedang mempertimbangkan siapa kah model yang akan dia pakai sebagai brand ambassador dari produknya tersebut.

Seolah paham dengan yang dipikirkan oleh Austin. Rekan bisnisnya tersebut langsung menyarankan. "Bagaimana kalau menggunakan jasa model dari BM Magazine?"

"Saya belum pernah menjalin kerjasama dengan perusahaan tersebut. Jadi, saya tidak tahu dengan sepak terjang model-model di sana. Yang saya butuhkan adalah profesionalisme."

"Untuk hal 1 itu Anda tidak perlu merasa risau. Saya mengenal dengan sangat baik CEO dari perusahaan tersebut. Jika Anda berkenan maka, saya akan memperkenalkannya kepada Anda."

"Hal itu tidak menjadi masalah besar. Silahkan Anda atur waktunya."

Rekan bisnisnya langsung membeliakkan tatapannya. "Kapan pun?" Tanyanya berselimut rasa tak percaya. Satu hal yang dia yakini bahwa seorang Austin memiliki tingkat kesibukan yang sangat tinggi.

Seolah paham dengan yang bersarang di dalam otak rekan kerjanya tersebut. Austin langsung menjelaskan bahwa pertemuan dengan CEO dari BM Magazine merupakan kesempatan berharga yang tidak boleh disia-siakan begitu saja.

Atas penghargaan yang baru saja terucap dari bibir Austin itulah yang telah membuat rekan bisnisnya tersebut merasa bangga. "Kalau begitu bagaimana dengan besok siang? Tepatnya sebelum jam makan siang jadi, Anda dan Mr. Obsen bisa berbincang ringan sembari menyantap hidangan makan siang bersama."

"No problem." Singkat, padat, jelas, itulah kalimat yang meluncur dari bibir Austin.

Perbincangan demi perbincangan terus saja mengalir hangat hingga terdengar suara dering ponsel. Tanpa mengurangi rasa hormat dia pun melirik sekilas untuk mengetahui siapa sang penelepon. Seketika itu juga tatapannya membeliak sempurna bermanjakan nama Kenzie.

"Sepertinya itu telepon penting. Silahkan Anda angkat terlebih dahulu."

Austin menanggapinya dengan seulas senyum tipis, sangat tipis hingga rekan bisnisnya saja tidak mengetahui bahwa dia sedang tersenyum.

"Saya tinggal sebentar."

"Silahkan, Mr. Austin."

Saat ini Austin tengah berbincang dengan Kenzie. "Informasi penting apa yang ingin kau sampaikan sehingga mengganggu waktu meeting saya, hah?"

"Mr. Gilbert, kondisinya memburuk, Sir."

Seketika itu juga Austin membeliakkan matanya. "Pantau terus perkembangan, Mr. Darren. Saya akan segera ke rumah sakit."

Belum sempat Kenzie menjawab, panggilan sudah diputus begitu saja. Setelahnya, Austin bergegas menemui rekan bisnisnya.

Bermanjakan wajah Austin yang menyirat kegelisahan, cemas dan juga rasa takut telah membuat rekan bisnisnya tersebut melemparinya dengan pertanyaan. "Apakah terjadi sesuatu?"

Pertanyaan yang baru saja menggelitik pendengaran membuatnya tersentak. Namun, secepat mungkin menguasai keadaan. Bibir kokoh tampak mengukir seulas senyum hangat. "Semua aman terkendali. Terima kasih atas perhatian Anda."

"You are welcome, Mr. Austin."

Kini, keduanya kembali terlibat ke dalam perbincangan hangat seputar bisnis dan tentunya rencana pertemuan dengan CEO dari BM Magazine, Obsen Brossom.

Setelah meeting usai Austin bergegas menuju rumah sakit dengan mengendarai mobil kesayangan. Dikemudikannya mobil tersebut dengan kecepatan tinggi sehingga terasa seperti dilemparkan. Meskipun begitu sama sekali tidak membuatnya takut. Untuk saat ini yang dia perdulikan bukanlah keselamatan diri sendiri melainkan sahabat yang sudah di sayangi layaknya saudara sendiri yaitu Darren Ewald Gilbert.

Setelah sekian lama membelah pusat kota London. Kini, mobil yang membawanya pergi telah sampai ke tempat tujuan. Austin terlihat memarkirkan mobilnya secara asal. Berakibat dari hal itulah sang security mendekat. Belum sempat melayangkan protes keras atas tindakan yang semena-mena, dia pun sudah dikejutkan dengan sikap Austin yang penuh dengan arogansi tinggi.

Tanpa memperdulikan kemarahan sang security, dia pun melemparkan kuncinya asal supaya memarkirkan mobil kesayangan ke tempat yang seharusnya.

"Ingat, jangan sampai ada yang lecet!" Ancamnya.

Disuguhi sikap arogansi tinggi membuat security tersebut muak. Bahkan ingin rasanya menghadiahi wajah tampan dengan pukulan telak.

"Apa telingamu itu tuli, hah? Jika sampai ada yang lecet maka, bersiaplah terlempar ke jalanan!"

Ancaman yang baru saja dilayangkan telah membuat security tersebut bergidik ngeri. Dengan segera membungkukkan badan sebagai salam hormat. "Baik, Sir. Perintah Anda akan segera saya laksanakan."

Austin langsung tersenyum smirk. "Manusia sepertimu ini layaknya tikus got jadi, tidak sepantasnya menentang perintah seorang Austin." Sinisnya dengan mengangkat sudut bibirnya.

Sang security masih menundukkan wajah berirama kata permintaan maaf. "I'am sorry, Sir."

Senyum penuh hinaan masih saja mengukir di bibir kokoh beriringan dengan langkah kaki menuju ruangan ICU.

Kenzie yang melihat dari kejauhan bergegas menghampiri. "Selamat sore, Sir."

"Bagaimana keadaannya? Apa kata, dokter?"

"Untuk saat ini para dokter masih berada di dalam ruangan, Mr. Gilbert."

Penjelasan dari Kenzie membuat nafasnya terasa sesak. Bahkan menghembus nafas bagaikan menelan bisa beracun.

🍁🍁🍁

Next chapter ...

avataravatar
Next chapter